Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Kita sangat respek dan menyambut baik niat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperbaiki konstruksi pengelolaan kelembagaan parpol di mata publik melalui pembangunan Sistem Integritas Partai Politik (SIPP). Ada empat poin penting sistem integritas yang digagas, yakni pendanaan parpol yang transparan dan akuntabel, rekrutmen pejabat publik melalui parpol, kaderisasi yang terstruktur dan berjenjang di parpol serta pengaturan dan penegakan kode etik.
Gagasan SIPP muncul manakala KPK galau berat karena sejak berdiri telah menjerat 891 koruptor dan 545 orang adalah politisi. Sedangkan sisanya kader partai yang terlibat perkara rasuah. Sampai saat ini, 61,17% pelaku diproses dalam kasus korupsi politik. Maraknya korupsi di sektor politik menjadi salah satu alasan kenapa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia jalan di tempat (KPK, 2018).
SIPP diharapkan bisa membangunkan parpol dari tidur panjang selama ini yang selalu bergulat dengan kultur medioker. Partai politik yang diharapkan bertransisi menjadi institusi perpanjangan suara dan kepentingan rakyat pasca-reformasi terkadang menjadi ranah perwakilan kepentingan kaum elite menggunakan baju mentereng demokrasi.
Sebenarnya gerundelan soal parpol yang identik dengan krisis kefatsunan dan korup bukan hanya terjadi sekarang. Ketika Soekarno berorasi di forum pertemuan wakil pemuda pada 8 Oktober 1956, ia juga mengkritik partai yang penuh dengan sikut-sikutan. Ia mencontohkan Pemilu 1955 yang gaduh, empat partai besar (PNI, Masyumi, NU dan PKI) berhadapan dalam duel identitas, terjebak dalam dikotomis surga-neraka, sampai-sampai Masyumi mengeluarkan statemen penolakan pemakaman kaum komunis yang diidentikkan sebagai kafir hingga intimidasi terhadap warga konstituen di desa. Soekarno mengajak rakyat menguburkan partai.
Tahun 1962 Herbert Feith menulis buku berjudul The Decline of Constituional Democracy in Indonesia.Di buku itu ia menyorot keras soal kejatuhan sistem demokrasi parlementer. Karena kegaduhan dan konflik parpol yang berlarut-larut, termasuk korupsi yang begitu masif dan menyeret Tentara Nasional Indonesia hingga kemudian beralih ke era demokrasi terpimpin pada pertengahan 1959.
Kritik tersebut masih dibutuhkan saat ini dengan melihat kinerja parpol yang dibayang-bayangi kabut tebal inkonsistensi nilai etik-moral, memudarnya prinsip ideologis dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Yang ditandai dengan perilaku korupsi berjamaah yang menyubur dari rahimnya.
Partai politik semakin ke sini semakin dilingkari indolensi visi demokratiknya untuk menjalankan esensi kedaulatan rakyat sehingga kinerja parpol lebih berbasis pada kesadaran atribut, jargon dan propaganda semu yang membelah hati rakyat.
Dalam hal pendanaan parpol misalnya, sejauh ini belum ada komitmen parpol untuk membangun integritas sistem pendanaan yang transparan dan akuntabel. Dulu parpol mengeluhkan soal bantuan keuangan negara kepada parpol yang kecil (setiap suara sah yang diperoleh parpol mendapat Rp 108). Namun setelah pemerintah menyetujui kenaikan dana bantuan parpol 10 kali lipat menjadi Rp 1000 per suara sah, harapan agar celah korupsi bisa diminimalisir belum kunjung terwujud. Buktinya kepala daerah yang korupsi dengan motif pengembalian biaya politikyang besar dalam proses pilkada, terus saja terjadi hingga detik ini.
Menurut Polmark Indonesia, total bantuan keuangan untuk 10 parpol yang lolos ke DPR berdasarkan hasil pemilu mencapai Rp 13,2 miliar. Selain bantuan parpol untuk daerah yang nilai totalnya mencapai Rp 385,4 miliar. Dengan kenaikan 10 kali lipat, maka 10 parpol yang lolos ke DPR berhak menerima Rp 132 miliar.
Muncul pertanyaan, mungkinkah tambahan dana tersebut digunakan untuk proses pendidikan politik dan membiayai rutinitas operasional sekretariat partai sesuai mandat PP No 1/2018? Selama ini catatan penggunaan bantuan keuangan parpol tidak bisa diakses secara bebas oleh masyarakat di laman resmi masing-masing parpol.
Pragmatisme
Demikian juga dengan laporan penggunaan dana parpol yang tidak pernah dipublikasi di laman resmi Kemendagri dan BPK. Sampai kini pun publik tidak pernah mengetahui secara transparan dan detail siapa saja para penyumbang dana untuk parpol baik secara pribadi maupun lembaga. Kita khawatir, ini sengaja dibiarkan, agar potensi penyimpangan pengelolaan dana partai untuk kepentingan yang tidak relevan dengan pendidikan politik publik dan penguatan demokrasi kelembagaan, tidak terendus publik.
Demikian juga soal rekrutmen dan kaderisasi parpol yang seolah berada di kamar tertutup. Kita tidak tahu apa standar untuk menyeleksi kader parpol dalam proses kandidat di pemilu/pilkada. Selama ini proses rekrutmen kerap dibungkus aroma transaksional dengan menekankan pola monetisme ketimbang kualitas integritas dan kapabilitas.
Akibatnya kader yang mumpuni mudah dicekal oleh sosok populer karbitan dan berduit yang dipaksakan oleh elite parpol hanya karena pertimbangan elektoral dan asap dapur parpol. Jangan heran jika rezim pragmatisme parpol inilah yang kemudian melahirkan pejabat publik yang deviatif, tidak kapabel memimpin maupun korup karena tidak dikaderkan secara meritokratis.
Terhadap kader parpol yang mengidap problem moral dan mencederai amanah publik, sikap parpol bukannya mendukung penuh pemberian sanksi moral maupun hukum terhadap mereka, namun sebaliknya membela. Atau mencuci tangan dengan argumen klasik: kadernya yang korup tidak ada kaitannya dengan institusi partai, itu perbuatan oknum semata. Padahal kita tahu dari pelbagai riset, kepala daerah yang korup selalu terkait dengan sistem yang korup di parpolnya.
Kita tidak mau kritik Soekarno untuk menguburkan partai terus menghantui perjalanan demokrasi. Parpol mendesak untuk diinjeksi dengan nilai-nilai integritas karena bagaimanapun partai adalah penghasil wakil rakyat, penentu komisi dan pejabat penting negara termasuk yang memilih presiden dan wakil presiden yang menentukan perjalanan bangsa lima tahun ke depan.
Penerapan sistem integritas kepartaian diharapkan bisa mendorong parpol membangun tradisi baru (transparan, akuntabel, memiliki panduan etis yang kuat) dalam berpolitik sehingga fungsinya sebagai public intermediare atau instrumen akuntabilitas publik yang bermutu dan berpihak pada kepentingan rakyat (Normanton, 1996; Jones dan Pendlebury, 1996), bisa terwujud.
Kita ingin semua parpol memiliki bendera dan platform kepentingan sama: membalikkan kiblat tradisi kelembagaannya dalam mengupayakan kebijakan publik berkualitas yang menjawab persoalan rakyat melalui lahirnya kader besutannya yang bersih, amanah, nasionalis dan memiliki visi wujudkan kejayaan bangsa.•
Umbu TW Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News