kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,27   -11,24   -1.20%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Naturalisasi di Kota Buatan Manusia


Selasa, 07 Januari 2020 / 11:12 WIB
Naturalisasi di Kota Buatan Manusia
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Natural itu adalah kondisi alam yang apa adanya dan belum diolah oleh manusia. Jadi manusia bisa membuat habitat dengan kondisi natural. Dengan hidup di bawah pohon, di gua, di bawah tebing atau di rumah dari bahan yang langsung diambil dan digunakan dari alam tanpa perlu diolah. Sebut saja rumah jerami, rumah lumpur. Ini adalah contoh habitat natural.

Tapi ketika manusia membangun rumah dari materi hasil olahan, hilanglah kondisi natural. Belum pernah kita temukan batu bata atau genteng keramik yang muncul alami di alam. Keberadaan habitat manusia yang dibuat dari materi non-alam sendiri saja sudah tidak natural.

Dan ketika manusia membuat struktur antara habitat-habitatnya, semakin hilang lagi ciri natural tadi. Belum pernah kita temukan jalan aspal, tiang listrik, atau kabel fiber yang muncul alami di alam. Sehingga, saat kita bicara kota, yang berisi habitat manusia yang dibuat dari materi non-alam dan struktur antara habitat tadi yang merupakan buatan, konsep naturalisasi kehilangan makna.

Keberadaan suatu kota saja secara definisi sudah tidak natural. Belum pernah kita temukan suatu kota yang muncul secara alami di alam. Hampir semua yang kita lihat di kota adalah buatan manusia. Keberadaan buatan manusia di kota sedemikian konstannya sehingga kita bisa menipu diri sendiri bahwa kota itu natural.

Bila kita berada di dalam ruangan, kita dikelilingi oleh buatan manusia. Bila kita berada di luar ruangan, kita lihat jalan aspal, trotoar, gorong-gorong, semuanya buatan, bahkan taman pun buatan. Hanya karena taman tersebut berisi pohon dan rumput, bukan berarti bahwa taman yang kita lihat di Jakarta ini natural. Tidak ada rumput dan pohon yang muncul tertata rapih alami di alam. Mungkin satu-satunya yang sejati natural di Jakarta ini hanya langit, itupun sudah diisi oleh gas dan partikel buatan manusia.

Dengan demikian, sangat sulit mengharapkan bahwa sungai di kota, yang merupakan buatan manusia, bisa tetap natural.

Pertama, sungai natural itu memiliki ekosistem bantaran yang natural, dengan flora dan fauna yang natural. Dan flora dan fauna natural ini yang membantu menjaga keseimbangan ekologis dari sungai tersebut.

Naturalisasi sungai yang sejati seharusnya juga menyediakan ekosistem bantaran dengan flora dan fauna yang natural, dengan ruangan yang cukup untuk menampung flora dan fauna natural yang bersangkutan.

Jika naturalisasi sungai artinya tidak membeton pinggiran sungai, tetapi pinggiran sungai tetap diisi habitat dan struktur buatan manusia, sungai tersebut justru sangat tidak ternaturalisasi. Di kota yang sudah terbangun, sulit menyediakan lebar bantaran yang cukup untuk membentuk ekosistem sungai yang natural.

Konsep floodplain

Kedua, sungai natural itu memiliki sifat musiman dan setidaknya dua implikasi yaitu kapasitas yang berubah dan batasan yang berubah.

Terkait kapasitas, sungai yang natural akan mengecil saat musim kemarau dan meluap saat musim hujan. Semakin deras hujan akan semakin meluap sungainya, ini natural. Penduduk yang tinggal di bantaran sungai yang alami, sudah biasa harus berpindah habitat saat musim hujan, mengikuti bantaran sungai yang berubah.

Jika membiarkan sungai meluap saat musim hujan adalah yang dimaksud oleh Gubernur DKI Jakarta dengan naturalisasi sungai, berarti beliau memang sudah berhasil melaksanakan naturalisasi sungai. Yang perlu dipertimbangkan, warga Jakarta mungkin kesulitan kalau harus berpindah habitat setiap kali musim hujan.

Terkait batasan, sungai yang natural memiliki floodplain, wilayah yang akan diisi luapan air sungai tadi sesuai aliran sungai dan berubahnya ketinggian sungai karena debit air yang meningkat. Floodplain ini tidak menjadi masalah apabila di daerah terpencil atau di kota yang secara administratif konsisten tegas menolak pembangunan di area floodplain.

Sayangnya, di perkotaan, floodplain ini bisa jadi bertabrakan dengan batasan-batasan properti warga yang dibeli warga dengan susah payah yang sudah membayar pajak ke pemerintah kota. Sulit membayangkan orang mau merelakan propertinya berubah fungsi menjadi floodplain setiap musim hujan, terlepas apakah mereka bisa berpindah habitat atau tidak.

Mengingat hak hidup warga yang ada di kota, wajar kalau para warga kota mengharapkan bahwa sungai yang melintas di kota bisa dikendalikan baik secara kapasitas maupun batasannya. Tentunya ini tidak alami, karena di alam, kapasitas dan batasan sungai berubah sesuai kondisi alam.

Tetapi memang tidak ada yang alami dari 10 juta manusia yang hidup dalam wilayah seluas 661 km, yang sudah pasti ada habitat buatan, sudah pasti pula ada struktur buatan. Karena kota itu sendiri adalah buatan. Bagaimana bisa ada sungai yang melewati kota dan tidak terpengaruh dengan kepentingan manusia di kota tersebut.

Agak mubazir meratapi egoisme manusia merubah sungai untuk mengakomodasi kepentingan si manusia. Keinginan manusia untuk hidup nyaman di alam, sudah pasti hanya bisa dicapai dengan merubah komposisi alami dari si alam. Merubah tidak berarti merusak, tetapi sepertinya kurang jujur bila kita nyatakan bahwa alam yang sudah dibentuk untuk mengakomodasi manusia tersebut sebagai natural.

Ketiga, alam tidak takut dengan egoisme kepentingan manusia. Alam akan terus mencari keseimbangannya sendiri. Banjir yang kita alami merupakan hasil dari alam yang mencari keseimbangan di tengah kota yang belum siap membantu alam mencapai keseimbangan tadi.

Mengingat bahwa manusia yang telah merubah alam, maka dalam menghadapi usaha alam mencapai keseimbangannya, manusia harus semakin bergiat berpikir berusaha membantu alam mencapai keseimbangan tadi. Disini kita bisa mencapai keseimbangan holistik, antara alam yang mencari keseimbangannya dan manusia yang hidup dengan keinginannya.

Mengingat bahwa kondisi sungai di kota yang sudah tidak memiliki ruang untuk ekosistem fauna dan flora yang alami dan harapan warga bahwa sungai di kota bisa dikendalikan kapasitas dan batasannya, maka baiknya kita akui bahwa sungai yang natural sulit ada di kota. Semakin cepat kita tinggalkan ilusi naturalisasi di kota, semakin cepat kita bisa bergerak membantu alam mencapai keseimbangannya di lingkungan yang sudah tidak natural.

Kita tidak perlu berkecil hati, kota-kota yang lebih maju pengelolaanya dari Jakarta juga jarang sekali memiliki sungai yang masih natural dari hulu hingga hilir. Kita pun bisa belajar dari kota tersebut. Betapa kaya kreativitas, bentukan, dan aktivitas manusia untuk bisa berusaha membentuk habitat kita agar bisa mencapai keseimbangan dengan alam yang kita tumpangi ini dan betapa mulianya Tuhan yang Maha Esa yang memberikan pikiran dan daya kepada manusia.

Penulis : Sendy Filemon

Wiraswasta dan Warga Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×