Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Sejak pertengahan bulan Juni lalu, masa transisi menuju new normal atau kenormalan baru telah dimulai. Kegiatan usaha dan pusat perbelanjaan kembali dibuka. Pelonggaran atas Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sektor bisnis ini dilakukan agar perekonomian tidak makin memburuk, terutama bagi sektor ritel. Untuk itu, para peritel harus menerapkan protokol ketat saat menjalankan bisnis di tokonya. Apalagi sudah banyak prediksi bahwa bisnis ritel akan sulit kembali pulih walau masa pandemi virus Covid-19 berakhir. Benarkah demikian?. Bisnis ritel optimis memiliki peluang di normal baru.
Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mencatat ada 190 mal yang ditutup sementara (Jakarta Post, 28/5/2020) saat PSBB lalu sehingga menurunkan tingkat kunjungan konsumen dan menggerus hingga 98% pendapatan peritel (Bisnis Indonesia, 18/5/2020). Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto, menginformasikan penurunan di sektor ritel hingga Rp 12 triliun selama dua bulan terakhir (Jawa Pos, 19/06/2020). Puncak penjualan yang biasanya terjadi menjelang Hari Raya Idul Fitri harus bertolak belakang tahun ini. Banyak peritel yang gagal memenuhi target dan sulit membiayai kegiatan operasionalnya.
Di awal masa PSBB diterapkan, panic buying terjadi di tengah masyarakat. Berbagai kebutuhan, seperti: masker, pencuci tangan, vitamin, makanan pokok, dan lainnya diborong konsumen. Produk tersebut jadi sulit ditemukan dan harganya naik tidak wajar. Saat itu, bisnis ritel, terutama toko jejaring berperan untuk menstabilkan harga. Efektivitas manajemen rantai pasok dari produsen, distributor ke toko ritel tergantung dari kecepatan produksi. Aliran distribusi yang lancar membuat harga kembali normal dan persediaannya terkendali.
Tantangan peritel
Protokol kesehatan berpengaruh terhadap proses bisnis dan pendapatan. Peritel hanya berupaya agar bisnisnya bisa bertahan dengan mengabaikan keuntungan. Biaya distribusi yang melonjak harus disiasati peritel. Sistem cross-docking kurang efektif karena adanya waktu tunggu yang mempengaruhi kecepatan pasokan. Data penjualan masa lalu tidak bisa lagi digunakan untuk mengendalikan persediaan karena pola konsumsi konsumen berubah.
Pembatasan jarak dan kontak fisik membuat peritel harus mempercepat proses layanannya. Jumlah karyawan dan jadwal shift kerja perlu diubah. Karyawan ritel yang biasanya lebih banyak melayani walk-in customer harus multi-tasking agar lebih produktif, misalnya memasarkan secara digital, melayani penjualan jarak jauh, melakukan pengantaran barang, dan sebagainya. Bila kondisi bisnis semakin memburuk, peritel terpaksa harus mengurangi jumlah karyawan agar bisnisnya bisa bertahan.
Tantangan lain yang dihadapi peritel adalah terganggunya arus kas seperti yang diungkapkan Roy N Mandey, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) (Investor Daily, 24/06/2020). Pengeluaran bisnis ritel terbesar terletak pada biaya operasional. Toko-toko, terutama yang berada di dalam mal, pendapatannya belum kembali normal, tetapi biaya sewa tempat, biaya pemeliharaan, dan lainnya harus dibayarkan. Peritel harus melakukan efisiensi di hal lain, walau belum tentu bisa mengatasi masalah namun setidaknya bisa mengurangi kerugian peritel.
Di era kenormalan baru, proses belanja dan produk yang dikonsumsi konsumen berubah. Perusahaan yang memberlakukan work from home (WFH) dan aktif mengadakan video conference membuat produk-produk terkait laris dibeli konsumen. Dilansir dari Kementerian Keuangan (Kemkeu) tanggal 6 April 2020, produk web camera menjadi produk non-kesehatan yang kenaikan permintaannya tertinggi mencapai 1.572 persen. Demikian pula produk-produk lainnya, seperti: makanan ringan, perkakas, sarana hiburan, bahkan sepeda menjadi tren baru di normal baru. Konsumen membelinya untuk membunuh kebosanan dan beradaptasi dengan perubahan. Kenormalan baru telah memunculkan produk-produk baru di bisnis ritel.
Platform daring akan menjadi bagian dari bisnis ritel di normal baru. Transaksi ritel secara daring yang meningkat tajam membuktikan bahwa penjualan secara daring merupakan solusi di kenormalan baru. Transformasi digital ini bukan berarti meninggalkan toko ritel fisik, tetapi menambah jalur penjualan baru dan memperluas target pemasarannya. Proses baru harus dilakukan oleh peritel di normal baru.
Keragaman produk yang disesuaikan di era kenormalan baru memperbesar peluang datangnya konsumen baru, khususnya bagi mereka yang terbiasa bertransaksi daring dan mencari produk di media sosial selama PSBB. Konsumen baru tersedia bagi peritel di kenormalan baru.
Adaptasi bisnis ritel
Tidak semua bisnis ritel mengalami kondisi dan memiliki peluang yang sama. Peritel tradisional akan sulit bertahan bila tidak beradaptasi. Pada era kenormalan baru, bisnis ritel tetap bisa jadi andalan bila peritel mampu memanfaatkan peluang dan beradaptasi dengan perubahan karakter dan gaya belanja konsumen. Toko-toko yang berada di transit area, seperti: rest area, stasiun, bandara, tetap menghadapi kondisi sulit bila mobilitas masyarakat masih dibatasi. Demikian pula dengan toko-toko di traffic area, seperti: perkantoran, sekolah/kampus, tempat wisata. Sebaliknya, toko-toko ritel di residential area lebih diuntungkan karena konsumen lebih banyak berada di rumah.
Peritel harus beradaptasi dengan perubahan produk yang dicari konsumen. Walau produk dasar (staple merchandise) tidak terpengaruh karena permintaannya yang cenderung stabil, namun proses baru harus dilakukan peritel untuk mempertahankan pangsa pasar. Perancangan ulang strategi bisnis sangat diperlukan bagi peritel dengan produk fesyen merchandise dan fads merchandise. Keduanya merupakan produk yang diinginkan ketimbang dibutuhkan sehingga memerlukan strategi khusus agar minat belanja konsumen tetap tumbuh walau tidak melihat fisik produknya secara langsung. Hal ini mirip dengan seasonal merchandise, namun euforia penjualannya masih dapat diprediksi dan diciptakan. Peritel yang bergantung dengan produk impor mengubah strategi bisnisnya bila produksi di negara asal masih terganggu dan proses impor terhambat. Salah satu opsi untuk mencari produk pengganti atau substitusi dengan produk lokal patut menjadi pertimbangan.
Penulis : Elkana Timotius
General Manager Business Retaill Rodalink Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News