Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Khalayak ramai memperdebatkan kondisi korupsi seperti penyakit kanker yang parah. Masalah integritas dan etika juga mengemuka. Alih-alih berdebat tentang level kanker, akan bermanfaat jika semua pemangku kepentingan dan DPR memperhatikan kondisi korupsi saat ini. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada 19 Bupati/Walikota yang tersangkut Operasi Tangkap Tangan (OTT) tahun ini. Jumlah itu belum termasuk OTT aparatur sipil negara (ASN) di eksekutif, yudikatif serta wakil rakyat.
Menarik untuk melihat PPATK (Pusat Pengawasan dan Analisis Transaksi Keuangan) melalui UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, mewajibkan bank melaporkan transaksi mencurigakan dan/atau transaksi tunai melalui transfer dengan batasan nilai Rp 500 juta ke atas. Kewajiban juga berlaku bagi penyedia barang dan jasa mewah seperti pengembang, diler otomotif, pedagang perhiasan dan balai lelang dengan nilai transaksi Rp 500 juta.
Di India, Perdana Menteri Modi tahun 2016 menarik pecahan rupee 500 karena sering dipalsukan untuk terorisme dan 1.000 rupee karena kerap dipakai untuk menyuap. Langkah itu membuat banyak pihak kesulitan transaksi. Namun pemerintah India mengakomodasi sistem Paytm (pay through mobile) sejak 2014 untuk transaksi pembayaran dengan scan barcode, sampai ke pasar. Di luar dugaan, aplikasi Paytm ini bisa menggantikan pembayaran tunai secara masif.
Beberapa negara telah menerapkan batasan non-cash payment, seperti Italia, Meksiko, dan Denmark. Italia menetapkan batasan lebih dari 1.000 poundsterling harus non tunai, untuk mencegah pencucian uang dan penghindaran pajak. Di Meksiko juga, batasan tunai 100 ribu peso (US $ 7.700) untuk mencegah pembelian properti, kendaraan dan barang mewah dengan uang ilegal. Denmark pun membatasi tunai maksimal 10.000 krone (setara 1.330) untuk mencegah penghindaran pajak dan mendeteksi transaksi terutang PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Amerika Serikat (AS) sendiri menerapkan batasan maksimal tunai US$ 10.000.
PPATK belakangan ini sudah mengajukan revisi UU No 8/2010 dengan batasan tunai menjadi maksimal Rp 100 juta. Secara nyata memang ada dua celah. Pertama, batasan nilai transaksi sebesar Rp 500 juta terlalu besar, karena transaksi kurang dari Rp 500 juta tidak perlu dilaporkan ke PPATK. Celah ini juga dimanfaatkan penyedia barang dan jasa mewah batasan nilai Rp 500 juta dengan skema tunai keras.
Kedua, batasan pembayaran tunai belum ada sehingga nasabah leluasa mencairkan dana tunai berapapun besarnya untuk membayar semua barang. Alasan nasabah mengambil tunai untuk membayar gaji karyawan dan pembelian bahan baku produksi, tidak masuk akal, karena semuanya bisa ditransfer via rekening bank.
Mewajibkan masyarakat
Korupsi dapat dicegah dengan pengawasan transaksi. Agar pengawasan maksimal, perlu ada pembatasan nominal pembayaran tunai dan mengedepankan pembayaran non tunai (non cash payment), termasuk penukaran valuta asing. Dalam kasus OTT terakhir KPK di Jakarta Selatan, terduga penyuap menukar dollar Singapura di money changer secara tunai untuk suap. Sedangkan dari sidang kasus OTT KPK tahun 2017 atas seorang pejabat eselon satu, penyuap melakukan penyamaran kepemilikan rekening bank. Di rekening itu, kartu ATM dipegang tersangka. Dan KPK bisa melakukan arus keuangan dengan metode ini.
Dalam sistem penerimaan negara, model perpajakan di Italia, Meksiko, Denmark dan AS menerapkan self assessment. Wajib pajak mengisi laporan penghasilan dan menyetorkan pajak secara sukarela karena transaksi keuangan di perbankan dan lembaga keuangan lain sudah terawasi pemerintah. Jika ada kecurangan, otoritas pajak dengan mudah akan mengusut kasus tersebut.
Korupsi tidak bisa dipandang hanya stand alone crime. Uang suap pengusaha hitung sebagai biaya pengurang penghasilan yang seharusnya dikenakan pajak. Akibat suap ini, negara dirugikan dari pajak penghasilan (PPh) badan sebesar 25 persen dikalikan 1 milyar atau 250 juta.
Langkah maju Pemerintah adalah penetapan UU Nomor 9 Tahun 2017 yang mengesahkan Perppu No.1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Aturan UU ini mewajibkan Bank dan Lembaga lainnya menyampaikan informasi keuangan (saldo) nasabah per akhir tahun, paling lambat akhir April tahun berikutnya. Masalahnya, masyarakat masih ada pilihan untuk menggunakan tunai dalam transaksi sehingga tidak semua melalui bank.
Inti dari pembatasan tunai adalah mewajibkan masyarakat memakai instrumen perbankan untuk jual beli dan pembayaran lainnya. Pengaturan non tunai mungkin dilakukan karena jumlah rekening bank sudah mencapai 55% jumlah penduduk. Sementara jumlah alat pembayaran menggunakan kartu (APMK), seperti kartu ATM dan debit, sekitar 154 juta pada September 2018. Belum lagi kanal pembayaran online seperti Go Pay dan OVO.
Melihat kondisi itu, pemerintah dan DPR harus segera mengesahkan pembatasan tunai, yang lebih kecil kalau bisa jauh dibawah 100 juta. Pemerintah hanya perlu mengatur transaksi business to business, business to person atau person to person memakai mekanisme non cash payment.
Selain itu, pencatatan non-cash payment, memudahkan akses pemerintah memantau data lalu lintas keuangan yang setara produk domestik bruto (PDB) senilai Rp 16.000 triliun (asumsi APBN 2019). Ini dipakai sebagai data referensi untuk crosscheck kebenaran isian SPT Tahunan pajak penghasilan. Untuk pengawasan wajib pajak diperlukan data eksternal indikasi penghasilan seperti pembelian polis asuransi, kendaraan bermotor, properti, dan surat berharga/efek.
Misalkan untuk kepentingan legalisasi setoran pajak transaksi pengalihan properti. Ada kewajiban mencantumkan nomor rekening bank, namun wajib pajak masih bersikeras metode pembayaran pengalihan secara tunai. Tentu tidak masuk akal bila transaksi ratusan juta bahkan miliaran dengan tunai. Dengan revisi UU No 8/2010 tentang batasan pembayaran tunai, saat wajib pajak memohon legalisasi setoran pajak, wajib mencantumkan nomor rekening bank sehingga kantor pajak bisa melacak kebenaran transaksi tersebut.
Dengan melihat kondisi tersebut, sudah selayaknya pemerintah dan DPR membatasi transaksi tunai yang lebih kecil dengan segera mensahkan revisi UU No.8/2010.•
Anandita Budi Suryana
Pegawai Ditjen Pajak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News