kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Merevitalisasi pasar tradisional


Senin, 07 Januari 2019 / 11:32 WIB
Merevitalisasi pasar tradisional


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Globalisasi yang merangsek ke berbagai pelosok negeri berimbas pada terciptanya sistem, mekanisme, serta pola perekonomian bercorak modern. Hal ini antara lain ditandai dengan menjamurnya mal hingga wilayah pedalaman. Selain berdampak positif, fenomena tersebut rupanya juga mengundang bermacam ekses negatif.

Kehadiran mal kerap meluluhlantakkan sendi-sendi pasar tradisional yang menampung toko-toko sederhana penyedia bermacam kebutuhan masyarakat. Bagaimanapun, kios-kios kecil yang awalnya memiliki pelanggan, tetap pasti kalah bersaing dengan mal mewah dan elegan. Padahal, dari sumber perekonomian dengan hasil cupet inilah orang desa mampu bertahan hidup.

Berdirinya mal juga menyebabkan lahan pekerjaan di desa menyempit. Selain sebagian besar mal berada di bawah kepemilikan orang luar, beberapa karyawannya juga bukan masyarakat setempat. Sejumlah data di lapangan menggambarkan bahwa mereka yang dipekerjakan justru orang-orang tanpa “hubungan psikologis” dengan lokasi mal. Sehingga, penduduk asli merasa direndahkan bahkan dinihilkan.

Penghormatan terhadap siapa saja yang berhak menjadikan tempat kelahirannya selaku sarana mengais rezeki seolah hilang. Orang desa yang semestinya dapat bekerja di tanah kelahiran akhirnya terpaksa merantau ke luar daerah khususnya perkotaan. Karena sumber penghasilan di desa kurang tersedia, mereka menjadi pekerja serabutan atau buruh perusahaan. Dalam konteks inilah, kawasan urban menjanjikan alternatif saat desa tak lagi menyuguhkan solusi.

Kerukunan sosial

Gaya hidup, image, serta citra positif yang ditawarkan oleh mal menyebabkan pasar tradisional semakin “sepi pengunjung”. Kondisi yang bersih dan rapi serta tampilan meyakinkan ternyata menjadikan pusat-pusat perbelanjaan masa kini lebih diminati. Para konsumen tak lagi mempersoalkan harga barang. Bagi mereka, kenyamanan dan pelayanan memuaskan merupakan prioritas utama.

Padahal, secara tidak langsung, merebaknya mal hingga kawasan perdesaan turut mengukuhkan nilai-nilai individualisme. Lantaran harga barang sudah dibanderol sedemikian rupa, tak ada proses tawar-menawar dalam semua transaksi. Di sinilah tingkat interaksi manusia selaku makhluk sosial mengalami kemerosotan.

Komunikasi yang terjalin di antara mereka hanya berdasar kehendak dan kepentingan sesaat. Dalam taraf tertentu, hubungan penjual dan pembeli terputus setelah barang yang dibeli genap melewati proses pembayaran.

Hal di atas berbeda dengan pasar tradisional yang senantiasa memuat komunalisme. Betapa setiap transaksi menyimpan prinsip-prinsip kebersamaan. Mengutip Heri Priyatmoko (2018), corak pasar tradisional bukanlah “transaksi bisu” sebagaimana dijumpai pada mal. Proses tawar-menawar yang dikonsepsikan oleh Clifford Geertz dengan istilah sliding price (harga luncur) tersebut sebenarnya meneguhkan kerukunan sosial secara alami.

Proses-proses yang dilalui oleh penjual dan pembeli di sana berlangsung guyub, rukun, serta saling menghormati. Dalam berbagai kesempatan, etos kekeluargaan berusaha dijunjung tinggi oleh semua pihak. Uniknya, sering pula transaksi terjadi antarpenjual. Di samping mengulurkan pertolongan, munculnya transaksi sesama penjual juga bertujuan memberikan motivasi.

Dorongan semacam ini sangat penting bagi keberlangsungan usaha mereka. Bagaimanapun, semangat berburu rupiah turut dipupuk oleh para pelaku usaha dalam mencapai kesejahteraan bersama.

Langkah strategis

Apa yang berlaku di pasar tradisional berperan memangkas perilaku egoistis dalam diri manusia. Bertolak belakang dengan mal yang merefleksikan diraihnya kepentingan pribadi, eksistensi pasar tradisional mencerminkan tercapainya hajat hidup bersama. Itulah mengapa, perlu adanya revitalisasi pasar tradisional sebagai usaha mengokohkan fondasi keharmonisan.

Apalagi, pemanfaatan pasar selaku medium terselenggaranya pembangunan kawasan perdesaan, genap digariskan dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya pada pasal 83 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa pembangunan kawasan perdesaan salah satunya meliputi “pemberdayaan masyarakat desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi.”

Selain itu, pasal 19 undang-undang yang sama juga menyebutkan beberapa kewenangan yang dimiliki desa, antara lain kewenangan lokal berskala desa. Kewenangan ini digunakan untuk mengatur dan mengurus kepentingan di level akar rumput (grass root), mulai dari tambatan perahu, pasar, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, perpustakaan, embung, hingga jalan.

Revitalisasi pasar tradisional membutuhkan setidaknya dua langkah strategis. Pertama, melalui pengaturan regulatif. Baik Peraturan Desa (Perdes) maupun Peraturan Daerah (Perda) harus menetapkan norma-norma pendirian mal. Ketentuan ini penting guna membatasi jumlah mal dalam suatu wilayah. Fakta menunjukkan bahwa hancurnya ekosistem, rendahnya ikatan sosial, serta tergusurnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dikarenakan membludaknya mal dan tergerusnya pasar tradisional.

Kedua, melalui kebijakan yang progresif dan futuristik. Pemerintah desa bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam upaya mewujudkan “pasar milenial” dengan tetap menampung aneka kearifan lokal, etos gotong royong, serta semangat persaudaraan. Pengelolaan pasar dengan menampilkan “wajah lama” barangkali memang kurang relevan. Bagi generasi masa kini, pasar cenderung dianggap terbelakang.

Apalagi, tersebar opini publik bahwa pasar identik dengan bangunan kuno, kumuh, disertai aroma kurang sedap. Persepsi inilah yang layak diluruskan. Ke depan, pasar mesti dihadirkan dalam tampilan yang enak dipandang serta mempunyai fasilitas memadai. Lahirnya nilai-nilai baru dalam kehidupan manusia meniscayakan interpretasi ulang terhadap realitas. Dengan demikian, modernisasi dalam segala aspek kehidupan tidak serta-merta menonjolkan hal-hal yang datang belakangan sekaligus mengubur warisan pemikiran nenek moyang.•                                                              

Riza Multazam Luthfy
Peneliti Desa dan Mahasiswa Program Doktor
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×