kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45932,90   4,55   0.49%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mewaspadai bayang-bayang resesi


Jumat, 06 September 2019 / 10:50 WIB
Mewaspadai bayang-bayang resesi


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Sinyal sistem deteksi dini (early warning system) menunjukkan bahwa di banyak negara mulai dibayangi adanya kelesuan ekonomi global. Disinyalir perang dagang China - Amerika Serikat (AS) merupakan pangkal utama yang menyeret timbulnya gejala penyakit resesi ekonomi ini. Efeknya, beberapa negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif (negative growth). Jerman, Inggris, Italia, dan beberapa negara Amerika Latin seperti Argentina, Meksiko dan Brasil. Belakangan beberapa negara Asia seperti Singapura dan Thailand. Singapura merupakan contoh negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi negatif. Hal ini dikhawatirkan berimbas menjadi efek domino (contagion effect) bagi kawasan.

Beberapa gejala dapat menjadi indikator munculnya badai resesi ekonomi pada suatu negara atau kawasan bahkan global. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang stagnan, bahkan negatif. Bila berkaca pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia saat ini ternyata masih relatif bagus, walaupun tidak beranjak dari angka 5% sejak 2014. Padahal, tahun 2010 sampai 2013 rata-rata mencapai angka 6% per tahun. Untuk itu, asumsi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 pun masih berkisar 5%.

Tumpuan dan harapan besar ada pada APBN 2020 yang dapat mengatasi berbagai tantangan global. Pada tataran ekonomi global, pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran menentukan kuat tidaknya kondisi ekonomi suatu negara terhadap terpaan badai resesi ekonomi yang terjadi. Bila pertumbuhan ekonomi suatu negara mengalami kenaikan secara signifikan, berarti negara tersebut dalam kondisi ekonomi yang stabil dan kuat terhadap berbagai terpaan global.

Kedua, terjadinya defisit neraca pembayaran yang artinya negara mempunyai kondisi nilai impor lebih tinggi dibanding nilai ekspor. Nah, kondisi ini sedang dialami Indonesia. Inilah yang menjadi kekhawatiran. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia per Juli 2019 saja mengalami defisit US$ 63,5 juta. Bank Indonesia (BI) mencatat, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) kuartal II 2019 sebesar US$ 8,4 miliar. Hal ini berarti, defisit tersebut telah mencapai 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Angka ini telah menyentuh batas atas CAD, yang diprediksi hanya pada level 2,5%-3%dari PDB 2019. Seperti dilaporkan, tingginya CAD ini merupakan akibat dari perilaku musiman repatriasi dividen, pembayaran utang luar negeri, dan kondisi perekonomian global. Penyebab yang terakhir inilah yang membuat beberapa harga komoditas turun dan berakibat kinerja ekspor Indonesia tak memuaskan.

Ketiga, adanya ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi. Keseimbangan antara produksi dan konsumsi menjadi dasar pertumbuhan ekonomi. Pada saat produksi dan konsumsi mengalami ketidakseimbangan, maka akan membuat siklus ekonomi terganggu. Bila kenaikan produksi tidak diikuti dengan penyerapan konsumsi, maka akan terjadi penumpukan stok barang. Sebaliknya, bila produksi rendah sedang konsumsi mengalami kenaikan, tentu saja kebutuhan dalam negeri tidak tercukupi, akibatnya harus dilakukan impor.

Hal ini banyak terjadi pada beberapa komoditas bahan pangan dan manufaktur. Bila dalam jangka panjang terus terjadi nilai impor lebih besar dibanding ekspor, maka berakibat neraca perdagangan menjadi negatif. Akibat lainnya adalah terjadi penurunan laba bagi perusahaan sehingga berpengaruh pada lemahnya pasar modal dan turunnya permintaan. Akibat lainnya adalah terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan. Walaupun di Indonesia saat ini tidak terlihat secara signifikan. Tetapi apa salahnya waspada melihat berbagai gejala-gejala negatif tersebut.

Keempat, adanya inflasi yang tinggi. Inflasi yang tinggi akan mempersulit kondisi perekonomian karena harga-harga komoditi akan melonjak dan tidak terjangkau dikalangan masyarakat terutama masyarakat bawah. Gejala ini pun tampaknya tidak terlihat signifikan di Indonesia. Data BPS memperlihatkan rata-rata inflasi sampai awal triwulan ketiga 2019 masih relatif rendah di bawah 5%.

Kelima, meningkatnya pengangguran. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian. Jika suatu negara tidak mampu menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal, maka tingkat pengangguran di negara tersebut jelas akan tinggi. Risikonya, daya beli rendah bahkan memicu keresahan dan kerusuhan serta tindak kriminal lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Sampai saat ini kondisi pengangguran di Indonesia banyak diakibatkan lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi yang tidak terserap dalam dunia kerja sebagai akibat tidak kuatnya dunia usaha di Indonesia. Apalagi, bila impor tenaga kerja asing terus berlangsung, maka tentu saja akan menambah jumlah pengangguran. Meski begitu, saat ini pengangguran banyak tertolong oleh dunia aplikasi online, seperti ojek online di perkotaan yang begitu mudahnya keluar masuk.

Satu hal yang mengkhawatirkan dari beberapa indikator di atas adalah, utang luar negeri yang terus bertambah. Walaupun kemampuan membayar cukup bagus, namun bila tidak direm dapat menyebabkan akumulasi berbagai gejala penyakit kelesuan ekonomi terjadi dan saling mempengaruhi. Sudah saatnya berhitung ulang untuk me-reschedule dan me-reprofiling kembali utang luar negeri serta memperhitungkan ulang tambahan utang baru, walaupun secara rasio dan kemampuan dapat membayar cicilan dan pokoknya.

Akan tetapi hal ini menjadi beban APBN periode berikutnya karena kondisinya bisa jadi penuh ketidakpastian. Nah, saat kondisi tidak menguntungkan cicilan dan pokoknya besar, maka akan menjadi rentan terimbas berbagai efek global.

Indonesia, seperti negara lainnya di berbagai kawasan, yang sedang dibayang-bayangi resesi ekonomi, kendati secara umum perekonomian masih stabil. Situasi dapat memburuk bila Indonesia tidak antisipatif menghadapi pelemahan dan ketidakstabilan perekonomian global.

Untuk mengantisipasi gelombang resesi ekonomi tersebut memang diperlukan jurus dan penangkal yang ampuh. Perlu kepiawaian pemerintah untuk memainkan berbagai instrumen, termasuk peran instrumen fiskal dan moneter yang jitu. APBN 2020 sebagai instrumen fiskal perlu dioptimalkan dalam mengantisipasi merembesnya resesi global. Berkaca krisis global tahun 2008 yang dapat melewati badai tersebut adalah melalui penerapan beberapa strategi antara lain efisiensi fiskal melalui APBN.♦

Ragimun
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×