kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Nasib masa depan arbitrase Indonesia


Selasa, 13 Februari 2018 / 13:49 WIB
Nasib masa depan arbitrase Indonesia


| Editor: Tri Adi

Penggunaan arbitrase semakin marak dan menjadi keniscayaan bagi para pelaku bisnis dalam menyelesaikan sengketa bisnis. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah dari pendaftaran perkara di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Pada tahun 1977-1986, hanya terdapat 27 perkara yang didaftarkan, kontras dengan yang ditemukan dalam tahun 2007-2016 yang sebanyak 728 perkara. Artinya, dalam waktu empat dekade berdiri BANI, terjadi peningkatan perkara nyaris 40 kali lipat. Ini sebuah jumlah yang cukup fantastis.

Namun demikian, jumlah itu masih kalah jauh dengan jumlah sengketa yang ditangani oleh Mahkamah Agung. Untuk tahun 2016 saja, penumpukan perkara di Mahkamah Agung ada sekitar 2.550 perkara, atau hampir empat kali lipat dari perkara yang ditangani oleh BANI pada kurun waktu satu dasawarsa di akhir 2016 silam. Artinya, pengadilan masih menjadi pilihan utama dalam penyelesaian sengketa.

Sekalipun demikian, upaya perbaikan institusi yang dengan gigih dijalankan oleh Mahkamah Agung patut diapresiasi. Juga, prestasi dan capaian arbitrase di Indonesia sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang terlihat dari ease of doing business di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan bahwa ada harapan untuk bangsa ini mencapai hari depan yang cerah di bidang penegakan hukum.

Dengan perbaikan yang konstan serta tren pemilihan arbitrase sebagai jalur penyelesaian sengketa, harapan agar penyelesaian sengketa diselesaikan secara win-win solution, cepat, dan murah, hal mana merupakan keunggulan dari arbitrase, akan semakin berpeluang besar. Dalam hal ini, arbitrase berpeluang untuk menggantikan peran pengadilan dalam penyelesaian sengketa keperdataan, khususnya bidang bisnis.

Apabila arbitrase di Indonesia dapat berkembang, penyelesaian sengketa di bidang bisnis dapat mulai dialihkan dari pengadilan sehingga penumpukan perkara yang selama ini menjadi tantangan terbesar Mahkamah Agung dapat terbantu untuk teratasi. Dan, jika tren ini berlanjut, maka peran pengadilan dapat digeser hanya menjadi tempat penyelesaian sengketa yang memang bersifat publik.

Hal ini tentu akan semakin memudahkan manajemen perkara di pengadilan, spesialisasi bidang keilmuan hakim yang akan direkrut, serta manajemen anggaran untuk kesejahteraan hakim, yang mana semuanya akan bermuara pada peningkatan kualitas putusan dan keadilan di masyarakat. Inilah disrupsi yang positif di bidang penegakan hukum apabila arbitrase berhasil digalakkan.

Beberapa catatan

Pengarus-utamaan arbitrase akan mendorong terbangunnya rasa percaya di antara para pelaku bisnis dalam menyelesaikan sengketa dan akan menjadi booster tersendiri bagi peningkatan daya saing dan perekonomian bangsa. Dengan demikian, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian yang didambakan dari keberadaan hukum tidak lagi menjadi sekedar fiksi dalam berhukum di negara ini.

Namun demikian, impian ini tentu tidak dapat terwujud tanpa keseriusan dan kegigihan untuk terus memperbaiki keadaan yang ada. Salah satu yang perlu diantisipasi, terutama dalam penguatan arbitrase, adalah menjaga agar jangan sampai arbitrase hanya mengganti tempat persidangan ke luar dari pengadilan namun dengan jiwa dan semangat yang sama saja dengan praktik litigasi di pengadilan yang ada. Ibarat menyalin anggur baru dalam kantong lama.

Sebuah gejala yang diamati oleh Thomas J. Stipanowich (2010) dalam Arbitration: The “New Litigation” menyoroti sebuah ironi yang terjadi pada perkembangan arbitrase di Amerika Serikat. Arbitrase yang semula ditujukan untuk menghindari perkelahian, ongkos, dan biaya sidang, kini justru semakin mahal dan memakan waktu. Sebuah gejala yang apabila tidak diantisipasi akan segera menjangkiti arbitrase Indonesia pula.

Untuk mengantisipasi hal ini, diseminasi mengenai arbitrase perlu diperkuat kepada masyarakat. Masyarakat perlu diperkenalkan dan diberi pemahaman bahwa arbitrase tidak melulu hanya mengenai arbitrase institusional, yang selama ini dipahami masyarakat, tetapi juga terdapat arbitrase ad hoc sebagai arbitrase yang khusus dibentuk untuk suatu sengketa tertentu dan didasarkan dari perjanjian antara para pihak.

Hal ini akan menghindarkan masyarakat dari monopoli institusi arbitrase tertentu saja sehingga biaya beperkara dapat tetap terjaga. Selain itu, dengan adanya arbitrase ad hoc, dapat menekan biaya lebih rendah karena tidak terikat dengan aturan institusi dan murni berdasarkan kesepakatan dari para pihak yang beperkara, termasuk soal fee arbiter yang dipilih.

Perbaikan yang tak kalah pentingnya adalah dalam segi pembenahan kultur hukum dan mind set masyarakat atas penyelesaian sengketa melalui arbitrase itu sendiri. Arbitrase akan berjalan maksimal apabila terdapat itikad baik dari para pihak yang benar-benar ingin mencari keadilan dan bukan sekedar kemenangan.

Apabila para pihak yang beperkara dalam arbitrase konsisten untuk menghormati dan menepati komitmen bahwa putusan arbitrase akan memiliki kekuatan yang final and binding, presuposisi bahwa arbitrase relatif lebih murah dan cepat dari pengadilan ada benarnya. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak selamanya para pihak memiliki komitmen dan konsistensi untuk menghormati putusan arbitrase. Akibatnya, timbul upaya-upaya pembatalan putusan arbitrase yang lebih dimotivasi oleh upaya mencari kemenangan semata yang pada gilirannya membawa arbitrase jauh dari biaya murah dan waktu penyelesaian yang singkat.

Jadi, pembenahan arbitrase tidak melulu datang dari soal eksekusi putusan arbitrase ataupun soal biaya beperkara, namun yang lebih esensial adalah bagaimana membangun budaya hukum yang tidak berorientasi kemenangan tapi justru keadilan. Untuk itu, diperlukan komunitas hukum yang sehat dan profesional. Tanpa yuris yang berkualitas, pembangunan kultur hukum akan sulit. Para yuris, baik itu advokat, hakim, maupun para sarjana hukum, adalah agen perubahan yang akan menentukan warna hukum di republik ini. Sedikit banyak, Selama komunitas hukum di Indonesia tidak solid dan hanya berkutat dengan perpecahan organisasi, pembangunan kultur hukum yang sehat akan terus tertunda.

Pembenahan arbitrase Indonesia tidak sekedar hanya untuk mempercantik peringkat Indonesia pada survei lembaga internasional semata. Di balik kualitas masa depan arbitrase di Indonesia, tercermin pula kualitas masyarakat kita. Kesadaran hukum masyarakat adalah kunci pembangunan arbitrase yang efektif. Maka, masa depan arbitrase Indonesia bergantung pada seberapa baik kesadaran hukum dan legal mind set yang sehat yang dimiliki masyarakat kita.             

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×