Reporter: Bagus Marsudi | Editor: Tri Adi
Teror bom di Surabaya, Jawa Timur, yang kemudian dikabarkan juga menyebar di beberapa kota, masih menjadi perbincangan hangat. Televisi dan radio hampir selalu mengulang dan memperbarui kabar-kabar terbaru. Yang paling meriah justru di jejaring media sosial. Laporan sekilas, bocoran dari aparat, analisis, dan kesaksian, baik kabar resmi maupun tak jelas sumbernya, bercampur aduk menjejali hampir tiap menit.
Dari saling berbagi kabar terbaru, berlomba saling mengingatkan agar waspada, gelombang informasi di jejaring media sosial juga membentuk gerakan-gerakan sosial maupun politis. Orang berbondong-bondong menyumbang darahnya ketika ada kabar rumahsakit membutuhkan transfusi untuk para korban. Komentar miring dan skeptis terhadap peristiwa bom menimbulkan gerakan menolak anggota maupun partai yang dianggap berpihak ke teroris.
Isu dukungan dan perlawanan terhadap terorisme pelan-pelan membentuk perkubuan. Dalam kondisi saat ini, sebagian orang atau tokoh masyarakat yang mengutuk aksi terorisme mendukung percepatan penyelesaian revisi RUU Anti-Terorisme. Meski sudah dibahas sejak 2016, hingga kini, RUU itu masih tertahan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Yang masih mengganjal adalah belum ada kesepakatan soal pengertian terorisme, khususnya soal motif dan tujuannya. Bagi beberapa partai, rumusan soal terorisme harus lebih spesifik, dengan menentukan motif dan tujuannya. Makanya, opsi untuk memasukkan pengertian tindakan terorisme harus berdasarkan motif politik, ideologi, dan tindakan yang mengancam keamanan negara. Dengan begitu, tidak setiap tindakan langsung bisa dicap sebagai terorisme.
Melihat motif dan tujuan yang lebih spesifik memang mengurangi beberapa langkah bagi aparat untuk menindak aksi terorisme. Setidaknya, harus ada pembuktian soal motif. Repotnya, proses ini juga bisa sangat panjang, apalagi jika membutuhkan keputusan pengadilan untuk memutuskan ada tidaknya motif spesifik itu. Dalam keadaan yang mendesak dan darurat, ini akan menjadi kendala yang serius bagi aparat untuk bertindak. Apalagi kalau korban berjatuhan dan telah menimbulkan kepanikan dan kekhawatiran bagi masyarakat.
Terorisme adalah tindak kejahatan luar biasa. Seharusnya memang perlu tindakan yang cepat agar dampaknya tak melebar. Apakah perlu menunggu lebih banyak korban tak berdosa baru aparat bertindak?
Bagus Marsudi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News