kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Menyusun postur kabinet idaman


Jumat, 12 Juli 2019 / 11:15 WIB
Menyusun postur kabinet idaman


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Tugas Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden terpilih 2019-2024 sekaligus untuk periode keduanya lima tahun ke depan, salah satunya membentuk susunan kabinet idaman. Entah akan dinamakan Kabinet Persatuan untuk memfasilitasi kelompok- sakit hati akibat kalah dalam pemilihan presiden (Pilpres) lalu, atau apapun namanya nanti.

Yang jelas, publik berharap Presiden terpilih tidak mengedepankan budaya permisif dalam menyusun Kabinet. Calon presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-Maruf Amin diharapkan bisa menyusun postur kabinet yang profesional dan sudah pasti mau bekerja keras mengatasi berbagai masalah bangsa ini.

Postur Kabinet Jokowi-Maruf mestinya harus lepas dari kontrak politik. Hal tersebut hanya bisa dibuktikan bila menteri terpilih nanti tidak lagi aktif sebagai pengurus partai politik (parpol), terutama partai-partai pendukung.

Meski pemilihan orang-orang di kabinet menjadi hak prerogatif presiden, namun pada akhirnya Jokowi bisa tersandera untuk mengakomodasi parpol yang minta jatah kursi menteri. Sebab, itu merupakan dampak dari koalisi dalam sistem presidensial.

Jika pun akhirnya yang terjadi demikian, parpol harusnya memberikan saran kader-kader terbaiknya untuk dijadikan sebagai menteri. Kader-kader mereka harus cakap dan ahli dalam bidang yang dibutuhkan. Alhasil, kesan bagi-bagi kursi tidak hanya sebatas urusan politik. Lebih dari itu, kader ini harus bisa mengedepankan kepentingan rakyat sebab legitimasi berasal dari rakyat.

Keberanian untuk melepaskan kontrak politik harus didukung publik karena "kontrak politik" sudah pasti bakal tidak menguntungkan dan tak mendatangkan maslahat bagi penentuan kebijakan publik ke depan. Memang dapat dimengerti, jabatan menteri adalah jabatan politik, artinya penentuan kandidat dan calon dilakukan berdasarkan atas pertimbangan politik Jokowi yang memiliki hak prerogatif sebagai presiden terpilih.

Biasanya sudah lumrah selama ini, kecenderungan bahwa kepentingan dari parpol sangat dominan dalam pengisian kabinet, hal ini karena adanya kontrak-kontrak politik sewaktu suksesi Pilpres, sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap pilihan presiden dalam menentukan pembantu-pembantunya dalam proses pengelolaan suatu pemerintahan. Untuk itu, publik menanti kiprah Jokowi, yakni beliau tidak mau diintervensi oleh kepentingan-kepentingan dalam kontrak politik.

Presiden dan wakil presiden terpilih tentu akan mendengar keinginan publik bahwa kabinet harus orang-orang pilihan yang profesional. Kabinet ahli, berarti kabinet yang diisi oleh kalangan profesional atau kabinet sangat ahli di bidangnya dan bukan berdasarkan representatif dari parpol. Indonesia pernah menerapkan zaken kabinet atau kabinet yang diisi oleh orang profesional pada awal kemerdekaan. Lepas dari cengkeraman kekuasaan Jepang dan masih dalam bayang ancaman kembalinya Belanda, Soekarno dan Hatta saat itu mengangkat putra-putra bangsa terbaik yang menguasai kompetensi di bidang masing-masing.

Memang, dalam sistem parlementer sekarang ini tidak bisa dipungkiri parpol masih memiliki kekuatan yang cukup besar menentukan kabinet pemerintahan. Parpol bisa atau mampu mengancam pemerintah yang berjalan jika pemerintahan tersebut terbangun sejak awal dari kompromi politik partai-partai pendukung presiden saat Pilpres.

Posisi Kabinet Kerja yang masih aktif, misalnya, yang ideal adalah 30% dari parpol dan 70% dari kalangan profesional non parpol. Pembagiannya agar adil, dapat diatur misalnya, representasi parpol ditempatkan pada posisi kementerian koordinator, seperti perekonomian atau kesejahteraan rakyat (sekarang Pembangunan dan Manusia dan Kebudayaan). Sedangkan, kementerian yang langsung bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak sebaiknya diserahkan kepada kalangan profesional.

Belajar dari sejarah

Sejarah juga mencatat bahwa zaken kabinet lebih berhasil dibandingkan menteri yang merepresentasikan parpol. Pada 1969-an, misalnya, ketika sering berganti-ganti kabinet, kabinet yang dipimpin oleh Ir Djuanda menerapkan zaken kabinet.

Kabinet tersebut terbilang lebih berhasil dibandingkan dengan kabinet lain yang merepresentasikan parpol. Kabinet Djuanda berlangsung antara tahun 1957-1959, juga disebut Kabinet Karya karena lebih berorientasi kerja.

Hasil yang dicapai dan sampai saat ini masih dirasakan adalah menetapkan lebar wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar yang menghubungkan titik-titik terluar dari Pulau Indonesia yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda.

Belajar dari sejarah merupakan suatu keniscayaan, apabila kita mau membangun bangsa ini lebih baik di masa depan. Beberapa sistem pemerintahan serta sistem penyusunan kabinet dari awal kemerdekaan sampai dengan saat ini dapat menjadi rujukan kita menata kehidupan berbangsa dan bernegara.

Personel yang duduk dalam pemerintahan, terlebih sebagai menteri, semestinya manusia pilihan dengan kualifikasi tertentu. Faktor keahlian dan profesionalisme serta kepemimpinan merupakan prasyarat yang harus dimiliki seorang menteri. Selain berorientasi kerja, kabinet juga berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Publik juga menuntut dari pasangan Jokowi-Maruf supaya dalam susunan kabinet nanti, jika ada menteri yang kurang profesional dan kurang mau bekerja keras, maka secepatnya untuk diganti dengan menteri yang pro perubahan dan mau bekerja keras.

Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva misalnya, saat itu pun mengambil langkah reshuffle ketika di negerinya terjadi kekacauan, dia melihat ada menteri dalam pemerintahannya yang tak becus mengurus keamanan dalam negeri, sehingga menteri itu harus diganti dengan menteri baru yang lebih memiliki tanggung jawab.

Sesudah amandemen UUD 1945, presiden terpilih nanti sebenarnya memiliki wewenang penuh atau hak prerogatif untuk mengganti atau tidak para pembantunya. Pasal 17 ayat 2 menyebutkan bahwa presiden bisa mengangkat dan memberhentikan menteri. Presiden terpilih memiliki otoritas tertinggi dalam pemerintahan, harus tanggap terhadap isu-isu yang berkembang dan muncul di tengah-tengah masyarakat.

Presiden dan wakil presiden terpilih harus dapat membentuk format yang tepat dalam penentuan orang-orang yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas sebagaimana yang dikatakan dalam ungkapan the right man and the right places.

Dengan demikian, bila pasangan Jokowi-Maruf mampu menyusun kabinet ideal yang sesuai dengan keinginan masyarakat, maka mereka akan memperoleh kepercayaan publik yang kuat sejak awal kepemimpinannya.♦

Ismatillah A. Nu'ad
Peneliti Indonesia Institute for Social Research and Development Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×