kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyoal Lagi Kemudahan Berusaha


Senin, 17 Februari 2020 / 13:16 WIB
Menyoal Lagi Kemudahan Berusaha


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Dalam rapat terbatas di Kantor Presiden pada 12 Februari 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengeluhkan terkait kemudahan berusaha di Indonesia yang masih berada di peringkat 73 dan masih jauh dari target Presiden yakni menembus peringkat 40. Dalam kondisi perekonomian Indonesia yang masih sangat membutuhkan investor guna menunjang pembangunan demi mencapai pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, maka pemerintah harus dapat menghadirkan arus investasi yang lancar.

Mitchel ett all (2000), menguraikan bahwa salah satu parameter untuk mewujudkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah jumlah investasi yang masuk pada suatu negara. Kini, setelah beberapa tahun berkutat melakukan perbaikan, namun pada kenyataannya peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business/ EoDB) di Indonesia masih belum beranjak dari peringkat 73. Fakta ini menunjukkan bahwa sebenarnya ada indikator kemudahan berusaha yang belum dibenahi atau belum mencapai standar bagi kemudahan berusaha.

Lebih lanjut, jika dilihat dari berbagai indikator yang menentukan tingkat kemudahan berusaha, maka sebenarnya telah banyak perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga beberapa indikator seperti penyelesaian kepailitan (resolving insolvency) telah menembus peringkat 40. Lantas apa persoalan yang membuat kemudahan berusaha di Indonesia masih stagnan berada di peringkat 73 ?. Jawabannya masih berkutat soal kepastian hukum, pada indikator ini akan diurai lebih lanjut persoalannya ada pada tumpang tindih aturan dan kemudahan mengurus perizinan.

Persoalan ini terlihat dari indikator-indikator yang berkaitan dengan perizinan, semuanya berada pada rating diatas 105, bahkan hingga 116, misalnya pada indikator kemudahan pengurusan izin konstruksi yang berada pada peringkat 110, indikator lain adalah kemudahan pengurusan izin properti yang masih berada pada peringkat 106 dan kemudahan serta perizinan lintas batas yang masih berada pada peringkat 116.

Akibat memburuknya indikator perizinan, maka berdampak pada persoalan pembiayaan. Memburuknya aspek kepastian berusaha ini berdampak pada turunnya indikator kemudahan untuk memperoleh pembiayaan (getting credit), yakni dari tahun sebelumnya berada pada peringkat 44, tahun ini berada pada peringkat 48. Selain terkait dengan kondisi ekonomi global, indikator kemudahan memperoleh pembiayaan juga sangat dipengaruhi oleh aspek kepastian hukum.

Masih soal perizinan

Jika melihat data di atas, artinya persoalan kemudahan berusaha di Indonesia masih disebabkan karena faktor perizinan. Sebenarnya jika mengamati indikator lain diluar persoalan perizinan, maka kondisi kemudahan berusaha di Indonesia sudah relatif mendukung untuk memenuhi harapan Presiden Jokowi.

Jika melihat laporan kemudahan berusaha secara menyeluruh pada masing-masing indikator dan membandingkan dari tahun ke tahun (year on year /yoy) dapat disimpulkan sebenarnya satu-satunya persoalan pada kemudahan berusaha di Indonesia adalah persoalan pengurusan perizinan.

Dalam laporan EoDB, kemudahan untuk pengurusan perizinan diletakkan dalam klaster indikator kepastian hukum. Sulit serta tidak pastinya pengurusan perizinan dipandang investor sebagai bentuk ketidakpastian hukum. Sebagaimana diuraikan oleh Ulya Jened (2006), persoalan ketidakpastian hukum akan dapat berdampak pada persoalan kepastian berusaha (business certainty).

Tanpa kepastian berusaha, maka investor tidak akan mengambil keputusan investasi yang signifikan, hal ini mengingat potensi gangguan bisnis yang mungkin terjadi. Demikian juga persoalan rendahnya kepastian hukum yang bersumber dari sulitnya pengurusan perizinan juga turut berpengaruh pada aspek pembiayaan yang menjadi bagian penting dari investasi yang akan ditanamkan oleh investor.

Fakta ini terbukti dengan data kemudahan berusaha di Indonesia, yakni dengan turunnya peringkat aspek kepastian hukum khususnya pada indikator pengurusan perizinan, maka berkorelasi juga dengan turunnya aspek kemudahan untuk mendapat pembiayaan maupun berpengaruh pada beberapa indikator lainnya. Sebagai contoh, dalam hal ini tentu lembaga yang memberikan pembiayaan akan melakukan evaluasi pada kelengkapan dokumen perizinan sebagai pemenuhan syarat pemberian kredit pada perbankan maupun lembaga pembiayaan lainnya.

Artinya, dalam hal ini pemerintah harus benar-benar mengevaluasi sektor perizinan yang menjadi penghambat investasi. Tanpa perbaikan yang memadai pada sektor perizinan, maka target Presiden Jokowi akan mustahil dapat terwujud. Akibat lainnya adalah investor akan mengalihkan investasinya ke negara lain, seperti Vietnam atau Myanmar yang belakangan aktif dalam meningkatkan arus investasi ke negaranya.

Persoalan perizinan di Indonesia secara garis besar disebabkan oleh dua hal, Pertama, terkait persoalan birokrasi dan Kedua, terkait banyaknya jumlah perizinan yang bersumber dari tumpang tindih perizinan.

Terkait dengan persoalan birokrasi, pemerintah telah mengupayakan meringkas prosedur birokrasi pengurusan perizinan hingga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 24 tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik. Upaya yang dilakukan pemerintah tersebut secara teknis belum cukup karena dalam paket kebijakan ekonomi maupun dalam pelaksanaan online single submission (OSS) sebagai pelaksanaan PP No 24/2018, pemerintah hanya mengatur kemudahan perizinan subjek (kemudahan mendirikan usaha).

Hingga OSS disempurnakan melalui surat edaran (SE) nomor 5743/A.8/B.1/2019 tertanggal 17 Oktober 2019 tentang rencana penerapan sistem online single submission (OSS) versi 1.1 pada tanggal 4 November 2019, OSS masih sebatas mengatur subjek usaha dan belum menyentuh pada objeknya. Misalnya, pengurusan izin lokasi masih diserahkan pada masing-masing kabupaten/kota, hal ini menunjukkan OSS belum sepenuhnya melepaskan investor dari labirin birokrasi yang penuh ketidakpastian.

Salah satu cara untuk meningkatkan indikator kemudahan berusaha pada aspek perizinan adalah menyempurnakan OSS hingga dapat melayani investor pada aspek objeknya (perizinan teknisnya), misalnya pengurusan izin lokasi hingga AMDAL maupun pengurusan sertifikat tanah dapat dilaksanakan melalui OSS. Pemerintah harus mengoptimalkan kecerdasan buatan melalui OSS untuk meningkatkan kemudahan berusaha pada sektor perizinan.

Sejalan dengan penyempurnaan OSS, pemerintah harus dapat meringkas jumlah perizinan yang harus diurus investor melalui paket Omnibus Law yang kini sedang dipersiapkan pemerintah. Jika beleid ini tak dapat mengurangi jumlah perizinan dan OSS tak dapat memudahkan investor dalam berinvestasi, artinya pemerintah gagal membenahi kemudahan berusaha sektor perizinan.

Penulis : Rio Chrstiawan

Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetya Mulya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×