kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Merger, Akuisisi, atau Mati


Selasa, 27 April 2021 / 12:24 WIB
Merger, Akuisisi, atau Mati
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Fenomena korporasi dunia akhir-akhir ini menunjukkan perilaku setback ke era tahun 2000-an. Pada saat itu korporasi dunia banyak melakukan aksi merger dan akuisisi sampai terbentuk konglomerasi pada istilah Indonesia, dan perilaku merger dan akuisisi korporasi global tersebut menjadi acuan korporasi Indonesia. Pada perusahaan milik negara (BUMN) pada era tersebut juga mulai dikenalkan istilah holding BUMN dan masih berlangsung sampai sekarang.

Merger dan akuisisi (M&A) sebetulnya identik, sama-sama aksi korporasi yang bertujuan untuk bertahan dalam krisis dan pengembangan perusahaan. Namun perkembangan saat ini menunjukkan arah pembalikan, artinya semakin banyak perusahaan melakukan M&A. Penelitian penulis, sudah ada 176 korporasi dunia melakukan M&A sejak tahun 2018 dan strategi ini tampaknya akan bertambah.

Yang terbaru, superapps decacorn Grab asal Singapura akan melakukan merger dengan Altimeter untuk rencana pencatatan saham (listing) di bursa Amerika Serikat (AS) dengan valuasi gabungan mencapai US$ 39,6 miliar. Korporasi AS Microsoft juga melakukan M&A, di Arab Saudi, Aramco menempuh jalur serupa, Jepang ada Softbank, Korea Selatan (HYBE K-pop), China (Huawei), dan Indonesia adalah rencana merger decacorn Gojek dan unicorn Tokopedia.

Korporasi BUMN pun melakukan langkah serupa dalam bentuk holdingisasi. Proses holding ini sungguh beda dengan M&A, bukan merger dan bukan akuisisi, namun holding. Geothermal dalam proses holding menyusul Indonesia Battery Holding, Ultra Mikro, holding pensiun, pariwisata, infrastruktur, jasa survei dan masih banyak lagi.

Bahkan, dunia pendidikan naga-naganya juga akan melakukan M&A. Sampai dengan saat ini ada 1.201 perguruan tinggi swasta (PTS) belum terakreditasi nasional. Solusinya adalah melakukan M&A sebelum alternatif terakhir diserahkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebagai penanggung jawab tertinggi penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. M&A PTS Indonesia opsinya dapat beragam, dengan kampus Indonesia dan bahkan bisa saja melakukan M&A dengan kampus Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Fenomena ini tentu merupakan sinyal bahwa persatuan memang dibutuhkan, tidak hanya persatuan manusia namun persatuan korporasi. Jika di dunia luar Indonesia melakukan persatuan korporasi, maka jika tidak melakukan aksi konsolidasi yang sama, maka penggilasan korporasi kecil-kecil di Indonesia hanya akan tinggal menghitung hari.

Makna M&A

Jika melihat hiruk pikuk internasional dalam melakukan M&A, hal berbeda dan stagnan malah terjadi di Indonesia. Hasil investigasi penulis, hanya 22 korporasi Indonesia melakukan M&A, termasuk di dalamnya tiga BUMN pada periode yang sama saat 176 korporasi global beramai-ramai melakukan M&A.

Untuk BUMN Indonesia memang agak membedakan pada periode pemerintahan Presiden Jokowi. Pekerjaan infrastruktur hampir 99% dikerjakan BUMN karena kecilnya kontribusi swasta. Namun, ini pula yang menyebabkan BUMN berdarah-darah, terutama terjadi pada BUMN karya atau sektor konstruksi. Berkah tersendiri bagi swasta yang semula menyuarakan dominasi BUMN atas pekerjaan infrastruktur, namun jika melihat fakta terakhir bahwa BUMN terkapar karena menjadi pejuang infrastruktur, maka swasta sontak bersyukur tidak mengalami hal tersebut.

Mengenai malasnya korporasi swasta Indonesia melakukan aksi M&A tentu harus diwaspadai bersama, apa yang terjadi dengan iklim bisnis Indonesia?. Apakah merasa nyaman dengan kompetisi yang semakin sengit ini, tetap yakin bertahan atau mampu bertahan, atau ketidaktahuan dengan perkembangan global. Indonesia memang sangat sibuk dengan penataan konstitusional, respon yang cukup sengit misalnya UU Cipta Kerja, dan akhirnya melupakan bahwa negara ini harus berjalan, demikian pula korporasi harus tetap eksis.

Makna M&A adalah penggabungan sumber daya yang semula kecil menjadi besar. Aslinya sektoral menjadi lingkup besar bahkan global. Penggabungan kompetensi SDM pun bisa dilakukan, semula tidak paham menjadi bisa melakukan, dan tentu saja penggabungan pendapatan dengan peluang mendapatkan laba bersih lebih besar dalam rangka agar korporasi memiliki harapan untuk bertahan dalam jangka panjang. Inilah esensi M&A dan dunia internasional mengakuinya sebagai salah satu strategi korporasi yang harus dilakukan, baik dalam suka dan duka, masa berjaya atau malah masa-masa krisis seperti pandemi saat ini.

Perlu diingat bahwa M&A terjadi pertama kali 1996 karena pelajaran krisis moneter di Asia Tenggara. M&A tetap berlangsung saat 1998 ketika krisis rubel, berlanjut tahun 2000-an saat bubble aset di Jepang, berlanjut saat resesi ekonomi hebat 2008 dan kemudian mencapai puncaknya 2009 saat utang sovereign Eropa dan menimpa Yunani, negara mitos ekonomi dunia. M&A tetap fenomena saat krisis ekonomi di Thailand pada 2010 dan akhirnya berlanjut pada saat ini ketika pandemi Covid-19 muncul sejak akhir 2019.

Antisipasi Indonesia

Sebagai negara dengan luas terbesar ke-7 dunia 5,193 juta kilometer persegi (km2) dengan jumlah penduduk nomor empat dunia, Indonesia memang sangat strategis bagi pabrikan global. Seluruh produk manufaktur dan jasa amat diperlukan Indonesia, dari barang seperti alas kaki sampai satelit. Dari pekerjaan jasa kecil seperti survei kecil-kecilan sampai konsultan besar.

Produk bank konvensional sampai produk fintech pun diserbu, bahkan aplikasi teknologi seperti Tiktok digandrungi penduduk Indonesia dan terbanyak penggunanya di dunia. UMKM pun kini tidak tradisional di pinggir jalan, namun sudah merambah digital, didatangi konsumen secara virtual dan transaksi pun online.

Hal paling mendasar dari M&A adalah ketidakmampuan apapun korporasinya untuk mengubah lokasi. Hynix tetap di Korea Selatan meskipun melakukan M&A atas NAND yang lokasi di AS. Blackstone asal AS, Takeda Consumer di Jepang, demikian pula dengan Walmart (AS) dan Grupo (Argentina) dan masih banyak lagi lintas bangsa. Lokasi tetap, pabrik tetap di Indonesia, tenaga kerja asal Indonesia, bahan baku asal Indonesia dan konsumen pun di Indonesia.

Ini yang harus disiapkan fundamental konstitusinya bagi pemerintah Indonesia minimal sebagai bantalan agar sumber daya Indonesia jangan sampai terkuras sampai akar-akarnya. Minyak dan gas boleh dioperatori korporasi global, namun pemenuhan utama adalah untuk dalam negeri, ini harus dijaga.

Transaksi fintech harus tetap dikonsolidasikan di Indonesia karena transaksinya ada di sini. Provider keuangan boleh melakukan transaksi digital, namun tiba saatnya uang Indonesia akan ditarik global, pemerintah sudah siap dengan antisipasinya.

Penulis : Effnu Subiyanto

Dosen dan Peneliti Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Jawa Timur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×