kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.325.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyoal tuntutan dari ojek daring


Rabu, 04 April 2018 / 14:46 WIB
Menyoal tuntutan dari ojek daring


| Editor: Tri Adi

Penggunaan sepeda motor sebagai sebuah layanan angkutan adalah sebuah disrupsi dalam masalah transportasi kita, apabila tidak ingin menyebutnya sebagai pelanggaran hukum. Dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sudah jelas diartikan dalam Pasal 47 ayat (2) jo. ayat (3) bahwa sepeda motor bukanlah angkutan umum. Namun, apalah arti hukum di negara seperti Indonesia ini, bukan?

Terlepas dari perdebatan apakah sepeda motor adalah angkutan umum, tak bisa dipungkiri banyak hidup yang kini bergantung kepadanya. Bahkan, ojek berbasis daring sempat dijadikan primadona. Malah, bisa jadi raksasa ekonomi baru akan muncul dari tangan para enterpreneur yang menekuni bidang ini.

Jika dikelola tepat, pengembahan enterpreneurship yang sudah on-track selama ini akan berbuah manis ke depannya. William J. Baumol, dkk. (2007), dalam Good Capitalism, Bad Capitalism, and The Economics of Growth and Prosperity mengemukakan empat elemen dari suatu mesin pertumbuhan ekonomi untuk menciptakan the successful entrepreneurial economy, yaitu kemudahan untuk memulai usaha, penghargaan terhadap aktivitas enterpreneur yang sudah berjalan, pemerintah harus berfokus untuk memperbesar the economy pie ketimbang membagi-baginya, serta adanya insentif bagi dunia usaha untuk bisa bertumbuh dan berinovasi.

Sayangnya, fenomena yang terjadi baru-baru ini menjadi pertanda bahwa elemen kedua sampai keempat yang digagas oleh Baumol, dkk. tersebut akan mendapat tantangan besar untuk diwujudkan di Indonesia. Apalagi, setelah pemerintah mengabulkan desakan dari pressure group yang menuntut adanya peningkatan tarif angkutan ojek berbasis daring dengan dalih agar kesejahteraan para pengemudi ojek tersebut meningkat. Saat ini, pemerintah memang relatif berhasil untuk memenuhi elemen pertama yaitu kemudahan dalam berusaha. Telah banyak enterpreneur baru tumbuh di Indonesia, terutama yang memanfaatkan teknologi sebagai basis berusaha.

Namun, penghargaan terhadap aktivitas enterpreneur yang dimaksudkan oleh Baumol, dkk, bukanlah dalam bentuk bintang jasa. Melainkan adanya jaminan perlindungan hukum. Maka, hukum sebagai pranata sosial menjadi mutlak untuk menunjang keberhasilan ekonomi. Menegasikan hukum merupakan langkah awal untuk merubuhkan sendi-sendi pembangunan ekonomi itu sendiri.

Dalam konteks inilah maka aksi para pengemudi ojek berbasis daring baru-baru ini menarik untuk dicermati dari kacamata legal formal. Mengingat dalam menyikapi semakin sulitnya perekonomian, terutama soal kesejahteraan, para pengemudi ojek berbasis daring tersebut menyuarakan kegetirannya pada pemerintah.

Padahal, jika mengacu pada regulasi yang ada, apa yang disuarakan oleh para pengemudi tersebut seharusnya dapat diselesaikan lebih dahulu dengan penyedia platform. Bisa jadi, persoalan kesejahteraan ini adalah akibat tata kelola di dalam penyedia platform itu sendiri dalam membagi hasil keuntungannnya dengan para pengemudi. Maka, terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan soal kesejahteraan yang dialami para pengemudi adalah akibat tarif murah. Namun, konklusi yang prematur ini justru diamini oleh pemerintah dengan mengabulkan permintaan para pengemudi.

Tentunya tidak ada yang salah dengan respon cepat pemerintah. Tapi, fenomena ini memperlihatkan betapa reaktifnya kita dalam bernegara.

Jika kita membandingkan dengan perspektif hubungan industrial yang sudah ada selama ini, terutama dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mekanisme penyelesaian perselisihan sudah sangat jelas yaitu melalui musyawarah mufakat atau jika tidak dapat diselesaikan maka dapat menempuh jalur legal melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Apalagi, persoalan kesejahteraan pekerja masuk dalam ruang lingkup perselisihan hubungan industrial.

Namun, persoalan angkutan daring ini menjadi anomali tersendiri. Mengingat tanpa pernah terdengar ada pembicaraan bipatride antara perwakilan pengemudi dengan perusahaan, tuntutan tiba-tiba ditujukan kepada pemerintah. Disadari atau tidak, pola penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang kerap memakai tekanan massa dan memanfaatkan momentum politik telah menumpulkan hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa.

Jika tidak dicermati, apa yang terjadi di bisnis ojek berbasis daring ini akan menjadi preseden buruk ke depannya bagi pembangunan entrepreneurship bidang lain. Selama tekanan massa menjadi faktor utama menentukan kebijakan, pembangunan entrepreneurship yang sehat tidak akan terwujud.

Semakin sering pemerintah melakukan by pass atas suatu perselisihan yang timbul di dunia usaha, rakyat akan semakin asing dengan cara penyelesaian yang rasional dan tidak mengandalkan kekuasaan semata. Pemerintah harus mulai belajar untuk meminimalisir intervensi dalam penyelesaian sengketa yang ada di masyarakat. Lain kali, biarkanlah kanal legal-formal bekerja.

Konsumen jadi korban

Lagipula, solusi yang diminta kepada pemerintah dan dikabulkan berupa peningkatan tarif belum tentu menjadi solusi. Selama ini, yang menjadi comparative advantages dari ojek berbasis daring, selain kemudahan mobilitasnya, adalah tarif yang sangat bersahabat untuk kaum urban. Point terakhir ini, merupakan selling points tersendiri dari ojek berbasis daring ketika awalnya digalakkan. Dan kini, justru point itu yang akan dieliminir.

Akan timbul masalah baru berupa penurunan konsumen atau bahkan bisa jadi konsumen akan mencari alternatif baru untuk mengantisipasi semakin mahalnya kehidupan yang akan mereka jalani. Yang jelas, para penyedia platform angkutan daring akan senang hati meningkatkan tarif tanpa adanya tuntutan meningkatkan kualitas yang disediakan. Lantas, pernahkah pemerintah memikirkan konsumen, sosok tak bersuara yang menjadi korban atas semua ini?

Kadang, pemerintah harus ingat apa yang dikatakan Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan, In this present crisis, government is not the solution to our problem; government is the problem. ... The solutions we seek must be equitable, with no one group singled out to pay a higher price.

Selama masih ada pihak yang harus membayar harga lebih, maka selama itu kita masih gagal untuk mencari solusi yang hakiki. Dan, tidak selamanya solusi yang terbaik datang dari pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×