kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Optimalkan penggunaan tepung lokal


Senin, 11 Februari 2019 / 16:16 WIB
Optimalkan penggunaan tepung lokal


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Indonesia tercatat sebagai salah satu negara pengimpor gandum terbesar di dunia. Sepanjang tahun 2017 - 2018 volume impor bertengger pada angka 12,5 juta ton dan konsumsi tepung nonlokal ini meningkat dari 10,1 kilogram (kg)/kapita/tahun di tahun 2013 menjadi 14,1 kg/kapita/tahun tahun 2017 (Susenas BPS, 2017).

Meningkatnya konsumsi gandum menunjukkan kegagalan kebijakan diversifikasi konsumsi pangan. Padahal, dari aspek kebijakan, telah ada Peraturan Presiden (Perpres) No 22 Tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Berbasis Sumber Daya Lokal. Pasal 41 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga telah mengamanatkan tentang penganekaragaman pangan.

Namun konsumsi masyarakat cenderung seragam dengan proporsi gandum dalam sembilan kelompok bahan pangan pokok terus meningkat dan sekarang sudah melewati ambang kritis. Ketergantungan pada konsumsi produk olahan gandum mengancam kedaulatan nasional bidang pangan pangan di tengah melimpahnya pangan non-beras berbasis sumber pangan lokal.

Kebijakan penganekaragaman pangan belum dibarengi dengan penganggaran dan terkesan hanya sekadar wacana besar. Keberagaman pangan lokal semakin terpinggirkan karena pemerintah lebih memprioritaskan padi, jagung, dan kedelai. Kita memiliki 77 sumber karbohidrat lokal, di antaranya jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, garut, sukun, dan pisang. Berbagai pangan lokal ini mengandung karbohidrat tinggi dan potensial jadi pengganti tepung beras dan terigu. Namun belum diposisikan sebagai pilar kedaulatan pangan ke depan.

Optimalisasi penggunaan tepung lokal untuk substitusi terigu patut dijadikan topik penting dalam debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengusung tema Pangan 17 Februari 2019.

Pemimpin bangsa dalam lima tahun ke depan harus paham beragam potensi pangan lokal untuk dioptimalkan pemanfaatannya sebagai kekuatan kedaulatan pangan. Meski kabinet kerja pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sudah bekerja keras sekitar empat tahun terakhir, di tengah kebutuhan pangan dalam negeri yang meningkat, Indonesia belum sepenuhnya dapat berdaulat di bidang pangan.

Sementara lahan pertanian pangan yang selama ini diandalkan untuk memenuhi kebutuhan beras luasnya makin menyusut. Pertanyaannya bagaimana grand disain kedaulatan pangan pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019?

Pertanyaan ini semakin menarik didiskusikan terkait dengan kebijakan politik pangan Presiden terpilih 2019 untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Selama sepuluh tahun belakangan ini politik pangan untuk membawa bangsa agraris ini berdaulat atas pangan dibalut awan gelap.

Pasar domestik dibanjiri pangan impor karena kebijakan pengelolaan pangan yang kian liberal dan kapitalistik. Ditambah dengan ketidakpahaman pemerintah provinsi, kabupaten dan kota tentang kebijakan kedaulatan pangan sehingga tiap tahun lahan pertanian pangan di Indonesia mengalami konversi seluas 100.000 hektare (ha). Kondisi ini diperburuk dengan reforma agraria yang semakin abu-abu dan pola konsumsi pangan masyarakat yang kian berpusat ke beras dan terigu.

Masyarakat Indonesia termasuk pemakan nasi terbanyak di dunia. Rata-rata penduduk Indonesia mengonsumsi beras kurang lebih 130 kg per tahun. Indonesia semakin lambat dalam kegiatan diversifikasi pangan karena pemerintah mengeluarkan kebijakan rastra (beras untuk orang miskin), yang dapat dibeli dengan harga murah. Hal itu semakin memudahkan masyarakat untuk mengakses beras dan sekaligus membonsai penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal.

Pertumbuhan penduduk yang masih tinggi dan tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan berbasis wilayah atau sumber daya lokal akan mendorong harga kebutuhan dasar ini makin mahal. Kenaikan harga komoditas pangan, menurut Dana Moneter Internasional (IMF), dipicu dua faktor utama, yang sifatnya permanen maupun temporer, yakni pesatnya alih fungsi lahan dan lambatnya penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal.

Program berkelanjutan

Untuk itu, ada dua program berkelanjutan kedaulatan pangan pasca Pilpres 2019 yang mendesak untuk dilakukan. Pertama, upaya realisasi penyediaan lahan abadi pertanian. Pemerintah harus segera menyiapkan dan menambah luas lahan pertanian sehingga bisa mendukung pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat.

Lahan pertanian pangan harus tersedia di seluruh wilayah untuk meningkatkan produksi pangan, terutama beras, jagung, gula, kedelai, sagu, sorgum, umbi-umbian, dan pangan lokal lainnya. Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan pangan hewani, selain perluasan berbagai padang savana yang ada, bisa juga memanfaatkan perkebunan negara yang cukup luas di seluruh tanah air untuk pemeliharaan ternak sapi, kerbau, kambing dan jenis hewan lainnya di sela-sela tanaman pokok kebun karet, sawit, jati atau tanaman keras lainnya yang bisa dikolaborasi.

Kedua, percepatan penganekaragaman konsumsi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada salah satu jenis bahan pangan. Meskipun program ini sudah lama berjalan, keberhasilannya masih lambat. Penurunan konsumsi beras sebanyak 1,5% per tahun telah berhasil, namun diduga karena konsumen beralih ke pangan berbahan baku terigu, seperti mi instan dan roti.

Mesin percepatan penganekaragaman konsumsi pangan harus terus dihidupkan. Program sederhana "one day no rice" harus dikampanyekan lebih konkret di lapangan dengan mengajak khalayak. Publik perlu diingatkan makan pagi, siang, atau malam tak selalu harus dengan nasi, mi atau roti dari terigu. Gerakan ini harus dirancang lebih persuasif sehingga masyarakat mau diajak terlibat untuk mengatrol tingkat konsumsi berbagai jenis pangan lokal.

Selain itu, penguasaan teknologi dan inovasi pengolahan pangan lokal non-beras harus terus digalakkan guna meningkatkan ketersedian berbagai jenis tepung lokal. Pelaku usaha tepung lokal berbahan sorgum, garut, sagu, jagung, mocaf berbahan singkong, hingga sukun saat ini mulai berkembang.

Namun, kebanyakan usaha ini dilakukan industri skala kecil dengan pasokan dan kualitas yang belum stabil, sehingga kalah bersaing dengan terigu. Padahal dari sisi gizi, tepung lokal ini mengandung serat tinggi, beta karoten tinggi yang berguna sebagai antioksidan, bebas gluten, dan indeks glikemik yang rendah sehingga cocok untuk penderita diabetes.

Ke depan, produk tepung lokal harus bisa bersanding dengan produk tepung berbasis terigu atau beras. Gerbong pendorong penganekaragaman konsumsi pangan non-beras berbasis sumberdaya lokal akan bergerak lebih cepat jika pemerintah mampu mengatrol citra pangan lokal ini. Dengan bauran minimal 20 persen (B20) tepung lokal pada produk olahan mie dan roti misalnya dan dirangkai dengan promosi yang gencar di media massa.•

Posman Sibuea
Guru Besar Unika Santo Thomas Medan, Sumatra Utara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×