Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Undang Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja telah ditetapkan. Agenda terkini adalah merampungkan kebijakan turunannya, di antaranya adalah Peraturan Pemerintah di sektor telekomunikasi. Pada pasal 71 dilakukan perubahan pada pasal 11, 28, 30, 32, 33, 34 (disisipkan pasal baru), 45, 46 (dihapus), 47, dan 48 (dihapus).
Dari kesemuanya, ada satu pasal yang perlu dicermati agar didapatkan kebijakan turunan yang mendukung jiwa UU Cipta Kerja. Pasal tersebut adalah pasal 33 ayat (4) yang berbunyi "Dalam hal penggunaan spektrum frekuensi radio tidak optimal dan/atau terdapat kepentingan umum yang lebih besar, Pemerintah Pusat dapat mencabut perizinan berusaha atau persetujuan penggunaan spektrum frekuensi radio".
Meskipun tampak "sedikit" atau "kecil", ayat ini mengandung kekuatan yang sangat besar. Salah satunya adalah dipulihkan dan dikuatkannya kedaulatan negara atas aset nasional yang langka yaitu spektrum frekuensi radio. Hal tersebut menegaskan dua bagian.
Bagian pertama, kepentingan rakyat diutamakan di atas kepentingan lain, termasuk kepentingan bisnis. Meskipun demikian, pada penjelasan disebutkan bahwa pasal 33 (4) sudah jelas. Turunan yang perlu dirumuskan adalah kriteria "kepentingan umum yang lebih besar", agar tidak mengganggu kepastian investasi. Ini adalah bagian pertama yang dipahami dari pasal tersebut.
Bagian kedua adalah optimalisasi penggunaan spektrum radio yang wajib didayagunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sudah difahami bahwa dengan adanya pandemi Covid 19, maka proses digitalisasi di Indonesia dipercepat. Bekerja dari rumah, dari jarak jauh, pelayanan digital, pendidikan daring, dan seterusnya menjadi sebuah fakta. Ke depan, akan terus berlanjut dan makin intens.
Untuk itu, pasal tersebut akan lebih mendukung UU Cipta Kerja jika dikembangkan menjadi pasal yang memastikan proses bisnis berbasis digital diselenggarakan dengan memuaskan. Kebijakan turunan yang seyogyanya dimasukkan dalam regulasi berupa PP adalah ayat tentang kewajiban kualitas layanan bagi penyelenggara telekomunikasi untuk mendukung layanan digital yang berbasis customer experience.
Pada saat ini agenda tersebut diatur dalam PP Nomor 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, khususnya pasal 15 (1). Pasal ini menyebutkan bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan fasilitas telekomunikasi untuk menjamin kualitas pelayanan jasa telekomunikasi yang baik.
Regulasi ini perlu ditingkatkan untuk mendukung visi UU Cipta Kerja dikaitkan dengan koreksi pada pasal 33 (4). Sebab, regulasi tentang kualitas layanan selain cenderung masih pada tataran "seluler", dan belum masuk ke isu "layanan digital" atau "koneksi berbasis internet".
Selain itu, regulasi ini diturunkan lagi dalam bentuk Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No 11/2014 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif berupa Denda terhadap Penyelenggaraan Telekomunikasi, yang diatur pada pasal 5 (1b). Regulasi ini menurunkan desakan untuk memastikan mutu layanan digital yang mendukung penciptaan lapangan kerja secara luas dan cepat.
Dengan demikian, aturan yang disarankan untuk dimasukkan adalah kewajiban kualitas layanan digital berbasis user experience, tanpa ada escape-clause untuk ketidaktercapaian kondisi itu. Insentif yang diberikan pemerintah adalah memastikan tidak ada perang harga di antara operator di satu sisi, dan di sisi lain, biaya koneksi dan interkoneksi diwajarkan jika naik secara tahunan, setidaknya sesuai dengan inflasi.
Pengurangan sanksi
Jika hendak dibuat sanksi, maka bukan berupa sanksi administratif finansial, karena pada akhirnya uang masuk ke kas pemerintah melalui Kominfo (sebagai PNBP), tetapi masyarakat tetap tidak mendapatkan layanan yang bermutu, khususnya layanan digital. Sanksi direkomendasikan sangat keras, yaitu mengembalikan sebagian frekuensi yang diterimanya dari pemerintah, tanpa kompensasi. Ini sesuai dengan pasal 33 (4) UU No 11/2020.
Konsekuensinya, operator akan didorong untuk fokus pada investasi untuk meningkatkan mutu layanan. Penamaan dari layanan bukan lagi pelayanan yang baik, melainkan pelayanan yang bermutu. Ada dua konsekuensi. Bagi operator, rencana untuk mengembangkan jaringan dan infrastruktur yang diajukan kepada pemerintah harus diajukan dengan basis pelayanan yang bermutu, sehingga pertimbangan investasi dan finansial (capital expenditure) benar-benar diperhitungkan.
Di sisi lain, pemerintah harus bersedia memahami kesulitan para operator, dengan tidak memaksakan target-target pembangunan yang tidak mungkin dicapai oleh pelaku usaha. Bahkan, konsekuensi lanjutan yang sangat ditunggu pelaku usaha adalah pengurangan regulatory charge bagi industri telekomunikasi yang saat ini ada, baik berupa biaya penyelenggaraan (BHP) frekuensi maupun kewajiban Universal Service Obligation (USO).
Menggunakan perhitungan dari Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) tahun 2014, regulatory charges operator telekomunikasi terdiri dari pungutan USO sebesar 1,25% dari pendapatan, serta biaya penyelenggaraan (BHP) telekomunikasi sebesar 0,50% dari pendapatan usaha, di mana terdapat upfront fee dan BHP frekuensi.
Dari laporan keuangan operator, regulatory charges ini dimasukkan sebagai biaya operasional yang bisa berkontribusi sekitar 25% terhadap total biaya operasional atau operating expenditure (Opex). Jumlah yang besar dan memberatkan industri.
Lebih lanjut, perlu ditekankan kewajiban bagi operator untuk memperluas layanannya ke kawasan yang non komersial. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu mengalami kesalahan implementasi kebijakan di bawah paying USO di masa lalu, seperti proyek PLIK/M-PLIK.
Disarankan, pelayanan ke kawasan non-komersial diselenggarakan melalui mekanisme pasar terkendali. Yakni, operator yang masuk ke kawasan non komersial mendapatkan konsesi berupa monopoli hingga 5 tahun, sampai investasinya kembali ditambah keuntungan yang wajar.
Konsekuensinya, UPT Bakti tinggal fokus kepada pembangunan backbone saja, yang memang relatif tidak mempunyai nilai komersial secara bisnis. Beban bagi Bakti perlu dikurangi, karena pendapatan dari pungutan USO pun berkurang drastis.
Jadi, dapat disimpulkan, regulasi atau PP turunan UU No 11/2020 tentang Cipta Keja di sektor telekomunikasi perlu dilengkapi dengan pasal yang memberi ruang gerak bagi Menteri Komunikasi dan Informatika untuk membuat turunan PP tentang kepastian kualitas layanan digital yang tinggi bagi rakyat Indonesia. Penambahan ini sekaligus untuk up-date PP No 52/2000) dan Permenkominfo No 11/2014), untuk memastikan Indonesia memasuki peradaban digital, hilangnya digital divide secara relatif, dan bukan peradaban telekomunikasi semata.
Penulis : Riant Nugroho
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia Periode 2012-2014
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News