kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Otak pembakar lahan


Senin, 30 September 2019 / 08:30 WIB
Otak pembakar lahan


Reporter: Ardian Taufik Gesuri | Editor: Tri Adi

Titik-titik air dari langit mulai jatuh ke bumi. Di Riau, hujan mengguyur dari dinihari hingga jelang siang, Rabu lalu. Pertanda kemarau panjang ini bakal terakhir.

Datangnya hujan bisa menyibak asap pekat akibat kebakaran hutan dan lahan. Tapi masih banyak kabut yang menghalangi pandangan lantaran titik panas alias hotspot terbilang begitu banyak membara. Mungkin tinggal hitungan hari, hujan lebat benar-benar tercurah seperti ramalan BMKG maka udara bisa kembali bersih. Langit jadi cerah.

Ya, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, musim hujanlah yang paling mumpuni untuk memadamkan bencana kebakaran. Upaya pengerahan puluhan ribu personel, bom air dari udara, hingga rekayasa hujan buatan belum mampu memadamkan kebakaran lahan yang tahun ini tercatat seluas 328.724 ha.

Bak tradisi, tiap tahun terus berulang: hutan, kebun, lahan terbakar begitu luas hingga ratusan ribu hektare. Masyarakat sudah megap-megap terkepung asap, banyak jatuh sakit, bahkan meninggal. Negeri jiran pun protes keras. Lalu ujung-ujungnya, musim hujan pula yang jadi penyelamat paling pamungkas.

Berulang pula soal penegakan hukum. Dari tahun ke tahun banyak sudah pelaku ditangkapi. Sederet perusahaan ditetapkan sebagai tersangka pembakar hutan. Pemerintah pun mengklaim telah menjatuhkan sanksi kepada mereka.

Tapi lagi-lagi setiap tahun terjadi aksi pembakaran. Mereka lolos dari sanksi yang serius. Dan mereka berani melakukan land clearing untuk membuka kebun dengan ongkos murah dan cepat di area lahan yang sama. Akibatnya, meruyaklah kebakaran yang susah dipadamkan karena berkobar di lahan gambut.

Pemerintah berkilah, mengklaim serius menegakkan hukum. Puluhan perusahaan sudah dijatuhi sanksi: perbaikan hingga pembekuan dan pencabutan izin. Puluhan tersangka masuk proses pidana. Pemerintah juga telah menggugat perdata, dan memenangkan ganti rugi senilai Rp 3,9 triliun berkekuatan hukum pasti. Tapi hingga kini baru sedikit sekali ganti rugi yang bisa ditagih.

Jelas para pembakar hutan dan lahan tidak jera. Mereka berani menjadi residivis kejahatan lingkungan, boleh jadi, lantaran mampu lolos dari jerat hukuman berat. Atau, karena yang dihukum hanyalah orang suruhan. Sang pemilik, yang menjadi otak dan bandar pembakaran, tetap tidak tersentuh.

Tahun ini polisi sudah menersangkakan belasan perusahaan pembakar lahan. Tapi beranikah menjerat pemilik, pelaku intelektualnya?♦

Ardian Taufik Gesuri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×