kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyoal Kenaikan Iuran Jaminan Kesehatan


Rabu, 27 Mei 2020 / 15:31 WIB
Menyoal Kenaikan Iuran Jaminan Kesehatan
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Dalam kondisi pandemi saat ini, kesadaran mengenai kesehatan menjadi semakin meningkat. Tidak hanya kewaspadaan individu terhadap isu-isu kesehatan, tetapi juga bagaimana sistem penanganan kesehatan, termasuk pendanaannya. Hal ini semakin memantik perdebatan ketika pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Putusan Mahkamah Agung (MA) No 7P/ HUM/2020 membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) No 75 tahun 2019. Dalam pertimbangannya, MA menilai bahwa Perpres ini tidak memiliki dasar filosofis, sosiologis, yuridis dan dipandang bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang (UU) No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Pasal 2 UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS. Persoalan ini semakin menjadi-jadi ketika Pemerintah kembali melakukan penyesuaian tarif iuran dengan mengeluarkan Perpres No 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Pemerintah lantas kembali disoal dan kenaikan iuran ini kembali diuji ke hadapan MA. Pertanyaannya, apakah benar Perpres ini patut dibatalkan kembali?.

Di satu sisi, kenaikan iuran ini telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 13 UU SJSN, dan Pasal 19 ayat (5) UU BPJS bahwa terkait besar iuran diatur dengan menggunakan Perpres. Presiden menggunakan instrumen yang sesuai dengan kewenangannya berdasarkan UU.

Namun di sisi lain, menarik untuk diperhatikan bahwa dalam pertimbangan putusan MA, disebutkan bahwa akar dari segala persoalan yang meliputi jaminan sosial di negara kita adalah buruknya manajemen atau tata kelola BPJS itu sendiri. Sehingga, kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan BPJS yang menyebabkan defisit Dana Jaminan Sosial BPJS tidak sepatutnya dibebankan kepada rakyat.

Pertanyaannya, benarkah defisit kenaikan ini tunggal hanya karena persoalan kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan dan pelaksanaan BPJS? Menjawab soal ini tentu tidak mudah, apalagi di dalam putusan MA tersebut tidak ada satu bukti pun baik dari Termohon ataupun Pemohon membuktikan bahwa terjadi kesalahan danĀ fraudĀ dalam penyelenggaraan BPJS sebagaimana disimpulkan MA.

Pemohon mengajukan bukti-bukti berupa sekumpulan peraturan perundang-undangan, yang sebenarnya menurut asas hukum tidak perlu dibuktikan karena semua orang dianggap tahu akan hukumnya (presumptio iures de iure). Sedangkan Pemerintah, selaku Termohon mengajukan bukti berupa data kepesertaan BPJS.

Baik dari bukti Pemohon ataupun Termohon, sangat sukar bagi kita untuk mengambil kesimpulan yang sama dengan MA bahwa penyebab defisit adalah persoalan tata kelola, sehingga sangat sukar pula untuk sampai pada kesimpulan berikutnya bahwa kenaikan iuran BPJS ini adalah suatu hal yang bertentangan dengan asas kemanfaatan, kemanusiaan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, terlebih ketiga hal ini adalah hal-hal yang sangat abstrak sifatnya dan pemaknaannya sangat bergantung pada sudut pandang, tempat, dan waktu bagi sang penafsir. Dalam konteks inilah, maka hadirnya Perpres 64/2020 tidak sepenuhnya dapat dipandang sebagai pengingkaran atas putusan Mahkamah Agung.

Perpres 64/2020 sebetulnya tidak sepenuhnya perlu dibatalkan asalkan Pemerintah dalam pengujian materil kali ini dapat membuktikan bahwa kenaikan iuran ini tidak bertentangan dengan asas kemanfaatan, kemanusiaan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah perlu menyajikan bukti-bukti untuk mendukung argumennya. Yang jelas, Pemerintah perlu menyiapkan argumennya dengan lebih baik mengingat dalam kondisi yang lebih teruk daripada 2019, pemerintah tetap memakai pendekatan yang sama yakni menaikkan iuran BPJS.

Dari uji materiil sebelumnya, dapat kita pahami bahwa baik pemerintah maupun pemohon uji materiil sama-sama meyakini bahwa tujuan BPJS adalah baik dan oleh karenanya, keberlangsungannya perlu dipertahankan. Yang berbeda adalah caranya. Maka, kali ini, ada satu hal yang perlu dipertimbangkan bersama oleh semua pihak dengan menggunakan pendekatan utilitarianisme, yaitu apakah kollapsnya BPJS akibat tidak berimbangnya antara iuran dan klaim yang harus dibayarkan BPJS adalah untuk kebaikan yang lebih besar (for a greater good)?

Soal tanggung jawab

Pepatah Jawa berujar bahwa "jer basuki mawa beya" (ada harga yang harus kita bayar). Maka kenaikan iuran ini sebenarnya menemukan landasan yuridis, filosofis, dan sosiologis sekaligus jika kita sadar bahwa negara ini ada dari, oleh, dan untuk kita bersama.

Negara memang harus bertanggungjawab terhadap nasib rakyatnya. Namun, pertanyaannya, apakah semua beban harus ditimpakan kepada negara?. Pada akhirnya, siapakah yang harus bertanggungjawab terhadap nasib negara itu jika bukan rakyatnya sendiri pula?.

Bung Hatta mengingatkan bahwa jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Jika persatuan dan kepedulian semakin pudar, maka Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta. Dan masih relevan pula kiranya apa yang dikemukakannya bahwa, Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku.

Maka, jika memang kenaikan iuran ini memiliki justifikasi yang dapat dibuktikan oleh pemerintah, paling tidak hal tersebut dapat dipandang sebagai sumbangsih bakti anak kepada Ibu Pertiwi. Memang, menaikkan iuran terkesan sebagai solusi temporer, tidak peka dengan kondisi rakyat, dan seolah potong kompas untuk menyelamatkan BPJS. Tapi, mungkin dalam kondisi yang mendesak seperti masa pandemi ini, jalan tercepat memang dibutuhkan.

Demikian pula, hal ini jangan membuat pemerintah acuh akan pertimbangan MA soal permasalahan pada tata kelola dalam BPJS yang harus benar-benar dibenahi. Pandangan MA mengingatkan kita bahwa ada persoalan sistemik yang harus dituntaskan dan tidak sepatutnya kita hanya memilih cara-cara yang mengorbankan rakyat.

Sejarahlah yang akan menjadi hakim dan menjatuhkan hukumannya kelak jika kita acuh terhadap pertimbangan hukum dalam putusan MA tersebut. Kita perlu ingat, putusan yang diawali dengan irah-irah Ketuhanan Yang Maha Esa, diyakini atau tidak, akan membawa konsekuensi adikodrati pula di dalamnya.

Penulis :Michael Hadylaya

Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×