Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Deretan bencana gempa yang terjadi di tanah air meninggalkan duka berkelanjutan. Pilu atas gempa Lombok belum berakhir kini menyusul gempa di Palu dan Donggala. Mereka yang ditampung di tempat pengungsian kini mengalami krisis air dan obat. Selain air mata kesedihan akibat korban meninggal dan kehilangan harta benda, para korban acap juga defisit makanan. Banyak dari mereka dalam kondisi lemas karena lapar gizi.
Pelajaran paling penting yang dapat dipetik ialah mencegah agar korban seminimal mungkin dan menghindari krisis makanan pengungsi dengan penyediaan makanan darurat. Lewat sistem manajemen bencana yang lebih baik, pemerintah patut merancang dan merevitalisasi fungsi makanan darurat. Penyediaan makanan darurat siap santap harus direncanakan lebih serius dan berkelanjutan mengingat Indonesia kerap dilanda gempa, banjir dan bencana alam lainnya.
Pemerintah harus berkoordinasi lintas sektor bagaimana membantu meringankan penderitaan korban bencana alam di kamp pengungsian dengan merancang pemberian makanan darurat. Penyediaan makanan darurat yang bersifat ready to eat sangat dibutuhkan pada kondisi tidak dapat hidup normal. Produk tersebut hendaknya tidak sekedar menjadi pengganjal perut, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menjadi pengganti fungsi sarapan dan makanan lengkap yang mampu memberi energi dalam jumlah yang cukup. Sayang, selama ini mi instan kerap menjadi makanan pokok pengungsi. Satu takaran mi instan dengan netto 80 gram hanya mengandung sekitar 300 kalori. Jumlah kalori ini hanya memenuhi sekitar 15% dari kalori yang dibutuhkan para pengungsi.
Pemberian mi instan bagi pengungsi yang mengalami beban fisik, stres oksidatif dan kelelahan mental akan menurunkan daya tahan dan vitalitas mereka. Ditambah lagi kandungan bahan aditif seperti zat penyedap rasa dan zat pengawet dapat berdampak buruk bagi korban bencana alam. Tidak menutup kemungkinan mi instan yang datang sudah ada yang kedaluwarsa karena jarak distribusi cukup jauh dari sumber bantuan ke lokasi pengungsian. Hal ini bisa menambah beban masalah bagi pengungsi karena dapat mengakibatkan diare akibat keracunan.
Meski mi instan sangat praktis penggunaannya dan relatif murah harganya, kehadiran mi instan sebagai makanan darurat patut dikaji ulang. Selain bahan bakunya, gandum yang diimpor dengan biaya mahal, juga karena kandungan gizinya kurang tepat bagi pengungsi yang acap mengalami stres tinggi karena kelelahan mental.
Pembuatan makanan darurat harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan gizi dan energi harian. Di tengah kondisi bencana, diperlukan makanan darurat yang siap saji dan dapat memenuhi kebutuhan energi harian. Produk hendaknya memiliki kandungan 2.150 kkal per hari, setara dengan kebutuhan kalori orang dewasa. Makanan ini jika diasumsikan dikonsumsi 3 kali satu hari, satu kali penyajian harus memenuhi 700 kkal. Persentase kalori protein pada produk sebesar 15%–20%, lemak 30%-40% dan karbohidrat 40-50 % dari total kalori. Produk ini dapat dikembangkan dari pangan semi basah, yang dikenal cukup baik oleh masyarakat. Pangan semi basah memiliki kadar air antara 10%–40 % dan aktivitas air (aw) 0,65–0,85. Dengan memodifikasi komposisi dan proses pengolahan, produk ini dapat dikembangkan menjadi pangan darurat.
Dalam buku berjudul Emergency Food Storage & Survival Handbook: Everything You Need to Know to Keep Your Family Safe in a Crisis, Peggy Layton (2002) menyebutkan makanan darurat tidak dikonsumsi pada keadaan normal. Selain karena komposisi gizinya yang dirancang khusus, juga harganya yang relatif mahal untuk makanan yang dikonsumsi setiap hari. Selanjutnya, makanan darurat dibagi dalam dua kelompok. Pertama, produk pangan yang dirancang masih menggunakan air dan dimasak guna mematangkan sehingga harus tersedia bahan bakar yang cukup. Kedua, produk yang dirancang khusus untuk menghadapi situasi tidak ada air. Makanan seperti ini perkembangannya masih terbatas untuk kepentingan tentara saat berperang.
Arah pengembangan
Hal lain yang patut diperhatikan dalam pengembangan makanan darurat adalah sifat produknya yang aman untuk kesehatan dan memiliki zat gizi yang mampu mengembalikan kebugaran akibat kelelahan fisik dan mental. Untuk itu, makanan darurat harus memenuhi spesifikasi mutu: 1) Dapat dikonsumsi tanpa perlu proses memasak; 2) Memenuhi kebutuhan gizi untuk usia di atas 6 bulan dengan acuan kebutuhan kalori 2.150 kaoril/hari; 3) Dapat diterima oleh semua etnik dan agama, serta tidak menggunakan bahan yang dapat menimbulkan alergi pada orang tertentu; 4) Dapat dijatuhkan dari udara tanpa merusak produk; 5) Mempunyai gizi makro (karbohidrat, protein, dan lemak) dan gizi mikro (vitamin, mineral dan antioksidan) yang memadai; 6) Memiliki kestabilan dalam organoleptik dan mikrobiologis.
Selain keenam sifat tersebut, hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu teknik pengawetan untuk mendapat nilai aw (aktivitas air) guna mencegah tumbuhnya jamur dan bakteri patogen dalam jangka waktu relatif lama. Jika sudah dipenuhi, tujuan utama pengembangan makanan darurat sudah tercapai, yakni membantu mencegah jatuhnya korban jiwa di antara pengungsi bencana alam. Tiga hal berikut patut dipertimbangkan untuk dilakukan.
Pertama, peranan pemerintah daerah dalam penanganan korban bencana terkait dengan pengadaan makanan darurat sesuai dengan kebiasaan daerah amat penting. Gagasan pengembangan produk berbasis pangan lokal dengan memodifikasi komposisi dan proses pembuatannya menjadi prioritas. Penerimaan masyarakat terhadap produk pangan tersebut akan semakin besar karena merupakan bagian dari kehidupan sosial dan spiritual yang melekat di sana. Jalur pendistribusian juga menjadi lebih pendek karena tidak lagi melewati pemerintah pusat dan waktu pendistribusian akan lebih singkat.
Kedua, produk makanan darurat dengan sedikit modifikasi pengolahan dapat diproduksi oleh pelaku industri UKM pangan lokal sehingga turut memberdayakan masyarakat perdesaan. Indonesia memiliki berbagai jenis bahan baku yang berpeluang besar dikembangkan sebagai makanan darurat mulai dari umbi-umbian, sorgum, pisang, dan sagu. Produk ini kaya kandungan karbohidrat namun lemak dan protein kurang memadai.
Ketiga, untuk masyarakat yang suka mengonsumsi nasi, pengembangan makanan darurat dalam bentuk saset berisi nasi dengan lauk pauk cukup menarik dilakukan. Produk ini sangat prospektif karena memiliki umur simpan yang relatif lebih lama dan dapat didistribusikan lewat jalur udara.
Arah pengembangan makanan darurat membutuhkan penelitian lanjutan untuk memilih bahan baku berbasis sumberdaya lokal yang tepat dan mereformulasi kandungan gizinya. Penambahan kandungan lemak, protein, mineral dan vitamin antioksidan yang sesuai kebutuhan para pengungsi menjadi pertimbangan utama.•
Posman Sibuea
Guru Besar Tetap di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian
Unika Santo Thomas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News