kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Obat stabil 2019


Senin, 03 Desember 2018 / 11:01 WIB
Obat stabil 2019


Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Tri Adi

Perdebatan mengenai prospek ekonomi Indonesia 2019 dalam sebulan terakhir makin hangat. Maklum, pelbagai pertimbangan kondisi ekonomi baik internal maupun eksternal tahun depan bakal menjadi pijakan membuat keputusan, terutama bagi pebisnis.

Banyak nada pesimistis, ada juga yang masih optimistis Indonesia bisa tumbuh minimal kisaran 5% seperti beberapa tahun terakhir. Apalagi berdasarkan pengalaman beberapa badai krisis baik kiris 1997-1998, krisis 2008, juga 2018.

Nada pesimistis muncul lantaran beberapa soal yang belum beres. Misalnya hingga saat ini belum ada tanda-tanda penyelesaian konflik dagang antara Amerika Serikat melawan China. Kondisi ini memantik otoritas moneter global membuat kebijakan moneter ketat, terutama di Amerika Serikat, dan Eropa.

Suka atau tidak, konflik ini akan menyeret negara-negara lain, termasuk Indonesia. Saat Amerika melarang produk asal China, maka produk yang punya garis keturunan bahan baku dari negeri itu bisa terancam masuk Amerika. Begitu juga sebaliknya.

Wajar jika ada kekhawatiran bakal berdampak pada ekspor Indonesia jadi ikut tersendat, terutama yang menuju ke dua negara itu. Apalagi fakta sekarang mayoritas produk ekspor terutama manufaktur, mayoritas membutuhkan bahan baku dari luar. Produk untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri termasuk untuk konsumsi juga sama, mengandalkan impor.

Ketegangan Amerika vs China ini juga membuat investor portofolio pilih cari aman, dengan mengoleksi produk keuangan berbasis dollar. Ini yang membuat kurs rupiah tidak kunjung stabil. Kalau beberapa pekan silam sempat terjun bebas, kini tetiba menguat drastis. Kondisi yang sama akan terus berulang di 2019.

Respon kebijakan pun tak jauh beda dari krisis-krisis sebelumnya. Paling mencolok adalah respon kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate (7-DRRR). Kalau tahun ini naik 1,75% jadi 6%, tahun depan diprediksi naik lagi ke 6,5%.

Meskipun tak setinggi krisis-krisis sebelumnya, suku bunga tinggi ini jelas pahit bagi masyarakat ataupun pengusaha pemilik kredit, Tak adil kiranya kalau yang menanggung krisis cuma konsumen. Ada baiknya bank meminimalkan laba, agar sama-sama merasakan krisis.

Pemerintah juga jangan sembrono membuat kebijakan menarik dana asing atau menyetop proyek infrastruktur yang banyak memakai bahan impor, biar stabil tercapai.•

Syamsul Ashar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×