kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Menyoal kontribusi UMKM terhadap ekspor


Senin, 19 Februari 2018 / 16:13 WIB
Menyoal kontribusi UMKM terhadap ekspor


| Editor: Tri Adi

Dari data yang disampaikan pada Desember 2017,  kontribusi UMKM terhadap ekspor nasional hanya di kisaran 17%. Angka kontribusi ini relatif rendah dibandingkan negara tetangga, meski angka tersebut tetap lebih baik dibanding tahun sebelumnya yang di kisaran 15,4%-15,8%. Sebagai pembanding, kontribusi UMKM di Filipina lebih dari 25% dari nilai ekspor. Sementara Thailand di atas 30%.

Dengan persentase jumlah UMKM mencapai 3,1% dari jumlah populasi manusia Indonesia di paruh awal 2017, semestinya makin banyak yang bisa dibuat UMKM. Jumlah UMKM yang diprediksi tembus 65 juta unit usaha di tahun 2020, bisa menjadi modal bagi Indonesia untuk lebih banyak menembus pasar global.

Tapi kondisi itu masih sekedar harapan. Karena pada kenyataannya, kendala dan hambatan klasik menuju UMKM Go Export masih berserak di depan mata.

Misalnya, keberanian UMKM memulai ekspor secara mandiri. Yang ada sekarang, UMKM tergantung pada keberadaan eksportir besar yang notabene tidak selalu memprioritaskan produk atau komoditas produksi UMKM.

Pertimbangan bisnis para eksportir besar itu memang masuk akal: mereka mengejar kuantitas atau volume, pemenuhan standar ekspor termasuk packaging sebagai komoditi internasional, kecepatan proses produksi, dan kontinuitas suplai. Sementara hal itu seringkali belum bisa dipenuhi pelaku UMKM yang sesungguhnya berpotensi ekspor. Akhirnya, ekspor produk dari UMKM menjadi prioritas nomor sekian.

Demi melihat kondisi di atas, mestinya UMKM harus mulai berani menjajakan diri ke pasar global secara mandiri. Fakta menyebutkan, belum beraninya UMKM untuk ekspor ditengarai karena mereka belum memahami aneka skema dan prosedur ekspor, syarat dan ketentuan sertifikasi, penetapan standar ekspor, termasuk kualifikasi kemasan produk.

Mereka makin kesulitan belajar, karena keberadaan lembaga yang bisa memberikan sosialisasi mengenai hal tersebut masih terbatas jumlah dan penyebarannya. Ketakutan menghadapi transaksi dalam bahasa asing dan kekhawatiran tidak lancarnya komunikasi akibat perbedaan bahasa  mempengaruhi keberanian UMKM untuk melakukan ekspor mandiri.

Untuk mengatasi hal ini, kerja keras memang harus dilakukan instansi terkait. Utamanya Kementerian Perdagangan (Kemdag) bersama Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (DJPEN). DJPEN sendiri sejak lama mengakui, salah satu hambatan UMKM menembus pasar dunia adalah rendahnya pemahaman atas komunikasi bisnis dan kontrak bisnis, selain keterbatasan kemampuan produksi.

Kendala klasik

Institusi lain seperti Badan Standardisasi Nasional (BSN), Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia (BBPPEI) di bawah naungan Kemdag, serta lembaga perbankan khususnya Bank BUMN yang memiliki produk pendukung ekspor mestinya dapat bergerak lebih cepat untuk sosialisasi, edukasi, pendampingan dan evaluasi proses ekspor secara komprehensif, hingga UMKM bisa lepas jadi eksportir mandiri.

Sosialisasi dan pelatihan ekspor bisa dilakukan lembaga di atas secara mandiri, namun diyakini akan lebih efektif jika dilakukan secara kolaboratif di dalam satu forum yang simultan. Jika institusi pemerintahan berkepentingan dengan naiknya jumlah dan volume transaksi ekspor UMKM, maka pihak perbankan bisa sekaligus menjadikan UMKM potensial ekspor ini sebagai captive customer untuk menambah database nasabah dan portofolio kredit di masa mendatang, ketika ekonomi dunia semakin tak mengenal batas fisik.

Kendala klasik pengembangan ekspor oleh UMKM lainnya adalah kecenderungan UMKM yang kurang percaya diri manakala dirinya belum mampu menjadikan produknya sebagai raja di pasar domestik. Masih banyak yang beranggapan bahwa ketika produknya belum mampu menjadi jawara di dalam negeri, mereka tidak layak untuk menembus pasar ekspor. Ini salah kaprah. Karena kebutuhan setiap negara selalu saja ada yang unik dan khas.

Di sini yang diperlukan adalah informasi tentang kebutuhan negara tujuan ekspor. Lagi-lagi, Kemdag dan DJPEN harus menjadi ujung tombak penyampaian informasi mengenai produk domestik yang bisa dibawa ke pasar global. Informasi ini sangat diperlukan, karena ia menjadi semacam "waze" untuk menunjukkan tujuan paling tepat dan tercepat dari produk yang dimiliki UMKM. Atau sebaliknya, UMKM bisa tahu komoditi apa yang dibutuhkan calon negara pengimpor. Informasi yang senantiasa up to date dan mudah diakses akan menciptakan efektifitas pola penawaran dibanding pola random marketing.

Kendala klasik lain yang sering disampaikan adalah permodalan. Memang harus diakui, upaya go global meniscayakan biaya yang lebih tinggi terkait rantai prosedur, pola distribusi barang, dan waktu yang digunakan. Namun semua itu sesungguhnya merupakan faktor biaya yang lumrah dalam setiap perdagangan.

Semakin besar harga pokok penjualan, tentu harus semakin besar harga jualnya untuk mempertahankan laba. Negara tujuan ekspor pasti sangat mafhum terkait harga yang bisa ditetapkan di tingkat konsumen, karena harga jual harus mengakomodir semua biaya yang timbul akibat transaksi antar negara.

Yang perlu diakomodir adalah, apakah lembaga pemerintah dan perbankan telah secara maksimal melakukan langkah guna membantu UMKM memperoleh tambahan modal sebagai bekal memulai ekspor. Pada 2016, Kadin Indonesia pernah meneken MoU dengan enam institusi asal Jepang untuk membantu meningkatkan nilai ekspor UMKM Indonesia, termasuk di dalamnya masalah pendanaan. Ini contoh bagus bagi lembaga lain yang peduli ekspor.

Penyaluran kredit usaha rakyat berorientasi ekspor (KURBE) oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) di bawah Kementerian Keuangan harus terus dilakukan. Upaya tersebut semakin baik jika diikuti perbankan dalam konteks penyeragaman term and condition dalam syarat pembiayaannya.

Perbedaan tentu tetap dimungkinkan karena sumber dana yang berbeda antara LPEI dan perbankan. Di luar itu, kita masih memiliki Asuransi Ekspor Indonesia dalam membantu pembiayaan ekspor.

Sembari jalan, lembaga pembiayaan harus rajin berimprovisasi untuk mengembangkan produk yang ramah UMKM ekspor, dalam hal kemudahan proses dan minimalisasi margin bunga. Ini bukan berarti memanjakan UMKM potensial ekspor secara negatif, namun seberapa pun lama dan tangguhnya UMKM eksisting, ia akan kembali menjadi start up bisnis ketika UMKM itu memulai ekspor secara mandiri.

Yang harus dicatat, evaluasi atas berbagai langkah di atas harus dilakukan secara komprehensif untuk memastikan bahwa kontribusi UMKM terhadap ekspor bisa linier dengan semakin besarnya prosentase UMKM di dalam populasi masyarakat Indonesia. Serta meningkatnya kontribusi UMKM ke PDB yang saat ini stabil di atas 60%, dan dominasi kontribusi atas penyerapan tenaga kerja yang lebih dari 97%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×