Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Mimpi menuju era transaksi digital di tubuh birokrasi kini semakin dekat. Pemerintah secara resmi telah membentuk Satuan Tugas Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (Satgas P2DD). Langkah ini termaktub dalam Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 2021 pada awal Maret 2021. Optimisme untuk mewujudkan visi Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah (ETPD) patut disematkan pasca terbitnya aturan ini.
Beleid tersebut menunjuk Menko Perekonomian sebagai Ketua Satgas dan beranggotakan Gubernur Bank Indonesia dan enam menteri lainnya. Dalam rangka penguatan koordinasi pusat dan daerah, regulasi ini juga mengamanatkan agar seluruh provinsi dan kabupaten/kota segera membentuk Tim P2DD yang dipimpin Kepala Daerah.
Per definisi, ETPD adalah upaya mengubah transaksi pendapatan dan belanja Pemerintah Daerah (Pemda) dari cara tunai menjadi nontunai berbasis digital. Hasil pemetaan Bank Indonesia menunjukkan 467 Pemda telah menerapkan elektronifikasi pada sebagian transaksi belanja dan pendapatan daerah. Sementara di sisi pos penerimaan daerah, baru 48,8% pajak daerah dan 17,8% retribusi sudah terkoneksi dengan sistem elektronifikasi.
Topik ETPD sejatinya telah menjadi diskursus hangat dalam dua tahun terakhir. Hal ini tentu sangatlah beralasan mengingat ETPD merupakan salah satu strategi pemerintah untuk mencapai target tingkat inklusi keuangan sebesar 90% di tahun 2024. Harus diakui kebijakan pembayaran nontunai terbukti efektif dalam mendongkrak inklusi keuangan.
Pengalaman penyaluran bantuan sosial nontunai untuk Program Keluarga Harapan (PKH) seakan mengkonfirmasi kesimpulan ini. Untuk memperoleh bantuan pemerintah, masyarakat prasejahtera yang sebelumnya tidak memiliki rekening dipaksa membuka diri terhadap layanan jasa perbankan. Alhasil, inklusi keuangan tahun 2019 mencapai 76,19% yang melebihi target sebesar 75%.
Penerbitan Kepres ini juga seolah menjadi titik kulminasi berbagai upaya yang telah dilakukan regulator. Secara historis, cikal bakal ketentuan ini sudah dimulai sejak Bank Indonesia mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai pada Agustus 2014. Bak gayung bersambut, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Surat Edaran yang mewajibkan seluruh penerimaan dan pengeluaran Pemda ditransaksikan secara non tunai paling lambat 1 Januari 2018.
Momentum penerbitan Kepres ini terbilang sudah tepat. Pandemi Covid-19 telah mengubah perilaku masyarakat beralih ke tren ekonomi nirsentuh (contactless economy). Semua transaksi perdagangan, layanan publik dan jasa keuangan didorong untuk dilakukan tanpa tatap muka. Tak pelak pamor pembayaran secara nontunai semakin melejit, tak terkecuali untuk transaksi yang berkaitan dengan pendapatan dan belanja daerah.
Berangkat dari latar belakang di atas, terdapat dua pekerjaan rumah Pemda dalam jangka pendek. Pertama, pembentukan Tim P2DD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota paling lambat satu tahun sejak Kepres ditetapkan. Kedua, penerbitan payung hukum elektronifikasi transaksi belanja dan pendapatan daerah. Bank Indonesia mencatat terdapat 45% atau 210 Pemda dari 467 Pemda yang belum memiliki regulasi tersebut.
Lebih Inovatif
Sebagai otoritas sistem pembayaran, Bank Indonesia terus mendorong implementasi ETPD yang lebih inovatif. Salah satunya ialah perluasan saluran pembayaran pajak dan retribusi daerah lewat pemain perdagangan elektronik (e-commerce). Prinsipnya, semakin banyak pemain yang tergabung, semakin cepat pula akseptasi masyarakat terhadap program ETPD.
Apalagi aplikasi e-commerce kini lebih digrandungi mayoritas masyarakat ketimbang situs internet banking. Dengan pola kebiasaan demikian, sinergitas Pemda dengan pemain e-commerce menjadi tidak terelakkan. Sejumlah Pemda Kota/Kabupaten di Riau dan Jawa Barat dikabarkan telah menggandeng Bukalapak dan Tokopedia sebagai mitra pembayaran ETPD.
Upaya inovatif yang juga perlu didorong ialah penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) sebagai instrumen pembayaran pajak dan retribusi. Kehadiran QRIS diyakini akan memudahkan masyarakat dalam membayar pajak/retribusi daerah. Beberapa Pemda telah mengadopsi alat pembayaran kekinian tersebut, diantaranya Solo, Mamuju, Tangerang, dan Tarakan.
Dalam praktiknya, kemunculan standar pembayaran QR Code ini terus mendapat sambutan positif dari masyarakat. Volume transaksi menggunakan QRIS pada Desember 2020 sudah lebih dari 6 juta transaksi dengan nilai Rp 452 miliar. Angka ini jauh meningkat dibandingkan Januari 2020 yang baru mencapai 740.000 transaksi dengan nilai Rp 36 miliar.
Kabar baiknya ialah Bank Indonesia bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) berkomitmen untuk memperluas penggunaan QRIS tahun ini. Hingga akhir tahun 2021 ditargetkan jumlah pedagang (merchant) yang telah menggunakan standar baku bank sentral ini mencapai 12 juta merchant atau meningkat dua kali lipat dibandingkan posisi tahun lalu yang menyentuh sekitar 5,8 juta merchant. Dengan jumlah pengguna yang kian masif, niscaya program ETPD akan direspon baik oleh masyarakat.
Bank Indonesia dan ASPI juga akan terus mengembangkan berbagai fitur yang dibenamkan dalam QRIS. Misalnya, model pembayaran Customer Presented Mode (CPM) di mana konsumen menampilkan QR Code untuk kemudian dipindai (scan) oleh pedagang. Model ini akan menjadi solusi pembayaran bagi masyarakat yang tidak memiliki gawai cerdas. Dengan demikian, program ETPD dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Mempertimbangkan prospek adopsi QRIS ke depan, Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebagai mitra kerja utama Pemda tentu memiliki peran krusial dalam menyukseskan ETPD. Sayangnya belum semua BPD terhubung dengan QRIS. Dari 27 BPD yang ada, hanya sembilan dompet elektronik milik BPD yang sudah mendapat lampu hijau Bank Indonesia.
Solusinya, BPD dapat menjalin kerja sama co-branding dengan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lain yang sebelumnya sudah mengantongi ijin penggunaan QRIS. Skema ini lazim dilakukan, baik antar sesama pelaku perbankan, maupun perbankan dengan pemain teknologi finansial. Sebagai contoh, kolaborasi BPD Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara dengan Speedcash lewat aplikasi PayKaltimtara.
Dalam konteks lebih luas, eksistensi QRIS di program ETPD seyogianya tak dipandang hanya sebatas mengikuti tren. Transaksi nontunai lewat QRIS sudah menjadi kebutuhan. Aktivitas pembayaran jadi lebih mudah dan murah tanpa harus melalaikan instruksi menjaga jarak di tengah pandemi Covid-19. Dan tentu saja, sasaran akhirnya ialah akselerasi peningkatkan inklusi keuangan nasional dalam jangka panjang.
Penulis : Remon Samora
Analis Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali
*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili lembaga tempat bekerja
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News