kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mitigasi Bencana


Jumat, 28 Desember 2018 / 19:37 WIB
Mitigasi Bencana
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Hasbi Maulana

KONTAN.CO.ID - Mitigasi bencana. Dua kata ini belakangan makin santer terdengar, menyusul tsunami yang membuat pesisir Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan porak poranda. Sedikitnya 430 orang meninggal dunia dan 159 lainnya masih hilang dalam bencana yang terjadi Sabtu (22/12) malam pekan lalu. Sementara yang luka-luka mencapai 1.495 orang dan 21.991 lainnya mengungsi.

Tak sedikit kalangan yang kembali menyoal mitigasi bencana di Indonesia yang lemah. Tak heran, ada yang mengusulkan mitigasi bencana masuk dalam topik debat calon presiden dan wakil presiden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Maklum, posisi geografis dan geologis Indonesia membuat negara kita sangat rawan bencana alam. Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia: Indo-Australia, Eurasia, Pasifik.

Alhasil, mitigasi bencana mutlak. Dan, pemerintah bukan tidak tahu soal ini, malah tahu betul. Buktinya, mitigasi bencana termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Hanya tampaknya, pemerintah masih kurang serius untuk urusan mitigasi bencana. Contoh, anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun depan hanya Rp 610 miliar. Angka ini turun Rp 90 miliar dibanding tahun ini yang mencapai Rp 700 miliar. Dari tahun ke tahun, anggaran BNPB menyusut. Paling tidak, ini membuktikan, politik anggaran tidak mendukung mitigasi bencana.

Tentu, upaya mengurangi risiko bencana tidak hanya melalui pembangunan fisik dan pengadaan alat untuk pendeteksi dini bencana. Yang tidak kalah penting, upaya mengurangi risiko bencana lewat penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Terutama, meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi resiko bencana. Sehingga, masyarakat bisa hidup dan bekerja dengan aman. Misalnya, dengan pengembangan budaya sadar bencana.

Budaya sadar bencana jelas dengan tidak merusak apalagi mencuri alat pendeteksi bencana. Sebab, sejumlah alat deteksi dini tsunami hilang, termasuk yang ada di Selat Sunda yang lenyap sejak 2007. Jadi, peran masyarakat dalam mengurangi risiko bencana penting.

Bencana alam masih terus mengintai Indonesia, di mana pun, kapan pun. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama berkontribusi dalam melakukan serangkaian upaya mengurangi risiko bencana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×