kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.886.000   2.000   0,11%
  • USD/IDR 16.614   21,00   0,13%
  • IDX 6.938   105,63   1,55%
  • KOMPAS100 1.005   18,19   1,84%
  • LQ45 780   14,60   1,91%
  • ISSI 220   2,28   1,05%
  • IDX30 404   7,16   1,80%
  • IDXHIDIV20 476   9,32   2,00%
  • IDX80 113   1,69   1,52%
  • IDXV30 116   1,44   1,26%
  • IDXQ30 132   2,90   2,24%

Mimpi efisiensi sistem pembayaran


Rabu, 06 Juni 2018 / 15:52 WIB
Mimpi efisiensi sistem pembayaran


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini, sistem pembayaran mengalami transformasi yang sangat cepat hingga saat ini. Munculnya layanan baru seperti e-payment dan e-wallet yang berkorelasi dengan berkembangnya bisnis digital seperti e-commerce dan transportasi online tentu sangat menguntungkan masyarakat. Proses pembayaran bisa lebih murah dan proses transaksi pembayaran kini sudah bukan lagi dalam hitungan jam tapi sudah detik. Artinya bisa dalam sekejap mata saja. Kondisi ini tentu merevolusi seluruh tatanan sistem pembayaran nasional.

Secara bersamaan, Bank Indonesia (BI) terus melakukan aneka terobosan agar biaya transaksi menjadi lebih efisien atau murah. Salah satunya lewat kebijakan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan pengaturan fintech (teknologi keuangan) dibidang pembayaran. Aturan mengenai sistem pembayaran ini melengkapi pekerjaan rumah Gubernur BI yang baru Perry Warjiyo, selain tentunya fungsi kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial.

Namun, dari beragam aturan tersebut tentu masih meninggalkan celah untuk dievaluasi dan tentu juga bisa disempurnakan. Secara konsep misalnya dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur No. 19/10/PADG/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional pada pasal 43, disitu disebut bahwa bank penerbit kartu debit diwajibkan untuk memastikan seluruh nasabah sudah bisa memiliki paling sedikit satu kartu debit berlogo Gerbang Pembayaran Nasional pada tahun 2022 nanti.

Dengan adanya aturan tersebut, maka bank mau tidak mau harus menawarkan kartu debit berlogo Gerbang Pembayaran Nasional itu ke seluruh nasabahnya yang notabene sebelumnya sudah memiliki kartu debit. Padahal, kartu debit yang sudah ada itu pun pemrosesannya sudah diwajibkan lewat infrastruktur GPN yang bersangkutan. Hal ini tentu menimbulkan tambahan biaya pengeluaran untuk bank penerbit kartu. Disinilah letak problem inefisiensi yang pertama muncul.

Inefisiensi yang kedua terletak pada masalah kartu berlogo GPN itu sendiri yang masih belum bisa digunakan untuk transaksi online atau contactless (nirsentuh). Jika hal itu yang didorong lalu apa keuntungan bagi nasabah untuk menukarkan kartunya dari kartu yang lama ke kartu berlogo Gerbang Pembayaran Nasional tersebut? Tanpa insentif, tentu waktu nasabah untuk antre ke bank menjadi terbuang percuma alias terjadi pemborosan waktu. Padahal generasi milenial yang usia antara 18 tahun sampai 35 tahun sudah hampir jarang sekali mendatangi bank, kalau bukan karena pendaftaran tabungan baru atau mengganti kartu ATM yang hilang.

Belajar dari Tiongkok

Kasus serupa akan berpengaruh juga terhadap transaksi non tunai di jalan tol. Dalam rencana pembayaran e-toll misalnya, disebutkan dalam Peraturan Menteri PUPR No.16/PRT/M/2017 tentang Transaksi Tol Nontunai di Jalan Tol pada pasal 6 ayat 1 bahwa ke depannya pengguna jalan tol akan masuk ke era on board unit (OBU) yang menggunakan teknologi contactless. Bahkan di regulasi tersebut tercantum jelas target adopsi 100% transaksi contactless pada 31 Desember 2018.

Dengan adopsi OBU tersebut, para pengguna jalan tol tak perlu repot lagi untuk membeli kartu perdana atau top up saldo. Konsep OBU sendiri mirip dengan electronic road pricing (ERP) yang sudah lama diterapkan di negara-negara lain seperti Singapura dan Kanada. Mimpi itu yang nampaknya belum tersambung dengan rencana Bank Indonesia untuk memastikan nasabah bank untuk menukar kartu dengan logo GPN.

Ada rencana induk yang tidak sinkron antar Kementerian dan Bank Indonesia terkait arah teknologi sistem pembayaran. Wajar masyarakat akhirnya dibuat bingung khususnya pengguna jalan tol, kalau sudah beli kartu e-toll maka pada 31 Desember 2018 kemungkinan perlu membeli perangkat baru lagi, yang tentunya itu sebagai bentuk pemborosan.

Pembuat kebijakan di Indonesia harusnya juga belajar dari kasus adopsi pembayaran digital di Tiongkok. Jika kita masih berbicara kartu, mereka sudah move on bicara tentang pemanfaatan QR (quick response) Code. Mulai dari belanja kebutuhan sehari-hari di supermarket, transfer antara pengguna smartphone, hingga memberikan sumbangan ke pengemis di jalanan Beijing, semua transaksi tersebut sudah bertransformasi ke QR Code.

Belajar dari pengalaman Tiongkok tersebut, maka dapat disimpulkan penggunaan transaksi pembayaran model kartu plastik jelas boros dan memakan biaya tambahan yang ujungnya tetap akan dibebankan ke para nasabah. Sementara penggunaan teknologi contactless terbukti lebih hemat. Dus, dengan keberadaan Gerbang Pembayaran Nasional, apakah kita sedang menuju kearah itu atau justru mundur kebelakang?

Hasil studi LPEM-UI tahun 2018 mengungkapkan temuan yang cukup menarik. Pengaturan tentang merchant discount rate (MDR) dalam Gerbang Pembayaran Nasional memang berdampak signifikan terhadap efisiensi sistem pembayaran. Biaya yang sebelumnya dibebankan Rp 1,75 triliun kepada merchant menjadi berkurang hingga menjadi Rp 920 miliar per tahunnya, alias ada penghematan 47%. Tapi disisi lain, jika bank menerbitkan kartu debit dengan logo GPN maka hal itu berpotensi menimbulkan biaya tambahan sebesar Rp 585 miliar dalam kurun waktu empat tahun. Tentu ini bukanlah win-win solution.

Melihat kondisi tersebut, jelas pekerjaan rumah Gubernur BI yang baru memang tak ringan. Bank sentral di satu sisi harus menjaga perlindungan konsumen. Namun juga harus memastikan kenyamanan dan akses konsumen dalam menggunakan instrumen pembayaran digital. Soal kartu debet berlogo GPN juga bisa dikembangkan untuk meningkatkan inklusi keuangan serta meningkatkan efisiensi bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan. Alih-alih membebani nasabah yang sudah punya kartu debet, kebijakan GPN idealnya berfungsi untuk perluasan pasar ke nasabah baru.

Sekali lagi, tren global di sistem pembayaran sudah bergerak ke pembayaran online, nirsentuh, dan IoT (internet of things). BI seharusnya tidak usah terlalu banyak mengatur ulang industri yang sudah berjalan (kartu ATM dan debit), dan lebih fokus mempersiapkan pasar untuk penerapan teknologi-teknologi baru. Masih ada ruang bagi BI untuk menyempurnakan aturan dalam GPN, sehingga bisa menjadi insentif bagi pelaku sistem pembayaran termasuk bank dan teknologi keuangan untuk terus melakukan inovasi.

Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti Indef

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×