Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Untuk menggenjot penerimaan negara sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca, pemerintah berencana memungut pajak karbon. Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2022, pemerintah menyiapkan dua opsi pajak karbon.
Pertama, menggunakan instrumen yang sudah ada saat ini di tingkat pusat, seperti cukai, pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Atau, memakai instrumen di tingkat daerah, seperti pajak kendaraan bermotor (PKB) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
Kedua, dengan membuat instrumen baru: pajak karbon. Caranya, dengan merevisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Untuk objeknya, pemerintah berencana memungut pajak karbon atas emisi yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi ataupun sumber emisi. Objek potensial pajak karbon di Indonesia adalah bahan bakar fosil dan emisi yang berasal dari pabrik atau kendaraan bermotor.
Pemerintah memasang target sesuai Perjanjian Paris 2015, emisi bisa ditekan 29% dengan usaha sendiri pada 2030 mendatang. Angkanya naik menjadi 41% kalau mendapat bantuan internasional.
Sejak 2019, Indonesia berada di peringkat keempat penghasil CO2 terbesar di dunia. Karena itu, Organisasi Kerjasama Ekonomi Dunia (OECD) mendesak Pemerintah RI segera menerapkan pajak karbon, bahkan memasang tarif yang tinggi. Salah satu manfaat pajak karbon ialah mendorong transisi bahan bakar fosil ke energi terbarukan.
Dalam Rancangan UU KUP, pemerintah menetapkan tarif pajak karbon minimal Rp 75 per kilogram CO2. Sementara Bahana Sekuritas menghitung, jika pemerintah memasang tarif pajak karbon sebesar US$ 5-US$ 10 per ton CO2 yang mencakup 60% emisi energi, maka penerimaan negara bisa mencapai Rp 26 triliunRp 53 triliun per tahun.
Hanya, ada dampak negatif dari pengenaan pajak karbon dalam jangka pendek, yakni harga energi naik dan pada akhirnya menekan konsumsi rumahtangga. IMF memproyeksikan, jika Indonesia menerapkan pajak karbon US$ 75 per ton CO2, tarif listrik dan harga bensin melonjak 63% dan 32%.
Untuk itu, dalam menerapkan pajak karbon, harus ada kebijakan penyerta berupa penguatan daya beli masyarakat. Sehingga, bisa mengurangi resistensi dan dampak yang tidak diharapkan.
Penulis : S.S. Kurniawan
Redaktur Pelaksana
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News