Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Dejavu! Menteri Keuangan dengan penuh kekecewaan mengumumkan terjadinya kembali kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Publik pun teringat dengan kasus Gayus Tambunan yang sempat menghebohkan satu dekade lampau.
Dalam kasus gratifikasi, penyuapan, dan pencucian uang; Majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memutuskan bahwa Gayus terbukti melakukan perbuatan melanggar setidaknya dua undang-undang: UU Nomor 25 Tahun 2003 jo Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang serta UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pertanyaan yang timbul adalah mengapa kesalahan ini terulang lagi? Satu hal yang pasti adalah kekuasaan yang dimiliki oleh otoritas pajak cukup besar. Hal ini berlaku di berbagai negara yang mengandalkan penerimaan pajak, termasuk di Indonesia.
Kewajiban untuk melakukan pelaporan transaksi dan laporan keuangan memungkinkan otoritas pajak memiliki pengetahuan tentang wajib pajak. Selain itu, otoritas pajak juga memiliki kewenangan untuk menguji kebenaran pelaporan wajib pajak dengan melakukan pemeriksaan pajak berdasarkan ketentuan pasal 29 UU Nomor 6 Tahun 1983 jo Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan.
Selain itu, pasal 29 beleid tersebut juga mengatur bahwa "apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, wajib pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan ditiadakan untuk keperluan pemeriksaan". Dengan demikian, UU memberikan otoritas pajak untuk melakukan pemeriksaan pajak yang dilengkapi dengan segala atribut untuk melengkapi prosedur pemeriksaan.
Fungsi pemeriksaan pajak
Pemeriksaan pajak sudah berlangsung selama hampir empat dekade dan secara keseluruhan tidak ada perubahan mendasar tentang pendekatan pemeriksaan pajak. Terdapat kesamaan pelaksanaan audit pajak dengan audit laporan keuangan pada umumnya, yaitu bertujuan untuk menghasilkan tindakan korektif.
Akan tetapi, dalam perjalanannya terdapat perbedaan tujuan. Audit yang dilakukan oleh privat, bertujuan melihat kesesuaian pelaporan keuangan dengan standar yang berlaku. Sementara itu, audit pajak cenderung dijadikan sebagai alat untuk mencari tambahan penerimaan negara atau diistilahkan dengan extra efforts oleh otoritas pajak Indonesia.
Sistem administrasi perpajakan bersifat statis dengan pendekatan domisili, Wajib pajak terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tertentu.
Dalam praktiknya, terdapat kemungkinan wajib pajak (WP) tertentu akan terus menerus dilakukan audit pajak. Prosedur dalam undang-undang pajak pun mengatur bahwa WP yang mengajukan permohonan restitusi pajak harus melewati proses audit pajak. Sementara itu, di lain pihak terdapat KPP yang tidak berdaya dengan tidak seimbangnya perbandingan jumlah WP dengan auditor.
Audit pajak bukan lagi bersifat korektif, bahkan jika terdapat kesalahan pelaporan, WP langsung dihukum dengan berbagai bentuk sanksi administrasi. Kondisi yang tercipta antara otoritas pajak dengan WP menjadi tidak sehat dan kondusif.
Pelaksanaan audit pajak, yang masih berkutat pada "mengamankan" penerimaan negara, mengakibatkan otoritas pajak tidak sadar bahwa terdapat tugas lain yang lebih menimbulkan ancaman serius, misalnya membantu pengungkapan tindak pidana pencucian uang. Kejahatan ini digolongkan sebagai extraordinary crime dan mengarah menjadi kejahatan transnasional. Pemberantasannya tidak dapat dilakukan sendiri dan harus dilakukan dengan membuat kerja sama internasional.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) sudah membentuk standar internasional tentang bagaimana otoritas pajak bertindak terhadap isu pencucian uang. Poin utamanya adalah keterlibatan otoritas pajak dalam memberantas pencucian uang, terutama dengan peningkatan kesadaran auditor pajak tentang pencucian uang dan pendanaan teroris. Metode yang digunakan adalah mengikuti konsep follow the money. Tujuannya untuk menemukan indikator transaksi atau kegiatan yang tidak lazim atau mencurigakan dengan menggambarkan sifat dan konteks kegiatan pencucian uang dan pendanaan teroris.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang pajak terhadap otoritas pajak Indonesia seharusnya sudah cukup untuk melaksanakan hal ini. Hasil identifikasi, analisis dan pemetaan terhadap variasi potensi ancaman pencucian uang oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa selain menjadi salah satu negara tujuan favorit investasi asing.
Indonesia juga dianggap berpotensi cukup tinggi terhadap pencucian uang dan pendanaan terorisme. Basel Institute on Governance menempatkan Indonesia pada posisi ke 67 negara paling tinggi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme dari 125 negara.
UU Nomor 14 tahun 2008 tentang pengungkapan informasi publik menyebutkan bahwa PPATK mengirimkan data ke otoritas pajak. Terdapat kurang lebih, 539 kasus telah diterima oleh otoritas pajak dan sebanyak lima kasus telah diputuskan sebagai kejahatan pajak. Sebaliknya, terkait dengan investigasi kejahatan pencucian uang, setidaknya enam kasus sedang dilakukan oleh pemeriksa dan penyelidik.
Sedikitnya kasus yang diproses menunjukkan bahwa DJP belum dapat berkontribusi banyak dalam mengungkap kejahatan pencucian uang di Indonesia, apalagi jika kejahatan dilakukan secara transnasional. Tingkat pengetahuan dan kompetensi yang dimiliki aparat penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, membuat proses yang tepat dari aparat penegak hukum dalam menerapkan UU Pencucian Uang jauh dari optimal.
UU Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan penegasan bahwa pemerintah dan sektor swasta bukan merupakan bagian dari masalah, melainkan bagian dari penyelesaian masalah. Seharusnya, otoritas pajak Indonesia juga terlibat dalam penyelesaian masalah dan jangan merupakan bagian dari masalah seperti yang terjadi pada kasus Gayus Tambunan.
Penulis : Benny Gunawan Ardiansyah
Dosen Politeknik Keuangan STAN, Kementerian Keuangan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News