kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Merespon kebijakan The Fed


Kamis, 11 April 2019 / 15:26 WIB
Merespon kebijakan The Fed


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Federal Open Market Committee (FOMC) yang berlangsung pada Selasa (19/3/2019) hingga Rabu (20/3/2019) silam telah memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) (The Federal Reserve/The Fed), yaitu Federal Funds Rate (FFR), pada kisaran 2,25% hingga 2,50%. Keputusan yang disampaikan Gubernur The Fed itu sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar keuangan yang telah memperkirakan bahwa tidak akan ada perubahan dalam besaran suku bunga acuan.

Akan tetapi, ada hal lain yang jauh lebih penting, yaitu stance kebijakan The Fed yang dovish ketimbang keputusan FOMC tiga bulan lalu. Powell dan kolega memperkirakan tidak akan ada lagi kenaikan suku bunga acuan sepanjang tahun ini. Padahal sebelumnya, FOMC memperkirakan bunga acuan masih akan naik dua kali lagi (CNBC International).

Pengumuman The Fed segera ditanggapi positif di berbagai negara. Salah satu indikasi dapat terlihat pada penguatan nilai tukar mata uang Jepang, yaitu yen, terhadap mata uang AS, dolar AS. Begitu juga dengan mata uang lain termasuk mata uang Indonesia, yaitu rupiah.

Ketika menghadiri acara Credit Suisse Asian Investment Conference di Hong Kong, Senin (25/3/2019), Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengatakan, keputusan The Fed menjadi momentum untuk melakukan akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, Indonesia juga harus berhati-hati karena kebijakan The Fed menunjukkan perekonomian dunia ke depan tidak dalam situasi yang kondusif.

Lalu, bagaimana memaknai keputusan The Fed beserta implikasi terhadap ekonomi Indonesia? Stance kebijakan The Fed saat ini adalah dovish. Sekadar mengingatkan, dovish berakar dari kata dove yang berarti burung merpati dalam bahasa Indonesia. Jamak diketahui, burung itu selalu tampak hati-hati disertai ketinggian terbang yang rendah seolah takut dengan ketinggian.

Filosofi inilah yang mendasari penggunaan kata dovish dalam menggambarkan kebijakan bank sentral suatu negara. Keputusan The Fed yang tidak akan menaikkan suku bunga acuan di sisa waktu tahun ini menu njukkan stance dovish. Sebab, ada indikasi perlambatan pertumbuhan ekonomi di AS yang ditandai penurunan laju inflasi.

Namun, sejatinya, ekonomi melambat juga diramalkan akan menimpa perekonomian global. Baru-baru ini, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Co-operation and Development/OECD) memprediksi pertumbuhan ekonomi 2019 akan berada pada level 3,3% atau 0,2% lebih rendah daripada proyeksi sebelumnya. Basis keputusan OECD adalah ketidakpastian kebijakan di berbagai belahan dunia (sebagai contoh Brexit), ketegangan perdagangan (misalnya antara Amerika Serikat dan China), dan faktor-faktor lainnya.

Dengan demikian, maka faktor eksternal tidak dapat diandalkan dalam situasi seperti sekarang. Utamanya ekspor komoditas semacam minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), batubara, karet, dan komoditas-komoditas lainnya. Begitupun impor, terutama bahan baku dan bahan penolong yang diharapkan dapat berpotensi mendorong ekspor, juga akan terkoreksi.

Lalu, dari mana harapan agar ekonomi Indonesia tetap tumbuh 5,4% sesuai target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019?

Andalkan internal

Mau tidak mau, lagi dan lagi, faktor internal akan jadi andalan. Sebagai gambaran, kontributor utama pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) adalah konsumsi rumah tangga. Persentase komponen ini menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa tahun belakangan berada di atas 55%.

Merespons stance dovish The Fed, Bank Indonesia (BI) telah mengambil berbagai kebijakan. Rapat Dewan Gubernur (RDG) pekan lalu memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI 7-day reverse repo di level 6%. Ke depan, BI akan terus memantau dinamika eksternal dalam memutuskan kebijakan terkait suku bunga acuan.

Selain itu, BI juga merilis aturan baru terkait rasio intermediasi makroprudential (RIM) dan penyangga likuiditas makroprudential (PLM) untuk bank umum dan bank syariah. Dalam aturan ini kisaran RIM dinaikkan dari 80% hingga 92% menjadi 84% hingga 94%. Aturan ini akan berlaku mulai 1 Juli 2019 untuk bank umum.

BI menyatakan dalam rilis pers bahwa kebijakan tersebut ditempuh dalam rangka memperkuat kebijakan makroprudensial yang akomodatif untuk mendorong pertumbuhan kredit atau pembiayaan ekonomi, dengan tetap memperhatikan terjaganya stabilitas sistem keuangan. Secara sederhana, aturan ini diharapkan mendorong perbankan menyalurkan kredit demi menggerakkan perekonomian. Maka, tak heran apabila BI pun menargetkan kredit perbankan dapat tumbuh 12% tahun ini.

Berkaca dari teori yang ada, kebijakan demi kebijakan yang ditempuh BI akan berdampak langsung pada keinginan masyarakat meminjam dana dari perbankan. Dana yang dimaksud sebagian besar erat kaitannya dengan konsumsi rumah tangga seperti untuk membeli kebutuhan sehari-hari, membayar biaya pendidikan, dan aktivitas-aktivitas konsumsi lainnya. Biaya dana para pengusaha pun akan menurun sehingga berimplikasi positif pada ekspansi usaha.

Konsumsi rumah tangga juga akan terbantu oleh percepatan penyaluran dana program-program pemerintah seperti program keluarga harapan (PKH). PKH, sebagaimana program bantuan sosial lain, merupakan ujung tombak masyarakat berpenghasilan rendah. Utamanya dalam berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Apabila semua berjalan sesuai rencana, maka pertumbuhan konsumsi rumah tangga dapat tumbuh di atas 5,0%. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2019 mencapai 5,18% atau lebih tinggi ketimbang kuartal I-2018 sebesar 5,06%. Sedangkan pada tahun ini, BI memprediksi ekonomi RI tumbuh 5,0% hingga 5,4%.

Jika mengikuti urutan, maka komponen yang berkontribusi besar terhadap pertumbuhan PDB adalah pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi dengan persentase 32%. Tapi, ketidakpastian global ditambah sikap wait and see investor membuat PMTB sulit tumbuh tinggi.

Untuk itu, harapan tersisa adalah konsumsi pemerintah (persentase sekitar 9,0%) yang tahun lalu tumbuh 4,80%. Menyimak data APBN hingga Februari 2019, realisasi belanja negara hingga Februari 2019 sudah mencapai Rp 271,83 triliun atau setara 11,04% dari pagu APBN 2019.

Realisasi ini tumbuh 9,15% ketimbang realisasi APBN pada periode yang sama tahun lalu. Khusus untuk belanja pemerintah pusat sudah mencapai Rp 145,68 triliun atau 8,91% dari pagu APBN 2019. Nilai ini tumbuh 14,19% dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu.

Berkaca dari data ini, tampak nyata ada akselerasi belanja pemerintah pusat yang dapat berkontribusi pada pertumbuhan PDB.♦

William Henley
Founder IndoSterling Capital

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×