Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Seorang suporter Persija Jakarta tewas karena dianiaya sekelompok oknum suporter Bobotoh Persib Bandung. Sebagian masyarakat menyayangkan. Sepakbola sebagai olahraga dengan daya tarik terbesar di Indonesia seharusnya mampu menjadi sumber hiburan dan sportivitas.
Ironisnya, sebagian lain menganggap tragedi ini adalah wajar, dengan dalih rivalitas klasik antar-suporter semestinya dimaklumi sebagaimana juga terjadi di berbagai belahan dunia. Bagaikan Barcelona dan Real Madrid di Spanyol atau Celtic dan Rangers di Skotlandia.
Meskipun menghibur, kita tidak dapat memungkiri bahwa sepakbola juga mengandung ultra fanatisme yang menjadi akar dari segala kekerasan. Mari kita menengok ke dalam stadion. Kita akan dengan mudah menemukan kultur kekerasan di sana. Kita akan mendengar yel-yel serta chant penuh teror terhadap pendukung kelompok suporter yang lain.
Di sudut-sudut kota, kita melihat lukisan mural berisi hinaan. Di media sosial, kita menemukan puluhan meme yang kasar. Di depan stadion, kita melihat t-shirt maupun syal yang berisi makian terhadap kelompok suporter yang lain. Ada pemakluman terhadap kebencian di sana. Ada normalisasi terhadap teror di sana. Ada banal terhadap kekerasan di sana.
Ironisnya, kita membiarkan. Kita yang selama ini sedemikian marah dengan isu fasisme yang datang dan mengancam identitas nasional. Kita yang kerap sedemikian sensitif dengan isu kekerasan atas nama agama dan ideologi. Tetapi kini, kita diam saja saat kekerasan itu merebak memenuhi tribun penonton.
Kita menutup telinga ketika kereta dari Surabaya mendapat lemparan batu saat melaju menuju Malang dan sebaliknya. Kita seolah tidak tahu dengan sweeping dan perusakan kendaraan tiap kali suporter Jakarta dan Bandung saling datang berkunjung.
Memahami fanatisme
Mengapa seseorang dapat menjadi sangat fanatik dengan sebuah klub sepakbola? Mengapa para fans dapat menggelontorkan sedemikian banyak biaya untuk membeli tiket terusan dan membeli jersey serta aksesori klub kesayangan setiap musim? Mengapa mereka dapat sedemikian marah ketika klub kesayangan mereka dihina?
Apa yang membuat emosi mereka dapat sedemikian mudah tersulut ketika ada suporter dari klub sepakbola lain menghina? Dalam ilmu psikologi sosial, semua pertanyaan di atas termasuk dalam kajian tentang fanatisme dan dapat dijelaskan dengan teori identitas sosial.
Teori identitas sosial menjelaskan bahwa pada dasarnya, manusia memiliki kebutuhan untuk mempertahankan harga diri positif. Dengan memiliki harga diri positif, seseorang merasa bahwa dirinya atraktif, kompeten dan disukai oleh banyak orang. Klub sepakbola adalah salah satu medium yang dapat digunakan untuk membuat seseorang meningkatkan harga diri individu, yakni dengan cara mengaku sebagai bagian darinya.
Dengan membuat klaim, seseorang menjadi suporter dari sebuah klub sepakbola, maka ia sedang membuat asosiasi dan afiliasi dengan klub tersebut. Jadi, seolah-olah klub tersebut adalah bagian dari dirinya.
Rasa bahwa kita adalah bagian dari klub inilah yang membuat kita rela untuk membeli jersey, datang ke stadion manapun tempat tim kesayangan sedang berlaga, mengenali semua pemain dan kehidupan pribadinya, bahkan ikut menganalisis statistik individu tiap pemain yang diturunkan dalam sebuah pertandingan.
Ketika tim sedang bermain baik, maka harga diri individu terkoneksi dengan harga diri tim. Suporter turut merasakan euforia kemenangan seolah mereka sendiri yang turun berlaga dalam pertandingan tersebut. Inilah yang Profesor Henry Tajfel, penemu teori identitas sosial, katakan sebagai in-group favoritism.
Namun sebaliknya, ketika tim sepakbola sedang mengalami kekalahan, suporter fanatik akan tetap melihat, tim sepakbolanya adalah yang terbaik. Atribusi kekalahan akan diarahkan kepada hal-hal eksternal. Misalnya, apakah karena tim lawan yang bermain kasar, wasit berat sebelah, panitia pertandingan yang tidak profesional, dan berbagai alasan lainnya.
Sangat jarang ditemukan bahwa suporter akan menyalahkan timnya bermain buruk setelah mengalami sebuah kekalahan. Kondisi psikologis inilah yang memicu terjadinya permusuhan antarsuporter. Terlebih ketika kedua tim memiliki status sebagai sama-sama tim besar seperti Persija Jakarta dan Persib Bandung.
Semua diskusi ini memantik beberapa pertanyaan besar untuk kita renungkan. Apakah mungkin kita dapat merobohkan kultur kekerasan pada suporter sepakbola kita? Mungkinkah kita dapat mengembalikan fitrah sepakbola sebagai sebuah olahraga terpopuler di tanah air tanpa harus ada nyawa yang melayang? Mungkinkah rivalitas antarsuporter dapat dihentikan?
Jika berkaca dari sepakbola Spanyol dan Inggris, seharusnya jawabannya adalah bisa. Tahun 2012, Barcelona dan Real Madrid pernah kompak memakai kaos putih bertuliskan "Semoga Cepat Sembuh, Abidal!" sebelum pertandingan dimulai.
Gerakan ini adalah bentuk dukungan terhadap Eric Abidal, bek kiri Barcelona yang sedang menjalani operasi transplantasi hati untuk ketiga kalinya. Federasi Sepakbola dan seluruh klub di Spanyol bahkan sepakat berdoa bagi Abidal sebelum pertandingan dimulai. Rivalitas mendarah-daging antara Barcelona dan Real Madrid seketika hilang ketika Abidal jatuh kembali di meja operasi.
Pada tahun yang sama, di lanjutan Piala FA, pertandingan Bolton Wanderers versus Tottenham Hotspurs tiba-tiba terhenti karena salah satu pemainnya, Fabrice Muamba, tergeletak koma dalam stadion. Beberapa pemain Spurs bersama dengan pemain Bolton dan staf medis kompak menolong Muamba.
Bolton bahkan mewacanakan untuk keluar dari kompetisi tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada Muamba. Komentar manajer Bolton saat itu barangkali adalah hal yang paling harus kita garis bawahi, "Saat melihat Muamba tergeletak, sepakbola menjadi tidak penting lagi".
Semua cerita di atas menunjukkan persatuan antar-suporter dalam sepakbola dapat diupayakan dengan cara menempatkan nilai-nilai bersama di atas fanatisme kelompok. Narasi tentang rivalitas dalam dunia sepakbola Spanyol dan Inggris di atas berhenti setelah mereka memilih kemanusiaan sebagai sebuah nilai yang jauh lebih penting daripada fanatisme kelompok.
Kini, pertanyaan mengarah kepada kita. Setelah satu nyawa melayang, beranikah kita berkata, rivalitas dalam sepakbola itu menjadi tidak penting lagi? Atau sebaliknya, kita tetap memilih mengelak, menolak mengakui ini semua, dan memberikan tanggung jawab penuh pada sosok yang selalu kita sebut oknum.•
Jony Eko Yulianto
Dosen Psikologi Sosial Universitas Ciputra Surabaya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News