Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Sistem perizinan yang rumit, lama, dan tak transparan telah menjadi benalu dalam pembangunan di Indonesia. Sejak lama, investor baik domestik maupun asing mengeluhkan buruknya sistem pelayanan perizinan di Indonesia.
Tak ayal, daya saing investasi Indonesia jauh di bawah negara di kawasan ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam bahkan Vietnam. Faktanya, berdasarkan peringkat ease of doing business (EoDB) yang baru-baru ini dirilis oleh Bank Dunia, Indonesia berada pada peringkat ke-73 dari 190 negara yang dinilai.
Peringkat itu di bawah Singapura yang menempati urutan kedua, Malaysia (15), Thailand (27), Brunei Darussalam (55), dan Vietnam (69). Kita hanya unggul dari Filipina (124), Kamboja (138), Laos (154), dan Myanmar (171).
Salah satu indikator kunci di dalam EoDB adalah perizinan. Kerumitan dalam sistem perizinan menyebabkan indikator kemudahan memulai usaha (starting a business) di Indonesia masih jauh dari harapan. Peringkat Indonesia berada pada urutan ke 134 dengan skor 81,22. Jauh di bawah Vietnam yang berada di peringkat ke 104 dengan skor 84,82.
Hal yang sama juga terjadi pada indikator permasalahan izin pembangunan (dealing with construction permits). Di aspek tersebut, peringkat Indonesia berada di urutan ke 112 dengan skor 66,57. Sedangkan Vietnam berada di peringkat ke 21 dengan skor 79,05. Dari dua indikator ini telah menjelaskan ada masalah substansi dalam sistem perizinan di Indonesia.
Upaya pemerintah untuk perbaikan kemudahan perizinan sebenarnya sudah mulai dilakukan sejak adanya sistem pelayanan terpadu satu pintu (PTSP). Terobosannya adalah memperpendek proses perizinan dengan mengintegrasikan sistem pelayanan. Sehingga, publik bisa mendapatkan pelayanan hanya dengan mendatangi satu kantor pelayanan yang disediakan oleh pemerintah.
Meskipun sistem ini sudah berjalan hampir satu dekade, baik di level pusat maupun daerah, proses layanan masih rumit, lama, dan kurang transparan. Malahan, di beberapa jenis perizinan masih terlaksana secara manual, seperti izin teknis yang bersifat sektoral.
Parahnya sistem perizinan itu juga rawan dengan praktik suap. Kewenangan perizinan yang diberikan kepada pejabat yang berwenang digunakan sebagai bargaining position untuk mendapatkan imbalan (kick back).
Kasus korupsi di perizinan ini cukup besar. Sejak 2004 sampai saat ini saja, KPK sudah menangani 22 kasus korupsi terkait perizinan. Mulai dari kasus perizinan sumber daya alam, seperti izin perkebunan sawit, sampai kasus perizinan tata ruang, seperti kasus Meikarta.
Perizinan bebas korupsi
Kewenangan yang besar dalam perizinan terutama pada kepala daerah berkelindan dengan tidak transparannya informasi perizinan menjadi ruang gelap bermainnya praktik korupsi. Meski PTSP sudah ada dengan perangkat online-nya, namun untuk mengurus izin lokasi saja, publik tidak mendapatkan informasi yang detail terkait fungsi tata ruang.
Ketiadaan informasi ini dijadikan ruang oleh oknum untuk menawarkan jasa dengan imbalan uang. Seperti kasus suap izin lokasi perkebunan sawit yang diterbitkan oleh mantan Bupati Kutai Kartanegara.
Alih-alih mau menarik investasi skala besar dari luar negeri, investor lokal saja jadi enggan untuk berinvestasi. Inilah biang kerok dari rendahnya portofolio investasi langsung di Indonesia. Karena itu, pada 2018, pemerintah secara intensif melakukan reformasi sistem pelayanan perizinan.
Reformasi itu dimulai dengan memperkuat payung hukum lewat penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik. Sistem ini dikenal dengan Online Single Submission (OSS).
Sistem itu tak hanya sekedar memangkas kerumitan dan kelambatan sistem layanan perizinan, namun juga berfungsi untuk menghilangkan praktik korupsi dalam perizinan. Melalui sistem online dengan perangkat transparansi dan akuntabilitas yang dikelola dalam satu sistem akan mempersempit ruang terjadi praktik suap-menyuap dalam proses permohonan perizinan.
Misalnya, pengurusan izin lokasi, investor cukup masuk ke sistem OSS, bisa langsung terhubung ke data rencana detail tata ruang (RDTR). Sehingga, investor bisa cepat memilih lokasi yang tepat dengan jenis usahanya, sesuai RDTR. Setelah mendapatkan kesesuaian lokasi, investor bisa langsung mengajukan izin lokasi secara online. Sistem ini langsung memangkas banyak hal, yang selama ini menyebabkan lambatnya proses penerbitan izin lokasi dan menutup celah terjadi korupsi.
Meskipun demikian, jalan menuju ke sana masih panjang. Salah satunya adalah mempersiapkan prakondisi dan mengintegrasikan semua data dan informasi perizinan dalam OSS.
Soal tata ruang misalnya, saat ini, masih banyak daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota yang belum memiliki rencana tata ruang wilayah (RTRW). Meskipun ada RTRW, banyak yang belum punya RDTR. Padahal, RTRW dan RDTR merupakan data penting dalam prosedur penerbitan izin dalam OSS.
Begitu juga perizinan sektoral yang sangat teknis, seperti izin lingkungan dan izin perkebunan sawit. Proses itu masih membutuhkan prosedur yang panjang dan sangat teknis dalam proses penerbitan izin. Tanpa memperbaiki alur proses perizinan yang diatur peraturan perizinan sektoral maka fungsi OSS sebagai percepatan proses perizinan, transparansi, dan akuntabilitas akan sulit untuk dicapai.
Pada kondisi itu, kita haruslah paham, OSS hanya instrumen dalam sistem perizinan. Instrumen itu akan efektif jikalau perangkatnya dibangun dengan baik, seperti semua prakondisi yang terkait dalam proses perizinan harus termaktub ke dalam sistem OSS, seperti RTRW, RDTR, kebijakan satu peta, perpajakan, kependudukan, dan sebagainya.
Pertanyaan pentingnya: apakah dengan OSS yang sudah mengintegrasikan semua itu dapat menghilangkan praktik korupsi dalam perizinan? Tentu itu masih perlu pembuktian. Namun, keberadaan OSS menjadikan proses pelayanan perizinan bisa lebih cepat, transparan, dan akuntabel.
Melenyapkan korupsi di dalam perizinan butuh mekanisme yang sistematis dan terintegrasi. Apalagi, di dalam sistem politik yang cenderung korup, korupsi bersenyawa dalam sistem demokrasi dan birokrasi pemerintahan.
Perizinan adalah ladang basah bagi mereka untuk mencari keuntungan. Sehingga, membangun sistem demokrasi dan birokrasi bebas korupsi itulah cara paling efektif mengatasi korupsi di perizinan yang dikombinasikan dengan sistem OSS.
Pada akhirnya, Indonesia sedang berpacu dalam persaingan pembangunan dengan negara lain, terutama di ASEAN. Pemenang dalam persaingan ini salah satunya ditentukan oleh daya saing investasi. Sistem perizinan yang profesional, transparan, akuntabel, dan bebas korupsi merupakan salah satu pilarnya.•
Wiko Saputra
Peneliti Kebijakan Ekonomi Auriga Nusantara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News