Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Tri Adi
Bagi saya apa yang dikatakan Dirjen Pajak bahwa ada yang menerbitkan faktur pajak fiktif tidak salah. Tentu Direkorat Jenderal (Ditjen) Pajak pasti punya data. Harus diakui, di kasus sekarang ini, ada memang di bukti permulaan (bupkper) faktur fiktif. Tapi saya tidak bisa sebutkan nama-namanya.
Yang menjadi masalah menurut saya adalah tindakan extra effort atau law enforcement dari Ditjen Pajak yang berada di luar jalur. Sebab upaya itu justru dirasakan oleh mereka yang sudah ikut tax amnesty (TA), padahal pemerintah sudah mengatakan sebelumnya bawah upaya tersebut hanya dilakukan bagi yang tidak ikut TA saja.
Pada pertemuan pengurus Kadin dengan Presiden, kami mengimbau supaya wajib pajak yang telah diaudit tidak perlu diperiksa lagi. Saya mendengar dari sumber orang dalam bahwa sekarang sedang dibuatkan skema bagaimana ada pengertian untuk perusahaan yang sudah diaudit. Ini memang sesuatu yang perlu diatur.
Kelihatannya, ada aturan yang akan memberikan kemudahan bagi wajib pajak yang sudah diaudit. Tapi seperti apa aduitnya saya belum tahu. Apakah audit plus, dengan ada audit atas perpajakannya. Atau ditentukan akuntan mana saja yang dipilih untuk mengaudit, kami belum tahu.
Selain itu, enforcement Ditjen Pajak kepada wajip pajak peserta TA tidak berdasar. Artinya TA baru 31 Desember 2016. Ini baru setahun dan mencari buktinya apakah ada wajib pajak yang menyimpang itu sangat mudah. Tapi bila sudah ikut TA per 31 Desember 2015 ke bawah tidak perlu lagi diperiksa sepanjang mereka sudah membayar pengampunan. Bahkan meskipun terbukti ada faktur fiktif tapi sudah ikut TA itu sudah diampuni.
Bagi mereka yang tidak ikut TA dan fiskus mempunyai data, maka itu bisa menjadi bukper. Tapi bagi yang sudah ikut TA tidak berlaku kecuali ada data lain yang tercermin di harta bersih. Jadi siapa saja yang merasa dibukper, silahkan datang ke Kadin, kami bisa terima dan tidak akan disebutkan namanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News