Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Optimisme ekonomi Indonesia menjadi tantangan berat Pemerintah Indonesia. Kalau melihat realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun ini masih negatif 0,74% maka mengungkit menjadi 7% pada kuartal II tentu tugas berat. Hampir mustahil sebenarnya jika mempertimbangkan realisasi kuartalan pada 1 tahun lalu.
Jatuhnya pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi negatif pertama kali terjadi pada kuartal II tahun lalu yakni sebesar negatif 5,32%. Jika kuartal II tahun lalu dibandingkan dengan kuartal I tahun yang sama, turbulensi ekonomi indonesia jatuh hingga negatif 279,12%.
Profil ekonomi Indonesia sedikit membaik pada kuartal III tahun lalu dengan pertumbuhan ekonomi negatif 3,49% atau progres pertumbuhan positif 33,96% dibandingkan dengan kuartal II-2021, dan berlanjut perbaikan pertumbuhan sebesar 30,29% pada kuartal IV tahun yang sama dengan capaian pertumbuhan ekonomi negatif 2,44%.
Pada kuartal I tahun ini realisasi pertumbuhan ekonomi negatif 0,74%, artinya terjadi perbaikan pertumbuhan sebesar 69,67% dibandingkan dengan kuartal IV tahun 2020. Skenario pemerintah bahwa target realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun ini sebesar 7% sebetulnya over confidence jika melihat capaian kuartal sebelumnya. Agak realistis jika terjadi perbaikan pertumbuhan 7% dibanding kuartal I karena hasilnya relatif berimbang dengan capaian sebelumnya.
Jika nanti capaian pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021 sebesar 7% maka perbaikan pertumbuhan ekonomi adalah 109,46% dibandingkan dengan kuartal I tahun ini. Capaian yang belum pernah terjadi sejak tahun lalu. Namun jika perbaikan pertumbuhannya 7% menjadi realistis karena realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021 menjadi negatif 0,22%.
Masih negatif pertumbuhan ekonominya namun sudah berkurang. Apabila capaian pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 ini sebesar negatif 0,22%, maka perbaikan pertumbuhan ekonomi adalah 69,59% atau berada dalam kisaran berdasarkan capaian sejak tahun lalu. Cukup realistis.
Berbeda dengan pandangan pemerintah, penulis lebih mereferensikan bahwa konsumsi rumah tangga lebih baik dibangun dibandingkan dengan konsumsi pemerintah. Pertimbangan penulis, bahwa anggaran pemerintah bersumber APBN sudah sangat berdarah-darah. Defisit membubung karena sektor penerimaan yang memang jatuh, sementara belanja seharusnya memang tidak boleh diturunkan.
Ironis sebenarnya jika ada 97.000 Aparatur Sipil Negara hantu, digaji rutin namun tidak ada orangnya. Padahal belanja pegawai pemerintah dalam bentuk gaji bersifat wajib dan tidak bisa ditunda. Pada kasus ini, keakuratan data, etik dan governance kepemerintahan menjadi dipertanyakan. Hal ini harus dituntut tuntas.
Ironis berikutnya adalah menumpuknya dana transfer daerah di perbankan menjadi dana idle dan parkir tidak bisa menjadi driver ekonomi. Pada akhir April 2021 dana parkir pemda mencapai Rp 194,54 triliun di perbankan. Pemda hanya mendapatkan nilai tambah bunga kecil perbankan namun sama sekali tidak memberikan multiplier efek pada pertumbuhan ekonomi. Hal seperti ini harus diberikan peringatan kepada Pemda, yang tidak bisa merealisasikan belanja modalnya maka harus ditegur.
Mempertimbangkan persoalan pemerintahan di atas, gaji hantu mungkin bisa diselesaikan dalam waktu tidak terlalu lama. Pelakunya harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Sementara itu mengenai dana idle, jika diseriusi maka potensi bisa diutilisasi paling cepat kuartal IV tahun ini. Sisa kuartal II ini menyelesaikan administrasi dan dokumen tender, kuartal III pelaksanaan tender, dan kuartal IV realisasi belanja dana idle tersebut. Dampak ekonominya baru bisa dirasakan pada akhir kuartal VI-2021.
Konsumsi masyarakat
Potensi paling mungkin untuk mempertahankan ekonomi tahun ini minimal untuk mencegah tidak mengalami kejatuhan lebih buruk adalah memanfaatkan konsumsi rumah tangga (RT). Power-nya cukup besar jika melihat dana pihak ketiga (DPK) di perbankan yang belum dibelanjakan rakyat Indonesia. Ketidakpastian ekonomi mendorong rakyat Indonesia berbondong-bondong menyimpan dananya di perbankan sebagai tabungan.
Jumlahnya per Maret 2021 mencapai Rp 6.887 triliun, jumlah yang sangat besar, setara dengan 2,5 kali dari total anggaran belanja APBN 2021.
Jumlah tabungan orang Indonesia itu bahkan mampu membiayai konsumsi sampai 3,11 kali kuartal sejak kuartal II-2021 ini. Artinya mampu membiayai sampai kuartal I tahun 2022.
Konsumsi RT rakyat Indonesia sangat tergantung dengan keoptimistisan mengenai pengendalian pandemi Covid-19 dari pemerintah. Jika upaya pemerintah dipercaya rakyat tentu dana-dana tidur tersebut akan dikeluarkan oleh rakyat, sebaliknya jika upayanya berjalan serampangan, dana itu kian lama tidur di perbankan.
Kondisi pengelolaan dan pengendalian pandemi tampaknya cukup bagus di Indonesia. Bertambah di India, Malaysia, Singapura dan Jepang namun membaik di Indonesia. Namun kontrol populasi perlu ketat dilakukan karena pelintas batas antar negara adalah potensi carrier Covid-19 dan ujung-ujungnya wabah itu menular kembali.
Jika akhir-akhir ini para pelintas batas asal China ramai dipersoalkan penduduk Indonesia, maka pemerintah harus lebih disiplin dan meningkatkan kewaspadaan penularan pandemi. Pelintas batas asal India juga perlu diwaspadai.
Perlu kerja bersama antara pemerintah dan rakyat Indonesia untuk memulihkan ekonomi. Sumber daya berupa dana sebetulnya siap karena saat ini masih tertidur menunggu kepastian. Sudah sejak 2019 dana-dana untuk belanja modal dari sektor swasta tidak dibelanjakan karena kecemasan ketidakpastian ekonomi.
Ekstensifikasi belanja APBN bersumber dari utang nyatanya hanya memberikan sedikit dampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi minus 2,07% tahun 2020 dan minus 0,74% pada kuartal I tahun ini.
Argumentasinya tentu bisa yang lain, pertumbuhan tersebut masih lebih baik karena tanpa memaksimalkan belanja pemerintah, mungkin pertumbuhan ekonomi 2020 jauh lebih buruk seperti halnya negara lain. Alasan tersebut tentu sah. Hanya saja, pertumbuhan ekonomi inklusif sebetulnya melibatkan rakyat Indonesia keseluruhan. Jika bergerak sepihak, alangkah beratnya menjalankan negara ini.
Penulis : Effnu Subiyanto
Dosen dan Peneliti Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Jawa Timur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News