| Editor: Tri Adi
Pro-kontra reklamasi pantai utara Jakarta belum juga usai, malah memuai. Belum lama ini Gubernur Anies Baswedan meminta Badan Pertanahan Nasional mencabut sertifikat HGB pulau reklamasi C, D, dan G. Alasannya: cacat administrasi dan melanggar hukum.
Tapi Menteri Agraria/Kepala BPN tidak mau mencabut HGB Pulau D. Dalihnya, penerbitan sertifikat sudah sesuai ketentuan, dan berdasarkan surat Pemprov DKI (Ahok-Djarot). Adapun Pulau C baru berstatus hak pengelolaan, dan Pulau G belum diproses administrasinya.
Tampaklah masih terjal jalan Gubernur Anies untuk menunaikan salah satu janji politiknya ini. Maklum, pangkal soalnya adalah perbedaan sikap pemprov DKI dan pusat.
Presiden Jokowi jelas ingin reklamasi dituntaskan. Selain karena ada dasar hukumnya, juga demi kepastian hukum. Sebab, investor diundang untuk menanamkan investasi di teluk Jakarta – sebagai bagian dari dukungan terwujudnya proyek tanggul raksasa, Giant Sea Wall.
Nah, setelah proyek reklamasi distop, terus apa langkah selanjutnya? Yang jelas silat lidah soal dampak lingkungan dari reklamasi, yang bikin para pakar lingkungan pun saling berpolemik tajam, seakan telah terabaikan. Sebab bila memang diyakini ada ekses lingkungan yang besar terhadap ekosistem Jakarta, harusnya pulau urukan pasir itu disedot habis lagi tanpa kompromi.
Tapi kini isunya bergeser ke soal keadilan sosial. Demi keperpihakan, Anies menolak proyek properti supermewah untuk segelintir kaum superkaya; dan mengubah peruntukannya untuk masyarakat luas. Apa wujudnya? Masih dalam pengkajian. Tapi terbayang rencana pemanfaatannya untuk kawasan wisata, hiburan, konservasi, laboratorium, peternakan, hingga pertanian.
Toh, tak mudah juga mengubah peruntukan pulau urukan itu. Pertama, butuh biaya sangat mahal, baik untuk membayar ganti rugi kepada pengembang maupun membangun proyek baru. Apakah rakyat setuju anggaran ratusan miliar hingga triliunan dihabiskan untuk proyek ‘keberpihakan’ itu? Kedua, tak mudah pula untuk mengubah peruntukan, karena harus mengulang izin amdal dari awal lagi. Ketiga, bentrok lagi dengan kepentingan pemerintah pusat yang punya megaproyek tanggul raksasa ‘demi menyelamatkan Jakarta’ dengan melibatkan swasta.
Seyogiayanya Presiden dan Gubernur DKI segera bertemu untuk mencari titik temu – win-win solution – atas silang sengkarut proyek reklamasi ini. Atau... biarkan pulau-pulau urukan itu teronggok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News