kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Omnibus Law Sektor Lingkungan Hidup


Selasa, 14 Januari 2020 / 11:51 WIB
Omnibus Law Sektor Lingkungan Hidup
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Bencana banjir yang terjadi di akhir tahun 2019 di DKI Jakarta dan berbagai wilayah di Indonesia merupakan bencana ekologis. Penyebab utamanya yaitu perilaku manusia dalam memperlakukan lingkungan alam tidak sesuai hukum alam.

Lingkungan alam telah sangat baik bekerja sesuai dengan kaidah alamiahnya, namun manusia membangun dengan melawan hukum alam. Akibatnya, keseimbangan alam pun terganggu dan manusia sendiri pulalah yang akan mengalami malapetaka.

Manusia dengan berbagai obsesi kemanusiaannya mengorbankan lingkungan alam demi mewujudkan hasratnya atas nama pembangunan. Celakanya, pembangunan hanya dilihat dari perspektif antroposentris, meniadakan lingkungan alam sebagai bagian dari elemen kosmopolitan yang sentral. Lingkungan alam seakan tak berhak diperhatikan, kalaupun punya hak dan kewajiban, hanya dipaksa dengan berbagai kewajibannya.

Selain itu alam dipaksa wajib membuat manusia tidak mengalami banjir bandang, tidak terkena longsor, tidak terpapar kebakaran hutan dan lahan, harmonis dengan tujuan manusia untuk membangun perekonomiannya, menyediakan sumber makanan dan minuman yang baik dan sehat, serta menyejahterakan manusia. Namun, hak lingkungan alam seakan bukanlah urusan manusia.

Hak lingkungan alam hanya sebatas artifisial yang miskin substansi, hanya aspek prosedural, yang lemah dalam implementasi. Akhirnya, hukum alam pun bekerja, petaka bagi manusia pun berdatangan.

Berbagai instrumen hukum dibuat sebagai pengendali pembangunan. Izin lingkungan, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), UKL/UPL, kajian lingkungan hidup strategis, instrumen ekonomi lingkungan, dan penegakan hukum lingkungan begitu lengkap diatur, namun implementasinya hanya sebatas aspek formalitas. Tak lebih dari sebuah dokumen check list yang sangat miskin kualitas, seringkali menjadi kertas-kertas yang sangat transaksional. Kalaupun pelaksanaannya serius, seringkali kepentingan pembangunan atas nama investasi dimenangkan oleh pengambil kebijakan ketimbang perlindungan lingkungan hidup itu sendiri. Semangat membangun dengan wajah investasi, pertumbuhan ekonomi, penerimaan negara, pengembangan wilayah, penciptaan lapangan kerja, begitu bombastis dan ambisius disusun, sebaliknya keberpihakan pada lingkungan alam begitu lemah.

Butuh terobosan kebijakan yang kuat untuk menempatkan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di level tertinggi dalam penentuan kebijakan pembangunan. Hal ini menjadi sangat penting mengingat dalam konstitusi Indonesia pun, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28H dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, posisi lingkungan alam sangat sentral, vital, dan strategis. UUD 1945 menganut konstitusi hijau. Spirit perlindungan lingkungan hidup begitu kuat dalam konstitusi Indonesia.

Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan, setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Lalu, dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Sebagai hukum tertinggi, konstitusi perlu dioperasionalkan dalam peraturan organis yaitu undang-undang (UU) yang pro lingkungan tidak hanya pro pertumbuhan.

Perlu Omnibus Law

Omnibus law merupakan metode yang dapat digunakan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan untuk mencabut/menegaskan/mengubah/ mereformulasi pasal-pasal dalam beberapa peraturan perundang-undangan secara sekaligus tanpa harus merevisi satu persatu peraturan perundang-undangan, melainkan cukup membuat satu peraturan perundang-undangan baru.

Konkretnya, omnibus law dalam sebuah UU yaitu adanya penyatuan berbagai substansi (norma) hukum dalam berbagai UU ke dalam satu undang-undang. Ciri-cirinya Pertama , multisektor dan terdiri dari banyak muatan sektor dengan tema sama. Kedua, terdiri dari banyak pasal, akibat banyak sektor yang dicakup. Ketiga, menegaskan/mencabut sebagian atau keseluruhan peraturan lain.

Omnibus law di sektor lingkungan hidup sangat penting, karena ada empat masalah legislasi/regulasi dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pertama, Masalah pembentukan peraturan. UU No 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Hidup (UU PPLH) menjadi peraturan yang sangat penting untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.

Namun, tingkatan UU PPLH yang setara dengan berbagai UU sektor lain yang tentu tidak mengikat dalam law making process di UU lain menjadi persoalan pembentukan UU. Sebagai contoh, dalam Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Ibu Kota Negara yang saat ini sedang disusun pemerintah, pengaturan dalam UU PPLH dapat di simpangi oleh RUU Cipta Lapangan Kerja dengan berbagai pertimbangan praktis. Hal ini sangat dimungkinkan, mengingat ini bila disahkan berada dalam satu level hirarki yang sama dengan UU PPLH.

Kedua, masalah implementasi. UU yang terbentuk dalam pelaksanaannya sering tidak efektif. Efektifitas pemberlakuan ini dipengaruhi kendala konflik norma, distorsi norma, kontestasi norma, dan benturan kewenangan kementerian/lembaga/pemerintah daerah yang memiliki legitimasi yang kuat sesuai UU yang melandasinya. Intinya, tidak bekerjanya norma disebabkan legislasi/regulasi yang saling mengunci.

Contoh, antara UU PPLH dan UU Perkebunan terjadi konflik norma terkait pengaturan mengenai larangan membakar lahan. Dalam UU Perkebunan diatur setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar. Bahkan, ada ancaman pidana. Namun di sisi lain, dalam UU PPLH diatur pembakaran lahan dapat dilaksanakan dengan pertimbangan kearifan lokal.

Ketiga, masalah interpretasi. Masalah ini disebabkan karena adanya rumusan norma yang sulit dipahami. Prosedur hukum dalam rangka penyatuan konsepsi norma UU dapat dilakukan melalui pengujian ke Mahkamah Konstitusi.

Namun, pilihan prosedur pengujian ini perlu proses yang tidak efisien bagi warga negara karena adanya beban waktu, tenaga, biaya dalam proses pengujian di lembaga peradilan. Padahal, bila pembentuk hukum membentuk UU dengan baik, maka beban warga negara melakukan pengujian dapat dihindari. Beban warga negara berkali lipat akibat kegagalan pembentukan UU.

Warga negara dengan pajaknya telah membayar para pembentuk UU agar membentuk hukum yang baik, tapi rakyat harus membayar pula untuk memperjuangkan hak konstitusionalnya ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×