Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Keberadaan vaksin Covid-19 diyakini menjadi angin segar untuk memulihkan ekonomi nasional. Namun, rencana monopoli pengadaan vaksin korona oleh pemerintah berpotensi mengerdilkan peran swasta. Akankah prinsip persaingan usaha yang sehat kembali dilanggar?
Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga Hartanto menyebut pihaknya telah mengamankan pengadaan vaksin korona bagi 135 juta warga Indonesia hingga 2021. Pernyataan itu ia sampaikan dalam siaran pers di Jakarta, Senin, 12 Oktober 2020.
Bak oase di padang pasir, kabar baik itu langsung disambut positif oleh investor dan pelaku pasar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 31,64 poin, atau terapresiasi hingga 0,62% ke level 5.124,81 pada keesokan harinya (13/10).
Kehadiran vaksin korona memang tengah dinantikan pelaku usaha. Pasalnya, upaya pembatasan sosial guna memutus mata rantai pagebluk itu telah menjatuhkan daya beli konsumen. Capaian konsumsi pada kuartal II-2020 melorot hingga 5,51%. Padahal, dengan andil 57,9%, peran konsumsi sangatlah besar dalam menopang tatanan ekonomi nasional.
Pemerintah sendiri telah menetapkan enam kelompok prioritas penerima vaksin korona. Mulai dari tenaga medis, tetua warga, tenaga pendidik, aparatur sipil negara, peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, hingga masyarakat umum. Secara kumulatif, ada 160 juta penduduk Indonesia yang bakal disuntik vaksin korona hingga 2022 mendatang.
Jika menggunakan kacamata bisnis, penetapan itu masih menyisakan tanda tanya. Pertama, apakah vaksin korona bebas biaya? Kedua, akankah pihak swasta bisa ikut serta menikmati manisnya kue bisnis vaksin korona?
Yang jelas, pemerintah telah mengatur skema pengadaan vaksin korona melalui Perpres No.99/2020. Dalam beleid itu, pengadaan vaksin dilakukan oleh tiga pihak: Bio Farma, badan usaha penyedia, dan/atau lembaga internasional.
Peluang swasta
Menilik fakta di atas, tampaknya peta jalan vaksin nasional akan didominasi peran pemerintah. Buktinya, Kementerian Keuangan telah mengalokasikan dana Rp 18 triliun, atau setara dengan 11% total anggaran kesehatan pada APBN 2021, untuk belanja pengadaan vaksin Covid-19.
Namun, niat pemerintah menjadi pahlawan tunggal tampaknya perlu dikalibrasi ulang lantaran angka penerimaan negara turun tajam selama pandemi. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan melansir realisasi penerimaan pajak hingga Juli 2020 hanya mencapai Rp 711 triliun, atau minus 14,7% dalam setahun.
Lemahnya daya gedor fiskal membuka peluang bagi swasta untuk terlibat aktif dalam pengadaan vaksin korona. Pertanda ini sudah terbukti dari banyaknya rumah sakit swasta penyedia layanan uji usap (swab test) Covid-19 secara mandiri, yang harganya baru saja dipatok pemerintah di angka Rp 900.000 per sekali uji.
Jangan lupa, vaksin korona adalah barang langka. Produksi dan distribusinya sangat rentan dimonopoli. Pertanyaannya, apakah pemerintah bisa menjamin pengadaan vaksin korona akan terbebas dari praktik persaingan usaha tidak sehat?
Jika berkaca pada data historis, maka jawabannya belum tentu. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) mencatat ada dua potensi pelanggaran persaingan usaha yang terjadi selama pandemi korona. Uniknya, keduanya dilakukan oleh pemerintah.
Pertama, dugaan mafia alat kesehatan (alkes). Pada 23 April 2020, KPPU menyurati Kementerian BUMN atas dugaan praktik monopoli pengadaan alkes di lingkaran pemerintah. Menteri BUMN Erick Thohir sendiri mengamini bahwa sekitar 90% bahan baku obat-obatan kita berasal dari luar negeri lantaran keberadaan mafia impor yang membuat BUMN kita terlena dan malas berproduksi.
Kedua, program kartu prakerja. Penunjukan rekanan yang terkesan pilih kasih dan sistem pengadaan yang jauh dari kata transparan menjadi dua isu yang disoroti KPPU. Menjelang vaksin korona diproduksi, bukan tidak mungkin kedua praktik nakal itu bakal terulang kembali.
Antitrust Immunity
Agar pengadaan dan distribusi vaksin korona tidak melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka pemerintah dan KPPU perlu menerbitkan beleid antitrust immunity.
Antitrust immunity adalah pengecualian larangan praktik monopoli bagi pelaku usaha dengan kriteria tertentu. Pada umumnya, antitrust immunity dibuat untuk mengatasi isu nasional yang bersifat darurat atau mempercepat produksi barang dan/atau jasa yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Langkah ini telah ditempuh Amerika Serikat (AS) untuk mengatasi pandemi. Alih-alih membatasi, pemerintah AS justru melegalkan praktik monopoli bagi sekelompok korporasi yang ingin memproduksi vaksin korona. Dampaknya, empat perusahaan vaksin AS kini telah memasuki uji coba klinis tahap ketiga.
Mengingat kondisi kedaruratan telah terpenuhi, maka antitrust immunity bisa menjadi insentif bagi korporasi lokal untuk saling berkolaborasi demi membangun industri vaksin Merah Putih. Bukan bergantung pada BUMN yang selama ini kerap didikte importir.
Meski demikian, kebijakan antitrust immunity perlu dipagari oleh tiga hal agar praktiknya tidak merugikan masyarakat. Pertama, para pelaku usaha yang diberikan pengecualian larangan praktik monopoli harus diawasi secara ketat oleh KPPU.
Kedua, korporasi yang terlibat dalam industri vaksin Merah Putih harus terdiri dari BUMN, swasta, dan akademisi. Supaya prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat tetap terjaga dan harga vaksin korona terjangkau oleh seluruh masyarakat.
Terakhir, antitrust immunity hanya bersifat sementara. Ketika vaksin korona tidak lagi menjadi barang langka, aturan ini mesti dicabut. Dengan ketiga pagar tadi, cita-cita menciptakan industri vaksin nasional bukan lagi sekadar harapan. Upaya pemulihan ekonomi nasional pun bisa berjalan secara optimal.
Penulis : Adhi Nugroho
Analis di Bank Indonesia Sumatra Barat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News