Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Survei Global Corruption Barometer yang dilakukan Transparency International sejak pertengahan 2015 sampai awal 2017 menunjukkan, DPR merupakan lembaga terkorup (54%). Data Kemendagri menyitir kurang lebih 3.169 anggota DPRD se-Indonesia pernah tersangkut kasus korupsi sepanjang 2004-2014, bahkan dari 2004 hingga Maret 2018 KPK telah memproses 202 anggota DPR(D) yang tersangkut korupsi.
Data lain dirilis Kontras (14/10/2014), sedikitnya 160 anggota DPR periode 2014-2019 yang lolos di DPR, 76 anggota di antaranya diduga korupsi, 63 terperiksa korupsi, 16 tersangka korupsi dan 5 terdakwa korupsi. Presiden Joko Widodo dalam acara Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi bahkan pernah buka-bukaan mengatakan: 122 anggota DPR sudah di penjara karena korupsi. Jadi tak heran jika DPR(D) masuk dalam jajaran penyumbang jumlah koruptor nomor 3 di KPK.
Seabrek data memiriskan di atas menunjukkan bahwa DPR sesungguhnya belum menjadi institusi representasi yang demokratis. DPR juga tak punya kerinduan moral untuk bertobat dari kebiasaan patologisnya itu. Dan ini merupakan alarm rapuhnya pilar demokrasi kita.
Itulah sebabnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersikeras ingin memotong mata rantai korupsi di DPR dengan mengajukan aturan agar mantan napi koruptor (napikor) tidak boleh mencalonkan diri sebagai anggota DPR. Asumsinya adalah kalau napikor itu dibiarkan melenggang ke Senayan, peluang terjadinya reproduksi korupsi semakin besar beranak-pinak dan menjadi virus bahaya bagi atmosfir demokrasi dan pemerintahan. Hak pemilih untuk mendapatkan caleg yang berkualitas secara moral dan kapablitas pun tak terjamin lagi.
Sayangnya niat mulia KPU tidak direstui oleh DPR, Bawaslu hingga pemerintah. Dalam rapat dengar pendapat Komisi II dengan KPU, Bawaslu dan Kemendagri (22 Mei 2018) mantan napikor dibolehkan mendaftar sebagai caleg pada Pemilu 2019 berdasarkan UU Pemilu No 7 Tahun 2017 pasal 240 ayat 1 huruf g bahwa seorang caleg mantan napi yang telah menjalani masa hukuman 5 tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan kepada publik pernah berstatus sebagai napi.
Jelas, pasal tersebut tidak mencerminkan aktualitas konteks spirit eliminasi korupsi. Kasus korupsi adalah kejahatan luar biasa, berarti skandal korupsi tidak boleh diamputasi dengan aturan enigmatik dan lemah. Bayangkan, sejauh ini menurut riset International Corruption Watch (ICW) vonis hukuman terhadap koruptor rata-rata cuma 2 tahun sehingga akan banyak mantan napikor yang berlomba-lomba masuk Senayan karena terhindar dari syarat vonis 5 tahun.
Soal mengumumkan status pernah korupsi ke publik. Inipun irasional. Sulit dipercaya, para caleg koruptor akan benar-benar mengakui ulah korupnya di hadapan publik. Ini terkait ‘jam terbang’ kultur hipokrit dan inkonsistensi politisi kita dalam mematuhi aturan, yang sangat banyak. Apalagi masyarakat kita tidak sedikit yang permisif terhadap korupsi elite-elitenya. Meskipun sudah tahu seorang caleg punya track-record korup, tetap saja dipilih karena pendekatan sosial-kekeluargaan hingga money politic. Yang ada malah pencitraan yang dibombardir ke publik lewat pelbagai repertoar moral dengan mendakukan diri sebagai politisi pro-perubahan, humanis, peduli rakyat, dan lain sebagainya.
Pertanyaannya kenapa untuk soal-soal sensitif seperti mereduksi korupsi selalu mendapat resistensi dari DPR termasuk parpol? Padahal selama ini parpol selalu mendeklarasikan diri sebagai partai yang antikorupsi di hadapan publik. Namun kenapa ketika diperhadapkan dengan keputusan tegas untuk membangun sistem prakondisi antikorup dalam mekanisme rekruitmen caleg misalnya, DPR langsung lunglai dengan bersembunyi di balik penegakan azas-azas hukum. Bukankah azas hukum yang baik pasti selalu mengintroduksi nilai-nilai etis-moral dengan membuka diri terhadap berbagai norma, kritik dan saran progresif untuk menjamin produk dari sebuah hukum tidak mengorbankan hak-hak rakyat yang lebih besar. DPR mestinya terbuka terhadap diktum dan proposal perubahan dari luar, bukan malah memasang tembok dengan jerat dalih-dalih politik-konstitutif.
Menaruh rasa curiga
Ini membuat rakyat curiga, jangan-jangan DPR punya kepentingan politik membuka ‘karpet merah’ bagi caleg mantan napikor? Parpol bisa saja butuh insentif besar baik elektoral maupun modal lewat kader-kadernya yang bermasalah, sehingga perlu memuluskan jalan politik mereka ke Senayan.
Kalau ini benar, terang sudah, bahwa yang diurus DPR di Senayan bukan soal kedaulatan rakyat tetapi kepentingan lima tahunan an-sich. Juergen Habermas, teoritisi diskursus mengatakan, lembaga politik harus memiliki spirit dan budaya diskursus, adu gagasan positif sehingga isu-isu publik dapat menemukan hakekat kesetaraan urgensinya dari ruang-ruang pengambilan keputusan.
Ironisnya, Senayan sangat kedap dari suara desakan moral progresif. Karena memang para wakil rakyat ‘terhormat’ itu tak punya kehendak orisinal sedari awal untuk melakukan diskursus berbagai isu publik penting. Terutama soal antikorupsi sehingga bisa menghasilkan regulasi atau kebijakan nir-koruptif dan pejabat-pejabat publik berintegritas karena di-fit and proper test oleh politisi Senayan yang negarawan.
Perjuangan KPU mewujudkan larangan tersebut lewat peraturan harus didukung. Untuk soal-soal yang sensitif dan strategis seperti ini, rakyat dan seluruh elemen antikorupsi pasti berada di belakang KPU. Upaya KPU ‘mengharamkan’ langkah caleg bermasalah harus diperjuangkan serius meski langkah tersebut rentan digugat di Mahkamah Agung.
Persis di sini makna kaus hitam bertuliskan hastag #JanganDiam yang dikenakan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. Rakyat dan elemen masyarakat yang masih memiliki nurani, berintegritas jangan hanya diam melihat agenda kepemiluan diwarnai dan dikotori oleh keputusan-keputusan pro korupsi.
Rakyat Indonesia harus lantang berseru dan bergerak nyata menyelamatkan DPR dari benih korupsi seperti melakukan petisi tolak mantan napikor nyaleg, mengkampanyekan antinapikor ikut pemilu bersama-sama akademisi, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama di wilayah masing-masing, termasuk di wilayah kampus. Ini sebagai bentuk resistensi dan komitmen masyarakat untuk menjaga hak pilih dan kedaulatannya.•
Umbu TW Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News