kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyoal peniadaan tarif impor etanol


Rabu, 10 Juli 2019 / 09:26 WIB
Menyoal peniadaan tarif impor etanol


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Pada era digital dan globalisasi, mengimpor barang menjadi keniscayaan bagi mayoritas negara di dunia. Kebijakan impor di Indonesia memiliki konotasi negatif. Salah satu penyebabnya adalah karena kebijakan impor barang pokok seperti beras, gula, daging, dan lain-lain, berbenturan dengan prinsip keberpihakan dan kedaulatan bangsa.

Saat ini, situasi pasar domestik barang di Indonesia tidak terlepas dari gejolak pasar dunia yang semakin liberal. Proses liberalisasi pasar tersebut terjadi karena kebijakan bilateral, regional, unilateral juga konsekuensi keikutsertaan negara meratifikasi kerjasama perdagangan internasional. Saat ini mayoritas tujuan dari kerjasama perdagangan internasional adalah penurunan kendala non tarif dan tarif (ekspor impor).

Keterbukaan pasar semakin tinggi bila pemerintah suatu negara menurunkan tarif bea masuk produk yang diperdagangkan dan menghilangkan hambatan-hambatan non tarif. Hal sebaliknya terjadi bila pemerintah cenderung menaikkan tarif dan meningkatkan hambatan non tarif.

Seperti kita ketahui bersama, partisipasi dalam perdagangan internasional bagi suatu negara bersifat bebas, sehingga keikutsertaan dilakukan sukarela tanpa tekanan. Keputusan suatu negara melakukan perdagangan internasional merupakan pilihan dengan prinsip memberikan keuntungan para pihak.

Kelanjutan ratifikasi perubahan Perjanjian Perdagangan Preferensial Indonesia Pakistan (IP-PTA) tidak terdengar lagi kabarnya. Berita terakhir, lima bulan lalu Komisi VI DPR menunda ratifikasi IP-PTA. Penundaan tersebut terkait dengan masuknya etanol sebagai syarat dari Pemerintah Republik Islam Pakistan (KONTAN, 11/2/2019). Komisi VI menilai penghapusan tarif impor bagi produk etanol ke Indonesia mendapat penolakan dari berbagai pihak di dalam negeri.

Tidak jelas apakah DPR RI menerima atau menolak terkait penurunan tarif impor komoditas etanol dari Pakistan menjadi 0%. IP-PTA antara Indonesia dan Pakistan ditandatangani pada tanggal 3 Februari 2012 di Jakarta. Perjanjian ini merupakan payung hukum dari kerja sama ekonomi Indonesia dengan Pakistan di bidang perdagangan barang yang mencakup 232 pos tarif Indonesia (HS 2012, 10 digit) dan 313 pos tarif Pakistan (HS 2012, 10 digit).

Di tahun 2017, nilai total perdagangan dua negara ini mencapai US$ 2,6 miliar dengan surplus sebesar US$ 2,2 miliar bagi Indonesia. Ekspor Indonesia ke Pakistan tahun 2016 sebesar US$ 2,01 miliar dan impor sebesar US$ 241 juta. Melihat besarnya potensi surplus perdagangan dari Pakistan, Presiden Joko Widodo mengeluarkan surat Nomor: R-21/Pres/04/2018 tanggal 27 April 2018 mengenai pengesahan perubahan IP-PTA Republik Indonesia dan Republik Islam Pakistan. Jumlah ekspor terbesar Indonesia ke Pakistan adalah minyak sawit.

Pesaing Indonesia dalam ekspor minyak sawit ke Pakistan adalah Malaysia. Jika tidak ada kejelasan persetujuan dari DPR dan pemerintah terkait IP-PTA khususnya poin peniadaan tarif impor etanol, potensi surplus perdagangan dari Pakistan akan direbut Malaysia.

Negeri Jiran telah membuat perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif (CEPA) dengan Pakistan. Saat ini minyak sawit Indonesia dengan Malaysia sama-sama masih mendapatkan tarif preferensi sebesar 6,42%.

Lembaga ekspor impor

Etanol atau etil alkohol termasuk dalam alkohol primer merupakan obat psikoaktif dan ditemukan dalam minuman beralkohol dan termometer. Pakistan merupakan pengekspor etanol terbesar ke empat di dunia karena negara seribu cahaya ini mengekspor mayoritas produksi etanolnya. Ini karena Pakistan merupakan negara berbentuk Republik Islam yang mengharamkan dan melarang masyarakat mereka untuk mengkonsumsi produk beralkohol.

Di Indonesia etanol digunakan sebagai pelarut berbagai bahan kimia untuk konsumsi langsung dan tidak langsung manusia. Contohnya adalah pelarut parfum, minuman keras, perasa, pewarna makanan, obat-obatan dan bahan bakar energi terbarukan.

Industri etanol dalam negeri berkait erat dengan petani tebu. Penyebabnya karena industri etanol membutuhkan hasil samping pembuatan gula dari tebu yaitu tetes (molasse) sebagai bahan baku. Jika industri etanol gulung tikar, akan merugikan petani tebu karena tidak ada yang membeli molasse.

Penghapusan tarif masuk etanol dari Pakistan dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dua dampak tersebut adalah peningkatan peredaran minuman keras (miras) dan mematikan industri etanol dalam negeri.

Dengan bertambahnya pasokan etanol sebagai sumber bahan baku miras, maka akan menurunkan harga miras. Miras merupakan barang konsumtif habis sekali pakai. Meningkatnya kemiskinan, pengangguran dan angka kriminalitas adalah sisi negatif yang timbul ketika konsumsi miras naik.

Namun pada sisi lain, peniadaan tarif impor etanol berpotensi mendorong implementasi penggunaan bahan bakar nabati (biofuel) di Indonesia. Alasannya kaena akan membantu pemerintah menyediakan stok etanol dalam negeri sebagai bahan baku ramah lingkungan dengan harga keekonomian.

Selama ini kurangnya pasokan etanol produksi dalam negeri menjadi salah satu alasan pemerintah belum menerapkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan biofuel sebagai bahan bakar. Padahal, pemanfaatan biofuel dari etanol (bioetanol) sebagai bahan bakar memiliki multiplayer effect yaitu mengurangi efek rumah kaca, diversifikasi energi dan industri yang berujung pada penciptaan lapangan kerja.

Menanggapi persoalan diatas, penulis menawarkan pembentukan Lembaga Ekpor Impor Etanol (LEIT) sebagai win-win solution bagi stakeholder terkait. LEIT menjadi satu-satunya lembaga dengan kewenangan menentukan jenis etanol, kuota ekspor impor dan harga transaksi di Indonesia.

LEIT ini diisi oleh perwakilan Kementerian Perdagangan (Kemdag), Kementerian Perindustrian (Kemprin), Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), organisasi produsen etanol baik pemerintah atau swasta, trader etanol dan aparat berwajib yang berkompeten. LEIT dibutuhkan untuk menciptakan transparansi, akuntabilitas dan keseimbangan pasokan dan permintaan etanol di Indonesia. Sehingga menghilangkan kecurigaan antar stakeholder dalam kegiatan impor etanol.

Bila terwujud, keberadaan lembaga ini akan menjamin beberapa hal. Pertama, surplus perdagangan Indonesia dengan Pakistan. Kedua, tidak terjadinya masalah sosial akibat "banjir" etanol sebagai bahan baku minuman keras. Ketiga, optimalisasi penggunaan bahan bakar terbarukan dari bioetanol. Keempat, petani tebu tidak merugi. Kelima, tidak ada pengangguran akibat penutupan pabrik bioetanol dalam negeri.

Pemerintah harus jelas, cepat, cermat dan tegas bersikap untuk menyelesaikan persoalan ini. Tujuan peniadaan tarif impor etanol tidak menjadi alasan Indonesia kehilangan surplus ekonomi dari Pakistan. Semoga! ♦

Prima Gandhi
Staf Pengajar di Departemen Ekonomi dan Lingkungan Hidup IPB University

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×