kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Opsi penyelesaian perpajakan hulu migas


Rabu, 24 April 2019 / 11:55 WIB
Opsi penyelesaian perpajakan hulu migas


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Ketidakpastian fiskal, terutama terkait masalah perpajakan, menjadi salah satu faktor utama yang membuat iklim investasi hulu migas di Indonesia kurang kondusif. Terutama sejak berlakunya Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi No. 22 Tahun 2001 (UU Migas 22/2001), prinsip perpajakan dalam sistem kontrak kerja sama mendasarkan pada sistem Production Sharing Contract (PSC), menjadi tidak sinkron dengan aturan perpajakan yang berlaku. Pemberlakuan UU Migas menyebabkan aturan perpajakan migas tidak lagi bersifat lex specialis.

Prinsip assume and discharge yang mestinya diberlakukan dalam hal perpajakan, tidak dapat lagi diterapkan secara utuh di dalam kontrak kerja sama yang digunakan. Pasal 31 UU Migas No.22/2001 menyebutkan bahwa perlakuan perpajakan di sektor hulu migas disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

Assume and discharge secara prinsip adalah di dalam kontrak kerja sama hulu migas yang disepakati bersama. Selain pajak langsung berupa pajak penghasilan (PPh) dan pajak atas bunga dividen dan royalti (PBDR), kontraktor hulu migas di Indonesia dibebaskan dari kewajiban untuk membayar pajak-pajak dan pungutan lain yang bersifat tidak langsung (indirect taxes). Secara sederhana, pada prinsip assume and discharge maka migas bagian kontraktor sudah bersih dan tidak perlu lagi membayar pajak, terutama pajak tidak langsung, sementara migas bagian negara sudah termasuk komponen pajak.

Diantara indirect taxes yang dibebaskan sehingga migas bagian kontraktor benar-benar menjadi nett adalah pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan, bea masuk impor, iuran dan atau retribusi daerah maupun pungutan lainnya.

Di dalam UU lama yang mengatur pengelolaan migas yakni UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina, esensi dari prinsip assume and discharge dinyatakan secara jelas di dalam Pasal 14 dan Pasal 15. UU itu menyebut, status kontraktor hulu migas adalah sebagai kontraktor dari Pertamina. Selain PPh dan PBDR, kontraktor bukanlah merupakan subjek pajak secara langsung. Dalam hal ini, Pertamina, sebagai wakil dari negara lah yang merupakan subjek pajak secara lansung, dan bukan kontraktornya. Di dalam Pasal 14 dan 15 UU 8/1971 disebutkan pengenaan dan pengurusan atas pajak-pajak dan pungutan tidak langsung tersebut menjadi domain dari Pertamina sebagai wakil dari negara.

Pada titik inilah, pemberlakuan UU Migas 22/2001 menghilangkan esensi prinsip assume and discharge. Menjadi subjek secara langsung, kontraktor bukan hanya dikenakan atau harus membayar terlebih dahulu atas pajak dan pungutan tidak langsung itu saja, tetapi juga harus mengurus sendiri atas segala hal terkait birokrasi dan administrasi.

Upaya pemerintah

Pemerintah bukannya tidak berupaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pemerintah tercatat memberikan sejumlah fasilitas perpajakan untuk sektor hulu migas. Beberapa diantaranya:

(1) PP No. 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan. Melalui PP ini kontraktor dibebaskan dari pemungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang yang digunakan dalam operasi perminyakan pada kegiatan eksplorasi dan kegiatan eksploitasi, (Pasal 25 Poin 10). Kontraktor juga mendapatkan pengecualian pengenaan pajak penghasilan dari pengalihan participating Interest tertentu (Pasal 26 ayat 3).

(2) PP No. 27 Tahun 2017 tentang Perubahan PP No. 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan. Melalui PP No.27/2017, pemerintah tercatat menambahkan lagi sejumlah fasilitas perpajakan. Beberapa diantaranya adalah pemberian imbalan DMO holiday oleh Menteri ESDM setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan (Pasal 10), pembebasan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang digunakan pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, dan diberikannya pengurangan PBB pada masa eksploitasi.

Pasca memberlakukan kontrak PSC Gross Split, juga terbit Peraturan Pemerintah (PP) No. 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Beberapa fasilitas perpajakan tambahan yang diberikan diantaranya biaya operasi kontraktor dapat diperhitungkan sebagai unsur pengurang penghasilan dalam penghitungan penghasilan kena pajak (Pasal 6) dan pemberian insentif tax loss carry forward atau penangguhan pajak penghasilan (PPh) selama 10 tahun (Pasal 18 Ayat 2).

Berbagai fasilitas perpajakan yang telah diberikan pemerintah di atas secara prinsip memang terlihat cukup identik dengan prinsip assume and discharge.

Namun, karena kontraktor adalah subjek pajak langsung, berbagai aturan di atas tidak mampu menjangkaunya. Implementasinya, kontraktor tetap saja harus berhadapan sendiri secara langsung dengan segala kompleksitas dan birokrasi yang ada.

Apalagi, PP tersebut masih memerlukan aturan pelaksana teknis lebih lanjut. Dalam beberapa aspek, pemberian fasilitas perpajakan juga masih harus menunggu penilaian dan keputusan menteri.

Berdasarkan uraian di atas, penyelesaian atas masalah ketidakpastian dalam hal perpajakan hulu migas, pada dasarnya merupakan suatu pilihan. Jika kita ingin menyelesaikannya secara fundamental, dengan bentuk kontrak kerja sama yang ada, penyelesaian masalah ketidakpastian perpajakan hanya dapat dilakukan melalui revisi UU Migas, yaitu dengan memasukkan kembali prinsip assume and discharge pada UU Migas yang baru. Penyelesaian secara fundamental, akan memberikan kepastian fiskal yang lebih baik.

Jika kita lebih memilih menyelesaikannya secara praktikal, kadar ketidakpastian fiskal mungkin dapat dikurangi dengan lebih segera menerbitkan aturan pelaksana dari PP No.27/2017, dan dengan melakukan revisi dan penyederhaan birokrasi terhadap pemberian fasilitas perpajakan dan pemberian tax holiday. Secara prinsip pemberian fasilitas perpajakan tersebut cukup identik dengan prinsip assume and discharge dalam hal membebaskan kewajiban perpajakan.

Namun dalam hal posisi kontraktor tetap sebagai subjek pajak atas pajak dan pungutan tidak langsung, hal itu tetap tidak dapat terselesaikan. Pada titik ini penyelesaian secara praktikal tidak mampu menjangkaunya.

Dalam konteks ini, otoritas perpajakan juga tidak dapat memberlakukan ketentuan perpajakan pada suatu sektor secara khusus (lex specialis), dalam hal ini assume and discharge (hanya melalui PP), karena hal tersebut akan bertentangan dengan ketentuan perpajakan lainnya yang lebih tinggi (Undang-Undang Perpajakan) yang secara umum menganut prinsip equal treatment terhadap semua sektor.

Setiap pilihan memiliki kelebihan, kekurangan, konsekuensi dan implikasi sendiri. Pemerintah dan kalangan pelaku industri hulu migas harus memahami kelebihan dan kekurangannya.♦

Pri Agung Rakhmanto
Pengajar FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×