kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mewaspadai politik gentong babi THR


Senin, 11 Juni 2018 / 13:10 WIB
Mewaspadai politik gentong babi THR


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Jelang Lebaran kali ini muncul polemik terkait kebijakan pemberian tunjangan hari raya (THR). Pemberian THR diberikan kepada aparat sipil negara (ASN)  pusat dan daerah, TNI/Polri, pensiunan, hingga tenaga honorer. Kebijakan tersebut tertuang melalui Peraturan Pemerintah  tentang THR PNS dan TNI/Polri serta pensiunan dan gaji ke-13 yang baru saja diteken oleh Presiden Joko Widodo.

Anggaran yang disediakan tahun ini mencapai Rp 35,76 triliun, atau naik 68,9% dibandingkan tahun 2017 lalu. Hal ini akibat adanya kenaikan besaran THR bagi ASN alias pegawai negeri sipil (PNS) aktif, serta tambahan THR bagi pensiunan dan honorer.

Polemik muncul dari pemerintah daerah atau pemda yang merasa tidak mampu membayarnya.  Berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur Nomor 903/3386/SJ tertanggal 30 Mei 2018 serta Surat Mendagri kepada Bupati/Wali Kota No. 903/3387/SJ tertanggal 30 Mei 2018, pemberian THR dan gaji ke-13 bagi ASN daerah bersumber dari APBD.

Sejatinya, kebijakan THR patut diapresiasi jika tujuannya murni demi kesejahteraan. Faktanya muncul polemik terkait ketidakmampuan beberapa daerah mengikuti kebijakan tersebut. Selain itu kebijakan ini terjadi pada tahun politik jelang Pilpres 2019. Bagaimanapun muncul dugaan adanya aroma politik gentong babi melalui kebijakan THR yang berlangsung pada tahun ini. Publik  mesti cerdas dalam menyikapi dan mewaspadai dari implikasi politik tersebut.

Kata "gentong babi" menurut Maxey (1919) berasal dari praktik memberikan daging babi asin kepada para budak kulit hitam pada masa Perang Saudara (1861-1865).  Pada masa itu, para tuan pemilik budak memberikan daging babi yang telah diasinkan kepada para budak kulit hitam untuk diperebutkan. Perilaku yang menggunakan anggaran pemerintah untuk kepentingan politik pribadi bisa disamakan dengan perilaku para budak yang memperebutkan daging tersebut. Jika kebijakan THR ada nuansa merengkuh hati ASN pusat dan daerah, TNI/Polri, pensiunan, hingga tenaga honorer, maka dapat diduga ada aroma gentong babi.

Politik gentong babi kali pertama kali terjadi di Amerika Serikat dengan istilah "Bonus Bill". Wakil Presiden Amerika Serikat John C. Calhoun era 1817 mengusulkan "Bonus Bill" yang isinya penggelontoran dana untuk pembangunan jalan raya yang menghubungkan Timur dan Selatan ke Barat Amerika. Dananya diambil dari laba bonus Second Bank of the United States (bank kedua Amerika Serikat). RUU tersebut akhirnya diveto oleh Presiden James Madison.

Politik gentong babi biasanya dilakukan oleh calon incumbent yang telah memiliki kekuasaan. Teddy Lesmana dalam bukunya "Politik Pork Barrel dan Kemiskinan" menuturkan praktik “gentong babi” terkait perilaku politisi yang menggunakan uang negara untuk kepentingan politiknya dan tidak semata-mata untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya.  Banyak kebijakan atau program yang  dimanfaatkan sebagai sumber gentong babi.  

Setiap jelang pemilu politik gentong babi terus terjadi repetisi bahkan dikombinasikan dengan politik citra. Politik gentong babi yang negatif dikemas dengan rekayasa menjadi citra positif. Sungguh kejam sesungguhnya praktik ini. Jelang Pemilu 2009 misalnya digelontorkan kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT), sedang sebelum Pemilu 2014 dibagikan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM).

Berdasarkan pengalaman pemilu 2014, kajian ICW terhadap APBN 2013 menunjukkan total belanja bantuan sosial yang dianggarkan kementerian berjumlah Rp 69 triliun. Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2012 yang hanya sebesar Rp 40 triliun.

Upaya kewaspadaan

THR memang sangat membantu dan dibutuhkan. Tetapi tujuan politik pragmatis mesti dilawan dengan kewaspadaan. Bukan berarti menolak nilainya, namun yang harus dilawan adalah proses kebijakannya. Semua elemen penting berkontribusi dan bergandengan tangan dalam merealisasikannya.

Pertama adalah publik. Publik mesti memahami bahwa politik gentong babi hakikatnya adalah melecehkan dan menghinakan. Sumber dana yang digunakan adalah milik rakyat dan digunakan untuk menyuap rakyat. Pembagian bantuan seperti THR hanya dapat diterima jika tanpa syarat.  Masyarakat juga mesti melek politik guna membentengi diri dari politisasi  dana yang digelontorkan pemerintah.

Kedua adalah aparat penegak hukum. Penegak hukum mesti peka dan pro aktif mengawasi kemungkinan terjadinya politik gentong babi. Kepolisian dan kejaksaan dapat turun jika mengarah pada tindak pidana. Inspektorat kementerian atau daerah diharapkan semakin ketat mengatur dan mengawasi operasionalisasi penyaluran THR atau dana lain.

Ketiga adalah penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu mesti mengatur masalah pendanaan kampanye secara rinci. Regulasi penting mendorong akuntabilitas dan transparansi dana kampanye serta mengantisipasi manipulasi pelaporan.  Bawaslu/Panwaslu harus senantiasa membuka mata dan mengawasi potensi pelanggaran pemilu akibat politik gentong babi.

Keempat yakni calon dan parpol. Elemen ini menjadi pihak yang berpotensi terdakwa terkait politik gentong babi. Pendidikan politik dan ideologisasi internal dari parpol ke calon mesti ditanamkan kuat. Politik gentong babi menyebabkan persaingan tidak sehat antara caleg baru dan petahana. Jika politik gentong babi tidak diantisipasi parpol, maka dapat menjadi bibit konflik internal.

Kelima, adalah komponen lainnya seperti akademisi, LSM, mahasiswa, gerakan sipil, dan lainnya. Komponen ini ditunggu kontribusi untuk mencerahkan pendidikan politik masyarakat serta menggalang kekuatan melawan politik gentong babi. Kerelawanan dan perlawanan masifnya dinantikan demi penyehatan demokrasi.

Politik gentong babi menjadi ujian dan saringan dalam proses pemilu modern. Cara ini dapat menjadi bumerang dan berujung kekalahan bagi calon dan parpol. Bahkan tidak menutup kemungkinan dapat mengantarkannya ke jeruji besi. Politik gentong babi mesti dijadikan musuh bersama dalam demokrasi.•

Ribut Lupiyanto
Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×