kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45915,07   16,29   1.81%
  • EMAS1.325.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Covid-19 Menguji Resiliensi Perbankan


Rabu, 03 Juni 2020 / 12:36 WIB
Covid-19 Menguji Resiliensi Perbankan
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Paska krisis keuangan global 2007/2008, regulator internasional yang digawangi Komite Basel berupaya meningkatan daya tahan (resiliensi) perbankan. Ada dua area yang menjadi fokus penguatan yaitu permodalan dan likuiditas. Penguatan permodalan dilakukan dengan mengeluarkan regulasi yang mewajibkan bank menebalkan modal melalui capital conservation buffer, capital surchage dan countercyclical capital buffer. Sementara pada sisi likuiditas, penguatan dilakukan melalui pemenuhan rasio liquidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR) minimal 100%.

Efeknya perbankan kita makin kuat. Mengutip data CEIC, rasio permodalan perbankan Indonesia sampai posisi Februari 2020 tercatat 22,3%, paling tinggi ketimbang beberapa anggota G20 dan negara ASEAN. Perbankan kita juga makin likuid, terlihat dari rasio LCR dan NSFR yang melampaui ketentuan minimal sebesar 100%. Bahkan, dari laporan keuangan publikasi triwulan I-2020, ada beberapa bank yang memiliki rasio LCR di atas 200% seperti BCA (290,23%), BRI (236,15%) dan Bank Mega (207,90%). Indikator likuiditas lainnya, yakni rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) juga tinggi mencapai 24,16%.

Lalu Covid-19 di minggu terakhir Maret dan mulai menghantam ekonomi Indonesia. Banyak aktivitas ekonomi harus terhenti untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Sebagai institusi keuangan penyedia pembiayaan kepada pelaku ekonomi, tentu perbankan akan terpapar risiko gagal bayar tidak hanya dari sektor korporasi dan UMKM, namun juga sektor rumah tangga sebagai dampak lanjutannya. Pertanyaannya, mampukah bank bertahan?

Untuk menilai seberapa kuat perbankan mampu bertahan dari pandemi Covid-19, kita dapat menggunakan data posisi triwulan I-2020. Ada dua pos yang digunakan untuk menyerap kerugian dari risiko gagal bayar, yaitu akumulasi Cadangan Kerugian Penyusutan Nilai (CKPN) dan jumlah modal bank. Berdasarkan Laporan Bank Umum, jumlah CKPN yang tersedia Rp 261,45 triliun atau 4,52% dari total kredit yang mencapai Rp 5,781,56 triliun (163,25% dari jumlah kredit bermasalah/NPL). Adapun jumlah NPL Rp160,15 triliun atau 2,77% dari total kredit. Jadi, sisa CKPN yang dapat dipakai untuk menambal tambahan NPL Rp 101,30 triliun.

Bila CKPN yang dibutuhkan untuk menutupi NPL hanya 50% (50% lagi dicover agunan), maka tambahan NPL yang dapat ditutupi CKPN menjadi lebih besar yakni Rp 362,75 triliun. Semakin besar nilai agunan, maka kemampuan CKPN dalam menutupi tambahan NPL kian besar.

Sementara itu, rasio permodalan (CAR) perbankan mencapai 21,63% atau Rp 1.353,34 triliun. Bila CAR bank dipatok hanya 14% atau Rp 876,13 triliun, maka terdapat alokasi modal Rp 954,43 triliun yang dapat digunakan untuk menutupi tambahan NPL dengan membentuk CKPN kembali untuk menyerap 50% kerugian dari kredit yang diberikan. Bila saldo CKPN dan modal tersebut digabungkan, maka tambahan NPL yang dapat diserap perbankan menjadi Rp 1.317,18 triliun atau 22,78% dari total kredit.

Dalam kondisi extraordinary ini, bisa saja CAR yang diwajibkan diturunkan sementara (relaksasi), misalnya 10%. Maka jumlah modal yang dapat dipakai untuk menutupi tambahan NPL menjadi Rp 1.455,07 triliun. Alhasil, kemampuan menyerap kerugian dari tambahan NPL pun meningkat menjadi Rp 1.817,82 triliun atau 31,44% dari total kredit.

Kemampuan bank menutupi kerugian dari potensi tambahan NPL kian kuat seiring dengan rencana bank untuk menambah modal baik melalui tambahan setoran modal maupun penerbitan obligasi subordinasi. Berdasarkan Rencana Bisnis Bank (RBB) diperkirakan pada 2020 ada tambahan modal lebih dari Rp 100 triliun. Tambahan modal tersebut di atas sekaligus akan menguatkan likuiditas perbankan.

Lalu, bagaimana dengan kondisi likuiditas perbankan? Selain dari rasio LCR dan NSFR, kekuatan likuiditas perbankan dapat dilihat dari jumlah AL dan penghimpunan DPK. Pada triwulan I-2020, jumlah AL mencapai Rp 1.501,38 triliun dengan rasio AL/DPK mencapai 24,16%. Bila AL/DPK dipatok menjadi 10%, maka AL yang dapat dipakai bila terjadi penarikan DPK sebesar Rp 879,95 triliun.

Pada kenyataannya, DPK masih naik 9,54% secara tahunan (yoy), bahkan lebih tinggi dari penyaluran kredit yang naik 7,95%. Ini menunjukkan penghimpunan DPK masih mampu membiayai penyaluran kredit. Pada sisi lain, perbankan juga memperoleh pendanaan dari non DPK seperti menerbitkan obligasi, menarik pinjaman dari pihak lain, utang luar negeri dan menambah setoran modal. Dari RBB, diperkirakan pada 2020 ada tambahan dana non DPK mencapai lebih dari Rp 500 triliun. Alhasil, dana non DPK itu akan menambah likuiditas bank. Tidak heran bila dana non DPK membuat rasio AL/DPK tinggi dan meningkat menjadi 24,16% ketimbang triwulan I-2019 yang tercatat 21,10%.

Dukungan regulasi

OJK telah merilis kebijakan stimulus yang memberikan kesempatan kepada perbankan untuk melakukan restrukturisasi kredit agar NPL dapat terjaga. Sebabnya kredit yang direstrukturisasi dikategorikan lancar.

Sementara Dewan Standar Akuntansi Keuangan-Ikatan Akuntan Indonesia telah membolehkan bank untuk sementara tidak membentuk CKPN pada kredit yang direstrukturisasi karena terdampak pandemi Covid-19. Jadi, persoalan sesungguhnya lebih kepada likuiditas perbankan yang terpengaruh akibat potensi peningkatan NPL dan restrukturisasi kredit, terutama bila skema restrukturisasi berupa penundaan angsuran pokok dan bunga, penurunan suku bunga dan perpanjangan jangka waktu kredit.

Meski begitu, tekanan likuiditas telah dimitigasi dengan kebijakan stimulus pemerintah melalui pemberian subsidi bunga dan penempatan dana pemerintah di bank jangkar. Dari sisi biaya bunga, perbankan perlu menurunkan suku bunga simpanan agar kebutuhan likuditas untuk pembayaran bunga menurun.

Bank Indonesia (BI) juga telah menjaga kecukupan likuiditas. Dalam GBI Media Briefing 28 Mei 2020, Gubernur BI menyebut sejak awal 2020, BI telah menginjeksi likuiditas ke pasar uang dan perbankan hingga Rp 583,5 triliun, melalui pembelian SBN dari pasar sekunder, penyediaan likuiditas perbankan melalui transaksi term-repo SBN, swap valas, serta penurunan GWM Rupiah. Ke depan, BI akan memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan guna mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional, khususnya restrukturisasi kredit perbankan.

Penulis : Ardhienus

Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×