kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Nasib pedagang online


Kamis, 17 Januari 2019 / 13:03 WIB
Nasib pedagang online


Reporter: Ardian Taufik Gesuri | Editor: Tri Adi

Tak ada lagi surga bebas pajak di negeri ini. Tidak juga di alam perdagangan online, yang selama beberapa tahun menjadi pasar tak berbatas yang memudahkan semua orang berwirausaha cukup bermodalkan paket data termurah.

Lewat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik, mulai April nanti, pemerintah mewajibkan pedagang dan penyedia jasa untuk memberitahukan NPWP-nya kepada penyedia platform e-commerce. Bila tak punya NPWP, mereka wajib melaporkan nomor induk kependudukan (NIK). Dus, tiada dalih buat berkelit dari incaran pajak; kecuali bila pendapatan mereka terbukti masih di dalam batas tidak kena pajak (PTKP).

Sementara, kewajiban bagi pelaku e-commerce pun tak kalah berat. Mereka harus memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan pedagang, penjual jasa, maupun dagangan sendiri. Lalu, mereka pun harus melaporkan data rekapitulasi transaksi yang berlangsung di lapaknya. Mereka tentu punya big data terkait transaksi dan rekam jejak digital para penjual maupun pembeli. Tapi jelas menambah beban, merepotkan.

Beleid ini tampaknya menyasar e-commerce berwujud market place. Karena di sinilah penyelenggara pasar, seperti Tokopedia dan Bukalapak, mempertemukan langsung penyedia barang dengan pembeli. Banyak dari mereka belum punya NPWP. Beda dengan shopping mall dan toko online B2C yang pedagangnya diseleksi ketat dan lazimnya punya merek cukup beken.

Pemerintah berdalih tak ada penetapan jenis atau tarif pajak baru, melainkan hanya mengatur tata cara dan prosedur pemajakan bagi pelaku dagang digital. Dus, tak ada lagi beda perlakuan antara pelaku usaha konvensional dan online. Adil.

Toh, perpajakan selalu jadi persoalan sensitif. Pedagang yang kebanyakan masih coba-coba wirausaha pun jadi ketakutan. Akhirnya mereka bisa pindah ke lapak media sosial yang minim pengawasan. Persoalan bisa melebar pula ke isu politik lantaran diterapkan di bulan berlangsungnya pemilu dan pilpres.

Ketimbang menyasar pelapak lokal yang butuh perlindungan, ada baiknya jaring pajak diprioritaskan pada lapak dan pedagang barang impor terutama dari Tiongkok yang menguasai 90% barang yang dijual di e-commerce. Mereka memakai segala saluran untuk menerobos pasar Indonesia yang gurih. Eksesnya, memperparah defisit perdagangan dan nilai tukar juga.•

Ardian Taufik Gesuri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×