kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Norma Baru Bersama Covid-19


Sabtu, 16 Mei 2020 / 17:01 WIB
Norma Baru Bersama Covid-19
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Pandemi Covid-19 bukan saja menimbulkan krisis kemanusiaan, tetapi juga memicu krisis ekonomi. Dana Moneter International (IMF) meramalkan bahwa pertumbuhan ekonomi global sepanjang tahun 2020 akan mengalami kontraksi (negatif) sebesar 3% (yoy). Kontraksi pertumbuhan ekonomi ini terjadi sebagai imbas dari kebijakan karantina wilayah dan jaga jarak sosial atau juga pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dilakukan banyak negara untuk mencegah penyebaran infeksi Covid-19.

Aktivitas ekonomi mendadak melambat. Sisi permintaan (demand) dan sisi produksi (supply) lunglai terkena pukulan keras Covid-19. Hasilnya dapat dilihat dari realisasi pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2020 yang telah dirilis oleh sejumlah negara yang mengalami kontraksi. Mulai dari China (6,8% yoy), Prancis (5,4% yoy), termasuk Filipina (0,2% yoy) dan Singapura (2,2% yoy). Sedangkan Indonesia di periode serupa masih bisa tumbuh 2,97%, tapi jauh dari ekspektasi pemerintah dan analis sekitar 4,5% (yoy).

Menciutnya pertumbuhan ekonomi ini tidak dapat dilepaskan dari merosotnya kinerja dua mesin utama pertumbuhan ekonomi, yaitu konsumsi Rumah Tangga (RT) dan Investasi (PMTB) yang masing-masing hanya tumbuh sebesar 2,8% (yoy) dan 1,7% (yoy) atau terdiskon separuh dari hasil biasanya. Dipastikan pada kuartal-kuartal berikutnya, pertumbuhan ekonomi nasional akan memasuki fase kontraksi. Karena kebijakan PSBB mulai berlakuawal April 2020, khususnya di DKI Jakarta yang menjadi episenter wabah Covid-19.

Sebagaimana diketahui, DKI Jakarta adalah pusat utama dari aktivitas ekonomi nasional. DKI Jakarta memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bukan itu saja, sirkulasi uang yang menjadi darah bagi aktivitas ekonomi terpusat di DKI Jakarta. Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sampai dengan Maret 2020, dana pihak ketiga (DPK) di DKI Jakarta mencapai Rp 5.760 triliun atau sekitar 91% dari total DPK perbankan nasional.

Dengan kata lain, pemberlakuan PSBB di DKI Jakarta akan sangat memukul pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dampaknya pun sangat terasa, yaitu terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut Kementerian Tenaga Kerja, sampai dengan akhir April telah mencapai 2,8 juta orang.

Tentu, jumlah ini masih bisa bertambah, seiring dengan masih banyaknya segmen usaha yang belum memberikan pelaporan, khususnya dari segmen Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Menurut Kamar Dagang dan Industri (Kadin), jika segmen UMKM ini dimasukkan, maka jumlah PHK yang terjadi bisa mencapai 15 juta orang.

Menyikapi situasi yang sangat pelik ini, pemerintah telah memberikan respons kebijakan. Salah satunya dengan menggelontorkan dana stimulus senilai Rp 405 triliun. Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah merilis aturan yang mengizinkan perbankan untuk memberikan relaksasi kredit terhadap para debiturnya. Data OJK mencatat sampai dengan akhir April 2020, sebanyak 74 bank telah menyetujui restrukturisasi kredit dengan total nilai Rp 207 triliun yang didominasi oleh segmen UMKM.

Bank Indonesia (BI) juga mengeluarkan berbagai kebijakan relaksasi untuk mengawal stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Bank Indonesia harus berjibaku untuk menstabilkan gejolak nilai tukar rupiah. Aktif mengintervensi Pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan sekaligus jadi investor SBN. Responsif untuk memenuhi likuiditas untuk mencegah kemacetan di sistem keuangan yang memicu kenaikan suku bunga pinjaman uang antarbank (PUAB).

Meski begitu, keandalan seluruh kebijakan ini akan diuji oleh sejauh mana kebijakan pencegahan dapat mempercepat terlihatnya puncak pandemi. Sebab, inilah yang akan menjadi pandu untuk menormalkan kembali aktivitas masyarakat dan aktivitas perekonomian.

Sayangnya, sampai saat ini puncak pandemi itu belum bisa ditentukan. Sejumlah permodelan matematika yang telah dirilis untuk melihat puncak pandemi berpotensi meleset. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari masih terjadinya penambahan kasus terkonfirmasi secara konsisten setiap harinya. Bahkan, trennya cenderung meningkat di sejumlah daerah.

Sehingga, semakin panjang durasi pandemi ini, maka ongkos ekonomi yang harus dikeluarkan juga akan semakin mahal. Beban ekonomi akan makin berat. Potensi dunia usaha untuk mengalami kebangkrutan meningkat. Potensi kerusakan dan kemacetan sistem keuangan makin pun membesar.

Normal Baru

Situasi seperti ini akan memicu dilema bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan publik. Apakah menyelesaikan wabah secara tuntas terlebih dahulu atau menormalkan aktivitas masyarakat dan perekonomian secara perlahan. Merujuk dari sejumlah pemberitaan, sepertinya pemerintah akan secara perlahan menormalkan aktivitas perekonomian dengan mendorong masyarakat mematuhi protokol kesehatan.

Sinyal ini dapat dicermati dari pernyataan Presiden Jokowi agar berdamai dengan Covid-19. Selain itu, pemerintah juga telah kembali mengaktifkan moda transportasi (darat, laut, udara), meski dengan kriteria penumpang tertentu. Bahkan, Kementerian Koordinator bidang Perekonomian telah melakukan simulasi kajian awal terkait proses pemulihan ekonomi pasca pandemi yang dimulai awal Juni 2020.

Situasi dilema ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Kondisi ini juga menggelayuti pemerintahan di banyak negara. Majalah The Economist edisi 4-10 April 2020 juga telah menyoroti dilema ini dengan judul covernya A Grim Calculus, The stark choices between life, death, and the economy.

Meski begitu, apapun kebijakan pemerintah Jokowi untuk secara perlahan menormalkan aktivitas ekonomi untuk mencegah kerusakan yang lebih dalam harus tetap dipandu oleh kebijakan yang mendalam dan konprehensif serta berbasis pada ilmu pengetahuan.

Pemerintah harus banyak melibatkan para pakar dalam pengambilan kebijakan politiknya. Sehingga, wabah dapat ditangani dengan baik, sembari proses pemulihan ekonomi dapat terus diupayakan. Namun, di atas semua itu, keselamatan jiwa masyarakat harus jadi prioritas tertinggi.

Pemerintah juga harus padu dalam mengomunikasikan kebijakannya untuk meminimalkan misinterpretasi di tengah publik. Sepertinya, kita sedang dituntun memasuki sebuah tapakan hidup normal baru, yaitu berdamai dengan Covid-19.

Penulis : Desmon Silitonga

Riset Analis PT Capital Asset Ekonomi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×