kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45925,41   -5,94   -0.64%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyoal regulasi hulu migas


Selasa, 26 Maret 2019 / 13:43 WIB
Menyoal regulasi hulu migas


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Penyelesaian revisi Undang-Undang (UU) Minyak dan Gas Bumi (Migas) sangat penting. Di bawah Konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, UU Migas adalah payung hukum tertinggi bagi penyelenggaraan pemerintahan di bidang migas.

UU Migas menjadi rujukan dari semua regulasi yang berkaitan dengan kebijakan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan sektor migas di tanah air. Kebijakan ini, termasuk di dalamnya regulasi di sektor hulu migas.

Selama bertahun-tahun, pada tataran implementatif, muara dari persoalan regulasi di sektor hulu migas di Indonesia pada dasarnya adalah masalah ketidakpastian (uncertainty). Ketidakpastian ini selalu berkaitan atau berkutat kepada tiga aspek utama.

Pertama, ketidakpastian hukum (aturan); Kedua, ketidakpastian fiskal (ekonomi); Dan ketiga proses administrasi / birokrasi / perizinan yang tidak sederhana.

Ketidakpastian ini terlihat dalam menerapkan aturan main dan pada aspek fiskal. Aturan sering identik dengan kondisi tidak menghormati kontrak kerjasama migas yang berlaku (dishonored of contract sanctity). Kondisi ini adalah yang paling dihindari dan tidak diinginkan oleh pelaku usaha dan investor termasuk di sektor hulu migas.

Pemerintah memang berupaya menerbitkan peraturan baru, kebijakan deregulasi, dan debirokratisasi untuk memperbaikinya. meskipun tujuan perbaikan ini baik, ternyata masih belum mampu efektif menjawab dan menyelesaikan masalah ketidakpastian tersebut. Dalam berbagai kasus, beberapa perubahan kebijakan tersebut justru menambah kompleksitas permasalahan yang ada.

Salah satu contohnya:terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 15/2018 tentang Kegiatan Pasca Operasi pada Kegiatan Hulu Migas. Aturan ini maksudnya baik, yaitu untuk menjamin tersedianya dana untuk pemulihan lahan, pasca operasi penambangan.

Namun, ketentuan dalam Pasal 20 dan 21 di Permen 15/2018 menyebutkan bahwa kontrak yang lama, harus mengadopsi aturan baru ini. Aturan ini akan membawa konsekuensi terhadap kewajiban penyesuaian atau perubahan kontrak baik dari sisi isi maupun pelaksanaan.

Tak hanya itu, pada pasal 11 juga mengatur ketentuan tentang kewajiban dan pengalokasian dana. Aturan ini akan memiliki implikasi terhadap arus kas perusahaan. Akibatnya akan mempengaruhi hitungan tingkat keekonomian satu investasi di lapangan atau proyek migas tertentu.

Sementara di pasal 6 yang menyebutkan bahwa di dalam pelaksanaannya, aturan ini tidak hanya akan melibatkan kontraktor dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), tetapi juga Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM dan pihak/instansi lain terkait. Artinya akan memiliki konsekuensi terhadap aspek administrasi dan birokrasinya.

Selain peraturan Menteri ESDM, masih ada Peraturan Presiden (Perpres), yakni Perpres 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Aturan ini juga memiliki implikasi terhadap aspek keekonomian pengembangan lapangan gas di Indonesia.

Sementara itu, di tingkat Peraturan Pemerintah (PP), ada dua aturan yang dianggap bisa memberikan kepastian dan sekaligus memberikan insentif fiskal untuk hulu migas, yaitu PP No 53/2017 tentang Perlakuan Perpajakan Pada Kegiatan Usaha Hulu Migas dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split dan PP 27/2017. Aturan ini adalah revisi atas PP 79/2010.

Hanya saja dalam pelaksanaannya juga belum efektif mengatasi persoalan ketidakpastian yang ada. Karena, pada tataran implementasi administrasi dan birokrasinya masih harus menunggu penerbitan peraturan-peraturan pelaksana di bawahnya, baik di tingkat menteri maupun dirjen.

Prinsip dasar

Permasalahan industri migas Indonesia terus berkutat pada regulasi sektor hulu migas. Pada dasarnya hal ini terjadi karena ada tiga prinsip dasar yang hilang dari UU Migas 22/2001.

Ketiga prinsip dasar yang hilang tersebut adalah: Pertama, tidak diterapkannya prinsip lex specialis dan assume and discharge di dalam masalah perpajakan.

Kedua, tidak dipisahkannya urusan administrasi bisnis dan keuangan kontrak pengusahaan migas (persoalan cost recovery misalnya), dengan urusan administrasi pemerintahan dan sistem keuangan negara yakni APBN.

Ketiga, tidak diterapkannya prinsip single door bureaucracy yang mengurus hal administrasi/birokrasi/perizinan kontrak pengusahaan migas.

Seperti kita ketahui bersama, sistem pengusahaan hulu migas di Indonesia, menggunakan sistem kontrak bagi hasil produksi (production sharing), baik itu net split maupun gross split. Untuk dapat berjalan secara optimal, sistem kontrak ini memerlukan ketiga prinsip dasar tersebut.

Berdasar Undang-Undang No. 8/1971 tentang Pertamina yang pernah jadi landasan pengelolaan migas di masa lampau, sejatinya mengatur ketiga prinsip dasar tersebut. Sementara UU Migas 22/2001 yang sampai saat ini masih berlaku justru tak memilikinya. Sebagai akibatnya, kerangka peraturan dan tata kelola hulu migas nasional, yang sampai saat ini masih mengacu pada UU No 22/2001 tersebut. Karena itu, cenderung selalu berkonflik atau tidak sinkron dengan bentuk kontrak pengusahaan migas yang digunakan, sehingga memunculkan ketiga masalah utama di atas.

Persoalan ketidakpastian regulasi di sektor hulu migas ini tidak akan selesai secara parsial, dengan menyiasati melalui penerbitan berbagai aturan pelaksana di bawah UU. Periode pasca 2001 hingga saat ini telah mengajarkan dengan sangat jelas, pendekatan dan cara parsial semacam ini tidak mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan yang ada.

Untuk itu, perlu langkah yang lebih fundamental, yaitu merevisi UU Migas. Poin utama diantaranya untuk mengembalikan keberadaan dan penerapan ketiga prinsip dasar di atas. Kini, jawaban atas persoalan ketidakpastian regulasi hulu migas ke depan terletak pada seberapa jauh penyelesaian revisi UU Migas yang dilakukan, sehingga dapat mewujudkan hal itu. UU Migas baru yang solid dan berkualitas akan menciptakan kepastian. Ini adalah salah satu prasyarat utama bagi masuk dan bergulirnya investasi di migas.

Sebaliknya, UU Migas baru yang tetap compang-camping akan terus memicu dan melahirkan beragam ketidakpastian, yang menghambat investasi dan aktivitas usaha di sektor migas. Menyelesaikan revisi UU Migas dan menghasilkan UU Migas baru yang solid dan berkualitas, berarti secara langsung maupun tidak langsung menyelesaikan persoalan ketidakpastian regulasi migas yang ada.

Secara konkret hal ini bisa memulai langkah besar di dalam menarik dan menggerakkan investasi migas di Tanah Air. Siapa pun Presiden terpilih memiliki tugas untuk menuntaskannya.♦

Pri Agung Rakhmanto
Pengajar Teknologi Kebumian dan Energi (FTKE) Universitas Trisakti

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×