| Editor: Tri Adi
Layakkah beli bitcoin? Bisa ngga bitcoin tembus US$ 10.000 tahun ini? Ini bahan obrolan jika sekarang saya ketemu saudara atau teman. Beda dengan dulu, di mana wartawan ekonomi seperti saya biasa ditanyai prediksi kurs rupiah.
Bitcoin memang primadona. Saat ini, tak ada instrumen investasi yang bisa memberikan keuntungan sebesar mata uang kripto ini. Harga 1 bitcoin yang di awal 2017 baru sekitar US$ 900 terus naik.
Kenaikan fantastis terjadi akhir pekan kemarin. Untuk merayakan Thanksgiving disusul Black Friday, warga Amerika Serikat (AS) beramai-ramai belanja bitcoin. Coinbase, agen jual beli bitcoin terbesar di AS, mencatat kenaikan 100.000 rekening baru sepanjang perayaan itu.
Bitcoin pun melejit menembus US$ 8.725, tertinggi dalam sejarah. Pasar pun dilanda histeria. Orang berlomba-lomba memburu bitcoin. Alhasil, hari Minggu (26/11), Cointelegraph mencatat bitcoin sempat menembus US$ 9.000. Artinya, ada kenaikan hampir 1.000% sejak awal tahun. Siapa tak tergiur?
Apa lagi, dua pekan lagi, perusahaan derivatif terbesar dunia, CME akan meluncurkan produk derivatif bitcoin. Ini bisa jadi legitimasi terhadap keberadaan uang internet yang tidak diakui banyak bank sentral di dunia ini.
Maka banyak orang yakin bitcoin segera menembus level psikologis US$ 10.000. Bahkan, Tom Lee, pendiri Funstrat, membuat prediksi jangka pendek bitcoin akan menembus US$ 14.000.
Namun, di tengah melambungnya nilai bitcoin, terbersit kekhawatiran bitcoin sudah bubble dan akan segera ledak dalam krisis yang mengerikan.
Peringatan tentang bubble bitcoin sudah cukup lama terdengar. Sebut saja dari Howard Marks yang secara jitu meramalkan bubble dotcom, CEO JP Morgan Chase Jamie Dimon, hingga legenda hidup pasar saham dunia, Warren Buffett.
Beberapa bank sentral bahkan melarang bitcoin. Sebut saja China dan Korea Selatan. Di negara kita, Bank Indonesia pun melarang penggunaan bitcoin sebagai alat tukar.
Awal September lalu, pelarangan oleh China sempat membuat bitcoin terpuruk 30% dari US$ 4.800 menjadi kisaran US$ 3.000. Namun penurunan itu justru memacu perburuan bitcoin. Ya, peringatan bubble dan larangan tak kuasa membendung bitcoin yang terus melambung atau kian menggelembung.
Namun satu hal yang harus diingat, ada risiko besar pada bitcoin dan sejenisnya. Bitcoin mengandalkan sistem internet, tak ada bank sentral atau lembaga yang mengawasi dan bertanggung jawab pada nilainya.
Juga tak ada cadangan devisa atau underlying asset yang secara objektif menentukan nilainya. Artinya uang investor bisa hilang begitu saja, entah karena penipuan, kejahatan siber atau karena masalah pada komputer si investor
Laporan terbaru perusahaan digital forensik, Chainalysis menunjukkan 2,78 juta- 3,79 juta bitcoin sudah hilang untuk selamanya dari sistem internet. Dengan harga, katakanlah US$ 8.500, maka dana yang hangus dalam bitcoin mencapai US$ 23,6 miliar –US$ 32,2 miliar!
Jadi, layakkah beli bitcoin? Jika ingin mengadu untung di bitcoin, pastikan dana yang Anda masukkan ke instrumen ini adalah dana nganggur, dana yang jika hilang tak akan bikin Anda stres dan kesulitan. Anggap saja itu biaya belajar dan ongkos sebuah pengalaman yang mendebarkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News