Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Nasib ojek online semakin tidak jelas. Setelah mengalami gelombang penolakan di beberapa daerah sampai pusat, kini, ojek (sepeda motor) tidak bisa masuk kategori angkutan umum, sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVI/ 2018.
Pada dasarnya, Gojek atau Grab merupakan perusahaan yang mengembangkan teknologi untuk menghubungkan penyedia usaha dengan pengguna jasa. Ini skema brand connection yang menunjukkan feedback bagi penyedia aplikasi transportasi dan jasa transportasi.
Merujuk skema bisnis transportasi online, bisa dikatakan undang-undang yang berlaku terhadap keberadaan usaha transportasi online ini sangat tanggung dan menggantung. Pasal 65 Undang-Undang No 7/2014 tentang Perdagangan secara implisit mengklasifikasikan usaha transportasi online ini kedalam perdagangan berbasis sistem elektronik.
Namun, Pasal 65 UU Perdagangan ini tidak mengatur secara mendetail. Pengaturan lebih lanjut terhadap perdagangan berbasis sistem elektronik ini diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana dimaksud Pasal 66 UU Perdagangan.
Namun, hingga sampai saat ini, PP tersebut tidak kunjung ada. Ketiadaan pengaturan tersebut telah membuat skema bisnis transportasi berbasis teknologi aplikasi online ini sudah prematur secara yuridis dari awal.
Hal ini terus berlanjut sampai persoalan kategori ojek online sebagai angkutan umum, kelengkapan administrasi perizinan, dan pengawasan usaha ojek online tersebut. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) tidak mengkategorikan sepeda motor sebagai bagian dari angkutan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47ayat (3) UU LLAJ. Dokumen administrasi perizinan ojek online berupa SIM, STNK, SKCK, tidak termasuk dalam kategori perizinan angkutan orang yang harus memiliki izin penyelenggaraan orang dalam trayek sebagaimana termaktub dalam Pasal 173 ayat (1) UU LLAJ.
Putusan MK Nomor 41/PUU-XVI/2018 telah membuat hak ojek online atas pekerjaan yang layak dan perlindungan hukum kian terancam. Dalam Putusan MK a quo, MK berpendapat bahwa ojek online (sepeda motor) tidak dapat dikategorikan sebagai angkutan umum. Sehingga, konsekuensinya pemerintah (Kementerian Perhubungan) tak lagi berwenang mengatur soal ojek online, karena tidak diakui dalam UU LLAJ. Menariknya, Menhub akhirnya melemparkan pengaturan soal ojek online ini kepada pemerintah daerah.
Pelemparan konfigurasi ojek online kepada pemerintah daerah ini telah menimbulkan masalah baru dengan tidak adanya dasar acuan di tingkat peraturan yang lebih tinggi (UU/PP/Permen) yang menjadi pijakan dalam menentukan formula untuk kegiatan usaha ojek online di daerah.
Dalam teori ilmu perundang-undangan yang dikemukakan Hans Kalsen, stufentheorie (teori hirarki peraturan perundang-undangan) menyatakan, norma peraturan perundangan-undangan terendah itu bersumber atau mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketiadaan pengaturan ditingkat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi membuat konfigurasi ojek online di tingkat daerah menjadi bola liar dan ketidakpastian hukum.
Tak habis disitu, pasca berlakunya Undang-Undang No.23/2014 (UU Pemda) juga membatasi kewenangan pemerintah daerah dibidang perhubungan. Dalam Lampiran UU Pemda, kewenangan pemerintah daerah dibidang perhubungan, khususnya LLAJ, terbatas pada urusan jalan, terminal, penyediaan angkutan umum antar kota dalam satu daerah, penerbitan izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek, penerbitan izin penyelenggaraan taksi, dan penetapan tarif kelas ekonomi angkutan orang.
Situasi seperti ini semakin memperuncing masalah. Meski peraturan daerah merupakan produk hukum daerah berbasis karakter dan keperluan daerah, tetapi harus di ingat perda merupakan peraturan pelaksana peraturan perundang-undangan di atasnya. Norma dan subtansi perda bersumber dan merupakan turunan dari peraturan perundang-undangan di atasnya.
Rekomendasi hukum
Ketiadaan peraturan perundang-undangan ini juga berimbas pada tindakan pemerintah yang harus sesuai dengan undang-undang (rechtmatigheid). Bagaimana cara pemerintah daerah merumuskan pengaturan ojek online?. Sementara situasi saat ini tidak memungkinkan dengan tidak adanya ketentuan perundang yang lebih tinggi sebagai pedoman dan sumber kewenangan atas tindakan pemerintah dibidang tersebut.
Sebenarnya, pemerintah bisa saja melarang kegiatan usaha ojek online dari awal usaha ini muncul ke permukaan dengan alasan melaksanakan peraturan perundang-undangan. Kewenangan melarang kegiatan perdagangan barang atau jasa tersebut dibenarkan oleh Undang-Undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 ayat (1) huruf g UU Perdagangan.
Pemerintah bisa saja melarang usaha ojek online ini dengan alasan melaksanakan ketentuan UU LLAJ yang tidak mengakui keberadaan ojek online sebagai angkutan umum. Tapi, pada saat itu terjadi perbedaan pendapat dari kubu pemerintah antara Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan, yang tidak mengakui keberadaan ojek online dengan Presiden Jokowi yang mengatakan bahwa ketiadaan aturan tidak boleh menghambat inovasi.
Tapi sayangnya, dukungan Presiden Jokowi terhadap ojek online ini tidak diikuti dengan langkah nyata merevisi UU LLAJ maupun menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai payung hukum keberadaan ojek online. Tidak adanya langkah nyata tersebut telah membuat nasib ojek online terombang-ambing ketidakpastian hukum seiring berjalannya waktu sampai hari ini.
Kini, keberadaan ojek online butuh kepastian hukum dari pemerintah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 (UU LLAJ) harus segera direvisi karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan transportasi dan pola usaha angkutan umum saat ini. Namun, nampaknya hal tersebut sangat mustahil dilakukan jelang pemilu 2019.
Untuk memenuhi kepastian hukum, pengaturan ojek online, mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka pemerintah dapat menerbitkan Undang-Undang Perubahan yang merubah beberapa ketentuan pasal dalam UU LLAJ. Subtansi dari UU Perubahan UU LLAJ ini, bisa dilakukan dengan menambahkan definisi transportasi non konvensional/ online ke dalam angkutan, kendaraan bermotor, dan/atau kendaraan bermotor umum. Atau menambahkan pasal yang berisi definisi dan mengatur pelayanan transportasi umum berbasis online.
Menerbitkan UU Perubahan jauh lebih efektif ketimbang merevisi UU LLAJ secara keseluruhan mengingat kita akan memasuki tahun politik 2019. Sekarang tinggal menunggu langkah nyata dan keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan hukum yang terus melilit keberadaan ojek online ini.•
Agung Hermansyah
Junior Legal Asa Law Firm Pekanbaru
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News