kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Para ahli di negeri ini


Selasa, 06 November 2018 / 09:39 WIB
Para ahli di negeri ini


Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Tri Adi

Lima tahun lalu, waktu Lion Air giat-giatnya membuat kontrak untuk memborong pesawat dari Boeing dan Airbus, saya sempat berkesempatan bertanya kepada pemilik Lion Air. Bagaimana rencana maskapai ini mengoperasikan begitu banyak pesawat. Menangkap kebutuhan konsumen transportasi udara tak bisa hanya dengan menambah jumlah pesawat. Akan ada banyak kebutuhan pilot, teknisi untuk pemeliharaan, dan tentu saja bengkel pemeliharaan yang andal.

Waktu itu, saya sempat melihat Lion Air seperti para turis Indonesia yang gemar sekali berbelanja. Tanpa terlalu memperhitungkan berbagai risiko atas keputusannya. Bayangkan saja, Grup Lion Air menandatangani kontrak beli ratusan pesawat dari 2 pabrik terbesar dunia dalam waktu kurang dari 2 tahun.

Tapi kekhawatiran saya ditepis, sang pemilik dan manajemen Lion Air Group yang menerangkan berbagai strategi mereka mengatasi masalah "teknis". Mulai dari program beasiswa sekolah pilot, membangun bengkel perawatan pesawat, dan pelatihan langsung dari Airbus dan Boeing untuk para teknisinya.

Hal besar memang harus dimulai dari mimpi besar. Sayangnya, Lion Group harus bekerja ekstra keras untuk menggapai mimpinya. Dalam kondisi rupiah melemah, perusahaan yang mempunyai beban utang non rupiah dan kebanyakan pendapatannya Rupiah tentu mendapat tekanan besar.

Jadi tak aneh ada selentingan mengatakan banyak kegiatan di maskapai ini seperti upaya kejar setoran. Akibatnya, Lion Air juga seringkali mengalami penundaan jadwal penerbangan.

Saya merasa, jatuhnya pesawat Boeing 737 Max 8 yang baru berumur 3 bulan, di perairan Karawang, adalah puncak gunung es dari masalah yang terjadi di maskapai. Memang belum ada kesimpulan penyebab kecelakaan dari KNKT dalam beberapa bulan ke depan, tapi evaluasi sistem operasional tentu bisa dilakukan.

Contohnya, teknisi ahli yang sudah mendapat training intensif tentang pesawat Boeing 737 Max 8. Selain teknisi bertugas memperbaiki pesawat, kita juga membutuhkan ahli yang mampu "membaca" kesalahan teknis operasional pesawat. Saat ini, kita semua hanya bisa pasrah melihat penyelidikan blackbox pesawat nahas itu. Tanpa ahlinya, KNKT mau tak mau harus menggandeng beberapa lembaga dari Amerika, termasuk Boeing. Dalam kondisi ekonomi global sekarang, kira-kira seberapa independennya lembaga dari Amerika itu?•

Djumyati Partawidjaja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×