kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mewaspadai efek tular korporasi gagal


Minggu, 08 September 2019 / 10:00 WIB
Mewaspadai efek tular korporasi gagal


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Penurunan rating obligasi keluaran beberapa korporasi Indonesia oleh lembaga rating dunia belakangan ini sepertinya makin marak saja. Tidak tanggung-tanggung, penurunan rating-nya bisa terjun bebas hingga mencapai enam level. Contohnya saja, penurunan rating oleh Standard & Poor Global Ratings terhadap obligasi salah satu anak usaha Grup Duniatex, yakni PT Delta Merlin Dunia Textile. Rating obligasinya dipangkas habis dari BB- menjadi CCC-.

Bila dicermati, penurunan rating oleh lembaga-lembaga rating itu dilandasi oleh adanya keraguan akan kemampuan korporasi dalam melunasi kewajibannya dalam waktu dekat sehingga berpotensi gagal bayar alias default.

Sudah tentu muncul dua kutub pendapat menanggapi penurunan rating tersebut. Di satu sisi, sebagian kalangan mengatakan bahwa Indonesia sedang menuju krisis dan pemicunya berasal dari utang korporasi. Hal ini didukung dari Laporan Mckinsey Agustus 2019 yang melihat tanda-tanda potensi datangnya krisis utang di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia.

Namun, ada juga kalangan lain yang berpendapat sebaliknya, bahwa gagal bayar tersebut hanyalah kegagalan individu korporasi semata dan tidak mencerminkan kondisi industri secara keseluruhan (idiosyncratic risk). Setidaknya ini dibuktikan dari korporasi dengan bidang usaha sejenis yang tetap berkinerja baik, bahkan cenderung meningkat.

Terlepas dari permasalahan tersebut di atas, berikut silang pandangan yang menyertainya. Hal yang perlu diwaspadai adalah efek tular (contagion effect) dari kegagalan korporasi tersebut. Pasalnya, kegagalan korporasi dapat merembet ke sektor perbankan sebagai penyedia utama pembiayaan kepada korporasi tersebut.

Sejatinya, kita pernah mengalami kondisi semacam itu pada krisis keuangan 1997/1998. Pada saat terjadi gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (USD), banyak korporasi berjatuhan akibat utang valuta asing dan suku bunga tinggi.

Hal ini menyebabkan utang mereka di perbankan menjadi macet dan berimbas buruk ke industri perbankan. Akhirnya menyulut krisis keuangan dan ekonomi. Perbaikan kondisi ekonomi ini ternyata membutuhkan waktu yang lama serta memakan biaya yang tidak sedikit, yakni mencapai 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Rembetan korporasi default ke sektor perbankan terjadi ketika pembiayaan untuk suatu korporasi berasal dari banyak bank. Artinya, bank-bank memiliki aset yang sama (common exposure). Apabila korporasi tersebut gagal bayar, maka efeknya banyak bank akan terpapar risiko.

Pemberian kredit semacam ini sering kali kita jumpai di perbankan. Sebagai contoh pembiayaan perbankan Indonesia pada Grup Duniatex mencapai Rp 17 triliun mencakup lebih dari 20 bank. Seandainya Grup Duniatex default, maka banyak bank tersebut akan terpapar risiko.

Tidak hanya itu, pemberian kredit melalui skema kredit sindikasi juga dapat menimbulkan efek menular. Pada level individu, memang kredit sindikasi memberikan manfaat berupa pembagian beban atau risiko (risk sharing) dan mampu membiayai korporasi yang membutuhkan dana jumbo. Namun, dalam level makro, pemburukan kredit sindikasi berpotensi memicu timbulnya risiko sistemik karena melibatkan banyak bank yang menjadi anggota dalam sindikasi kredit tersebut.

Untuk itu, tidak berlebihan bila dalam suatu konferensi perbankan di Chicago pada Mei 2010 lalu, Bernanke sudah mewanti-wanti potensi risiko sistemik yang mungkin timbul dari kredit sindikasi korporasi, termasuk pula risiko dari common exposure lainnya.

Kekhawatiran Bernanke tersebut didukung pula dengan hasil penelitian Cai et al (2018) yang menunjukkan bahwa kredit yang memiliki kesamaan eksposur ternyata memainkan peran penting dalam sejarah panjang krisis, seperti krisis keuangan Asia 1997/1998 dan Subprime Mortgage di AS 2008/2009.

Selamatkan korporasi

Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor korporasi memiliki peranan penting dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Menurut kajian Bank Indonesia (BI) yang tertuang dalam Kajian Stabilitas Keuangan Maret 2019, sektor yang melakukan transaksi keuangan terbesar adalah sektor korporasi. Untuk itu, korporasi terutama yang bergerak di area strategis atau memiliki peranan atau kontribusi yang signifikan dalam perekonomian di suatu daerah perlu diselamatkan.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, apabila sektor industri yang digeluti korporasi dinilai masih memiliki prospek yang baik, maka kreditur perbankan sebaiknya melakukan restrukturisasi kredit. Misalnya dengan memperpanjang jangka waktu. Bila kredit tidak diperpanjang, maka aktivitas usaha korporasi akan berhenti.

Hal ini akan merugikan banyak pihak, tidak hanya korporasi, namun juga berimbas pada karyawannya dan terutama pada masyarakat sekitar yang kegiatan ekonominya bergantung pada keberadaan korporasi tersebut. Di samping itu, perbankan juga sebaiknya terus memonitor kinerja korporasi dan mulai menyiapkan cadangan (buffer) untuk mengantisipasi terjadinya gagal bayar.

Kedua, korporasi harus juga berbenah memperbaiki diri sendiri, karena terkadang kegagalan korporasi akibat pengelolaan yang tidak tepat (mismanagament). Permasalahan yang kerap muncul, terutama dalam manajemen utang, terkait dengan ketidaksesuaian mata uang (currency mismatch), yakni utang dalam dolar sementara pendapatan dalam rupiah.

Selain itu, struktur utang dominan berjangka pendek sehingga akan menimbulkan liquidity mismatch yang berimbas pada ketidakmampuan mereka melunasi kewajibannya.

Ketiga, tentu saja pemerintah, dalam hal ini kementerian terkait yang telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang mendorong derasnya produk impor masuk ke Indonesia.

Dalam hal ini keberadaan negara harus ada untuk melindungi korporasi, terutama korporasi strategis atau yang memiliki pengaruh signifikan bagi kegiatan ekonomi di suatu daerah.

Paling tidak bentuk perlindungan yang dapat diberikan saat ini antara lain terkait dengan ancaman serbuan impor dari China, imbas dari perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China.

Proteksi tersebut dapat dilakukan. Pasalnya, banyak negara juga mengeluarkan kebijakan yang memproteksi korporasi mereka dari serbuan impor negara lain yang menggerus pasar korporasi lokal.♦

Ardhienus
Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan 
Bank Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×