kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Momok divestasi saham Freeport


Jumat, 04 Januari 2019 / 14:29 WIB
Momok divestasi saham Freeport


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Ada fenomena unik dalam diskursus kebijakan pembelian saham divestasi PT Freeport Indonesia (Freeport) oleh PT Inalum. Yakni, isu hukum bahwa Pemerintah Indonesia tidak punya pilihan selain tetap memperpanjang operasi Freeport pasca-berakhirnya Kontrak Karya (KK) tahun 2021.

Momok yang menakutkan itu adalah ancaman Freeport Mcmoran (FCX) akan menyeret Pemerintah Indonesia ke lembaga arbitrase internasional dan kepastian kalah, apabila pemerintah tidak melanjutkan operasi Freeport. Ini membuat Pemerintah mau tidak mau, suka tidak suka, harus bertekuk lutut melanjutkan operasi tambang Freeport sampai tahun 2041. Lalu dipilihlah opsi memperpanjang, namun pemerintah menjadi pengendali melalui kepemilikan saham 51% oleh Inalum.

Pemerintah Indonesia dengan FCX telah sepakat melakukan divestasi saham, seperti tertuang di Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) Kontrak Karya (KK). Skemanya, FCX mendivestasikan sahamnya sejak tahun ke-10 penandatanganan KK, yaitu pada 2001 sebesar 2,5% dan terakhir pada 2011 sebesar 25%, dan mencapai 51% pada tahun ke-20 (tanggal 30 Desember 2011).

Namun, Pasal 24 ayat (2) huruf d KK menyatakan bahwa jika setelah persetujuan KK ada peraturan yang mengatur ketentuan divestasi saham yang lebih ringan, ketentuan yang lebih ringan inilah yang berlaku. Lalu terbitlah PP No 20/1994 yang di dalam PP itu tidak mengatur besaran kewajiban divestasi saham. FCX berpandangan bahwa dengan kepemilikan Pemerintah Indonesia atas saham Freeport sebesar 9,36%, kewajiban divestasi telah tunai.

Padahal, sejatinya secara filosofis kepemilikan saham mayoritas bagi Indonesia, merupakan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945. Dengan adanya kepemilikan saham mayoritas, maka akan terjadi peralihan pengendalian dan peralihan manfaat dari perusahaan asing kepada Pemerintah Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Ketika FCX tidak ada pilihan untuk tidak mendivestasikan sahamnya karena menyangkut masa operasi yang sudah di ujung tanduk, divestasi pun dilakukan. Divestasi ini pun, sangat menguntungkan bagi FCX. Operasi Freeport akan berlanjut sampai tahun 2041 dan FCX tetap menjadi operator, walau Inalum menguasai saham mayoritas Freeport.

Di sisi lain, Inalum harus utang ke perbankan asing untuk membayar pembelian saham sebesar US$ 3,85 miliar untuk sebuah usaha tambang yang kontraknya akan berakhir kurang dari 3 tahun. Membeli porsi kepemilikan asing, dengan dana asing, dan sebentar lagi menjadi milik kita.

Hasil penjualan saham ini, tidak hanya dinikmati FCX. Ada Rio Tinto yang memiliki hak partisipasi sebesar 40% atas operasi Freeport. Hak ini harus dikonversi menjadi saham sebagai upaya pemerintah memiliki saham 51%. Padahal kehadiran Rio Tinto tidak memenuhi konstruksi hukum perjanjian dalam KK.

Hubungan hukum soal divestasi saham yang dibangun di KK hanya antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport. Bila ada pihak lain yang juga terlibat, memiliki hak operasi yang kemudian dikonversi menjadi saham, jelas ini bentuk penyimpangan terhadap KK.

Pemerintah seolah tak punya pilihan lain, kecuali membeli saham divestasi Freeport, termasuk konversi dari Rio Tinto. Seolah-olah, Pemerintah Indonesia ikut apa maunya FCX.

Lihat saja. Undang-undang di Indonesia mewajibkan pembangunan smelter dan perolehan Izin Usaha Pertambangan Khusus, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pinjam Pakai Kawasan Hutan, kepatuhan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Tapi, Freeport tidak mau tunduk. Kewajiban yang jadi beban Freeport di masa lalu ini, mau tidak mau menyeret tanggung jawab Inalum sebagai pemegang saham mayoritasnya.

Opsi lain seperti tidak memperpanjang operasi Freeport pasca-tahun 2021 tidak pernah muncul dari pemerintah. Opsi menugaskan Inalum untuk membeli aset Freeport yang memang dalam KK disepakati bahwa apabila operasi Freeport tidak dilanjutkan, asetnya dijual kepada pemerintah dengan harga minimal sebesar nilai buku Freeport, tidak secara serius dianalisis secara cost and benefit.

Berdasarkan laporan keuangan audited, nilainya sebesar US$ 6 miliar. Artinya, bila ingin utang sekalian saja menyiapkan US$ 6 miliar untuk membeli 100% saham Freeport, tanpa terbebani memperpanjang operasinya sampai tahun 2041. Seluruh kegiatan usaha eks-Freeport di sana dikuasai oleh negara sepenuhnya.

Pemerintah tergadai

Kesan tiada pilihan bagi pemerintah untuk membeli saham divestasi Freeport dan memperpanjang operasi sampai tahun 2041, karena potensi gugatan ke lembaga arbitrase internasional jika tak melakukannya. Akar persoalan ini bermuara pada Pasal 31 KK.

Pasal 31 KK menyatakan, "Setelah 2021, Freeport diberi hak untuk memohon dua kali perpanjangan masing-masing 10 tahun secara berturut-turut, dengan syarat disetujui Pemerintah. Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan itu secara tidak wajar. Permohonan dapat diajukan setiap saat selama jangka waktu persetujuan, termasuk setiap perpanjangan sebelumnya".

Bila membaca Pasal 31 KK tersebut, posisi Pemerintah Indonesia sangat kuat. Pertama, permohonan perpanjangan dapat diberikan sepanjang disetujui pemerintah; Kedua, pemerintah dapat menahan atau menunda persetujuan apabila didasarkan pada alasan yang wajar. Artinya, bila pemerintah memandang bahwa keberadaan Freeport tidak memberikan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat Indonesia maka pemerintah dapat tidak memberikan hak perpanjangan kepada Freeport.

Apalagi, pada Pasal 24 ayat (2) KK menyatakan, "Dengan mengingat ketentuan dalam KK, PT Freeport akan menaati semua undang-undang dan peraturan yang berlaku dari waktu ke waktu di Indonesia".

Pasal ini sebenarnya menjadi pasal pamungkas bagi Pemerintah Indonesia untuk tidak memperpanjang operasi Freeport. Sebab, ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menginginkan sumber daya alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bentuk penguasaan negara tersebut dengan menugaskan BUMN untuk mengusahakannya secara sepenuhnya.

Dengan demikian, tidak ada keharusan untuk memperpanjang operasi Freeport pasca tahun 2021, sehingga tidak ada pula alasan pembenaran atas pembelian saham divestasi saham ini. Pasal 31 KK Freeport jelas menempatkan Pemerintah Indonesia di posisi yang kuat.

Bila pun ada perbedaan tafsir, pilihan penyelesaian di forum arbitrase bukan momok menakutkan. Suatu konflik sudah menjadi watak pada bisnis. Secara hukum pun klausula penyelesaian konflik ini akan selalu tertuang dalam naskah perjanjian.

Lagi pula, Pemerintah Indonesia pernah berhadapan dengan PT Newmont Nusa Tenggara dengan konteks yang sama. Pemerintah pun menang di arbitrase.

Beberapa tahun terakhir yang lalu, Indonesia juga berhadapan dengan Churchill Mining dari Inggris dan IMFA dari India di forum arbitrase internasional dalam sengketa tambang. Pada sengketa dengan Churchill Mining, Pemerintah Indonesia menang. Sedang dengan IMFA masih dalam proses. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk gentar, kecuali pemerintah mengidap inferior complex syndrome terhadap FCX.

Berbagai argumentasi hukum pun menempatkan Pemerintah Indonesia dalam posisi yang sangat kuat untuk menghadapi Freeport. Misalnya, kelalaian Freeport membangun smelter yang sudah disepakati dalam Pasal 10 KK dan Pasal 170 UU Minerba. Freeport juga lalai membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan bertahun-tahun. Belum lagi dugaan kerusakan dan pencemaran lingkungan, serta royalti yang hanya sebesar 3,75%.

Dalam hukum berlaku asas rebus sic stantibus. Asas ini dapat digunakan untuk memutuskan perjanjian secara sepihak jika ada perubahan mendasar dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian internasional yang telah disepakati.

The General Assembly Resolution 1803 on The Permanent Sovereignty over Natural Resource juga menegaskan bahwa hak bangsa dan negara atas kedaulatan permanen pada kekayaan dan sumber daya alamnya. Hak ini harus dipenuhi demi kepentingan pembangunan nasional serta kesejahteraan penduduk negara. Resolusi ini juga mengatur, nasionalisasi, perampasan atau pengambilalihan bisa dilakukan dengan pertimbangan utilitas umum, keamanan atau kepentingan nasional.

Nasi sudah menjadi bubur. Selama 20 tahun lagi, Freeport McMoran bercokol di Indonesia. Transaksi divestasi saham sudah terjadi. Biarlah kejanggalan ini menjadi bagian dari negeri ini.•

Ahmad Redi
Pengajar FH Universitas Tarumanagara 
Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×