Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Oversupply kapasitas masih menjadi momok bagi industri semen di Indonesia. Tahun ini diperkirakan kapasitas pabrik semen yang aktif beroperasi sudah 108 juta ton. Padahal estimasi permintaan semen tahun 2018 hanya sekitar 68 juta ton.
Tahun ini utilisasi pabrik semen mencapai 62.7%, naik dari i 61,8% pada tahun 2017. Artinya, tahun ini saja perusahaan semen di Indonesia mempunyai idle capacity sebesar 40 juta ton. Bagi perusahaan, hal itu menjadi biaya kesempatan yang terbuang, kapasitas terpasang tak dapat digunakan optimal.
Besarnya kapasitas industri semen terutama karena banyaknya perusahaan semen global mencoba masuk ke pasar Indonesia yang masih terlihat menguntungkan. Perusahaan semen tersebut umumnya berasal dari Tiongkok seperti Conch Semen, Juishin, Pan Asia, Hao Han dan Sun Fook Semen. Perusahaan lain seperti Siam Cement berasal dari Thailand. Total kapasitas produksi pemain baru di industri semen sudah mencapai 23 juta atau 21% dari total kapasitas.
Hanya dalam lima tahun, kapasitas industri semen Indonesia meningkat dua kali lipat. Pemain terbesar tetap Semen Indonesia, Indocement dan Lafarge Holcim Indonesia dengan total kapasitas sebesar 75 juta ton. Namun para pemain utama ini merasakan dampak signifikan, pangsa pasar tergerus.
Salah satu pemain baru yang mencuri perhatian adalah Conch Semen. Perusahaan semen dari Tiongkok ini membangun pabrik di Indonesia dan melesat menduduki peringkat keempat dari sisi kapasitas di pasar semen Indonesia dengan kapasitas sebesar 8 juta ton. Yang menarik, strategi Conch membangun pabrik di wilayah Papua, Sulawesi dan Kalimantan. Mereka mencoba mengambil celah pasar di timur Indonesia yang sebelumnya masih mengambil semen dari Jawa.
Langkah berani Conch semen ini menjadi lirikan para pemain besar membangun pabrik mereka di wilayah-wilayah timur Indonesia. Tentu yang harus di waspadai, apabila terus terjadi peningkatan kapasitas semen akan memperparah gap
antara kebutuhan dan ketersediaan.
Produsen semen baru yang akan kembali meramaikan industri semen dan tentu menambah kapasitas adalah Semen Grobogan yang sedang membangun pabrik di Jawa Tengah. Sementara Conch akan kembali melebarkan sayap, dengan pembangunan pabrik di Sulawesi Utara dan Semen Garuda kembali membangun pabrik tambahan. Pemain lama yang juga akan menambah kapasitas adalah Semen Indonesia dan Semen Baturaja. Total tambahan kapasitas berkisar antara 10 juta-12 juta ton lagi, yang akan rampung antara tahun 2020 sampai tahun 2021.
Lalu kapan semen tidak akan mengalami oversupply lagi? Kita asumsikan saja kalau pada tahun 2021 pembangunan pabrik baru akan rampung sehingga total kapasitas menjadi 120 juta ton. Apabila pertumbuhan sektor konstruksi sekitar 6%, maka kondisi oversupply akan berakhir pada tahun 2031. Kondisi tentu akan lebih cepat teratasi apabila pertumbuhan sektor konstruksi lebih tinggi sehingga mendorong pertumbuhan permintaan semen.
Para pelaku industri semen harus menyiasati kondisi oversupply ini. Salah satunya, dengan memperluas pasar ekspor ke mancanegara. Di pasar Asia beberapa negara yang menjadi kompetitor di pasar ekspor semen adalah Thailand, Tiongkok, Jepang dan Vietnam. Thailand bahkan eksportir terbesar dunia untuk semen. Khusus Indonesia pasar terbesar yang sudah digarap adalah Sri Lanka, Bangladesh, Australia, Filipina dan Timor Leste. Masing-masing ekspor tahun 2017 sebesar 666.000 ton, 644.000 ton, 509.000 ton, 282.000 ton dan 268.000 ton.
Tentu saja ekspor tidak dapat menyerap banyak oversupply kapasitas semen. Pemerintah harus mendorong kembali penjualan properti, salah satunya dengan relaksasi loan to value (LTV). Bank Indonesia sudah memberikan sinyal akan meningkatkan LTV sehingga masyarakat dapat membayar uang muka yang lebih rendah untuk pembelian rumah. Dengan kemudahan ini tentu saja diharapkan penjualan rumah dapat meningkat sehingga meningkatkan permintaan semen. Tanpa campur tangan pemerintah produsen semen terancam akan gulung tikar, terutama yang tidak memiliki pendanaan yang kuat.•
Romauli Panggabean
Analis Industri dan Regional,Office of Chief Economist Bank Mandiri
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News