kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.912   18,00   0,11%
  • IDX 7.199   58,54   0,82%
  • KOMPAS100 1.106   11,37   1,04%
  • LQ45 878   11,64   1,34%
  • ISSI 221   1,06   0,48%
  • IDX30 449   6,23   1,41%
  • IDXHIDIV20 540   5,82   1,09%
  • IDX80 127   1,42   1,13%
  • IDXV30 134   0,44   0,33%
  • IDXQ30 149   1,71   1,16%

Patriotisme UMKM membayar pajak


Selasa, 12 Februari 2019 / 12:51 WIB
Patriotisme UMKM membayar pajak


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Tanpa terasa, masa kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah berjalan satu bulan. Suhu perpolitikan masa mencuri hati dan simpati pemilih di tahapan kampanye pemilihan umum terasa makin memanas. Sayangnya, bila tidak dengan bijak disusun, konten janji kampanye terkadang disertai wacana dan informasi yang berisiko bias, dan dapat berefek kontraproduktif bagi pembangunan.

Ditengah keseruan kontestasi Pilpres tahun ini, muncul berbagai wacana dan isu hangat yang mengemuka di tengah masyarakat, seperti wacana pembebasan pajak atau pajak 0% bagi pelaku usaha, yang masuk dalam bagian program aksi reformasi perpajakan pasangan capres-cawapres. Wacana tersebut menjadi komoditas politik salah satu pasangan calon presiden pada masa kampanye. Isu ini cukup menarik untuk dibedah lebih lebih jauh.

Salah satu pasangan calon presiden tersebut beralasan membebaskan pajak usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) adalah untuk memberikan kesempatan kepada UMKM untuk berkembang. Pelaku UMKM diusulkan dibebaskan dari pajak karena masih banyak yang tidak mau, dan tidak mampu membayar pajak. Anggapan ini terburu-buru, dan akibatnya justru menghasilkan suatu usulan kebijakan yang naif dan tidak sesuai fakta.

Penulis berpendapat, pembebasan pajak justru tidak akan efektif karena beberapa sebab. Pertama, pembebasan pajak akan menghilangkan sarana bagi para pelaku UMKM untuk berkontribusi terhadap pembangunan bangsa melalui pembayaran pajak. Sebuah hasil survei kepatuhan pajak dari PDAT (Pusat Data dan Analisa Tempo) bersama CITA (Centre for Indonesia Taxation Analysis) menemukan fakta bahwa kesadaran membayar pajak sebagai kewajiban modal cukup tinggi mencapai 96,3%. Sebagian besar responden survei itu adalah UMKM.

Artinya, tingkat kesadaran dan kepatuhan membayar pajak dari pelaku UMKM yang selama ini terus meningkat, akan serta-merta merosot dan luntur. Menumbuhkan kembali yang sudah hilang tentu akan sulit dibandingkan dengan melanjutkan momentum positif yang saat ini sedang bergulir.

Kedua, tax morale secara umum akan merosot. Pembebasan pajak bagi segmen masyarakat tertentu (pelaku UMKM) akan menjadi tidak adil bagi segmen yang lain. Seperti pekerja sektor formal yang terkena pajak walaupun penghasilannya hanya sedikit di atas ambang PTKP yaitu Rp 54 juta setahun.

Ketiga, pembebasan pajak akan membuat pembayar pajak dari kalangan pelaku usaha yang seharusnya sudah masuk di atas kategori wajib pajak UMKM, bisa melakukan strategi pemecahan usaha. Strategi tersebut bisa jadi dilakukan agar mereka bisa ikut menikmati pembebasan kewajiban perpajakan.

Keempat, pembebasan pajak secara langsung akan mengurangi penerimaan negara dari pajak. Berkurangnya penerimaan pajak tentu saja akan mengurangi anggaran pemerintah untuk membiayai berbagai kegiatan pemerintahan. Termasuk akan membawa efek negatif bagi perekonomian dan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Kelima, shortfall penerimaan pajak secara otomatis akan menyulitkan pemerintah dalam sisi fiskal. Untuk menutup defisit akibat berkurangnya pajak, pemerintah bakal menarik utang lebih besar. Membengkaknya utang tentunya tidak diinginkan oleh kita.

Muncul pertanyaan, bagaimana apabila pembebasan pajak hanya sementara waktu, misalnya dua tahun di awal? Bagaimanapun pembebasan pajak akan memberikan efek-efek seperti disebutkan di atas meskipun dalam jangka waktu tertentu. Dan efek tersebut akan terus bergulir selama ada pelaku UMKM yang baru berdiri atau terdaftar.

Ketika itu terjadi, maka saat posisi kembali normal maka pelaku UMKM maupun non UMKM yang sebelumnya telah patuh akan mencari-cari siasat untuk menjadi tidak patuh. Jangan lupa, salah satu hal yang membuat wajib pajak tidak patuh adalah tidak hadirnya aspek keadilan. Bagaimana dengan 1,5 juta pelaku UMKM yang kini sudah terdaftar dan punya Nomor Pokok Wajib Pajak.

Lebih baik pajak turun

Langkah terbaik untuk mengelola perpajakan sektor usaha pada skala UMKM adalah memberikan insentif secara terukur dan bertahap. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan telah melakukan upaya terencana, bertahap untuk meningkatkan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan.

Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, perpajakan atas pelaku UMKM mengikuti skema perpajakan yang berlaku umum. Dengan pertimbangan untuk memberikan kemudahan, pemerintah kemudian menetapkan perlakuan khusus bagi wajib pajak, termasuk UMKM, yang memenuhi kriteria tertentu, antara lain jumlah penjualan usaha atau omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar.

Kemudahan diberikan melalui dua hal yaitu tarif dan tata cara penghitungan. Tarif sebesar 1% diperhitungkan langsung dari omzet, sehingga jauh lebih sederhana karena tidak membutuhkan pembukuan. Cukup ada catatan jumlah omzet, maka pajak yang harus disetorkan sudah bisa diketahui yaitu 1%.

Pada 2018, melalui Peraturan Pemerintah 23 Tahun 2018 yang menggantikan PP 46 Tahun 2013, tarif pajak UMKM dipangkas 50% sehingga turun menjadi 0,5% dari omzet. Dengan tarif yang lebih kecil, maka pajak yang dibayarkan lebih kecil sehingga diharapkan dapat membantu pelaku UMKM untuk melakukan investasi dan terus mengembangkan usaha.

Namun demikian, dalam skema insentif PP 23 tersebut mensyaratkan agar dalam jangka waktu tertentu para pelaku usaha secara bertahap mulai menyelenggarakan pembukuan yang lebih rapi sehingga setelah masa berlakunya insentif, mereka dapat melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai skema umum.

Meski penurunan tarif mengurangi penerimaan pajak sementara waktu, kebijakan tersebut terbukti efektif mendorong kepatuhan wajib pajak UMKM. Data menunjukkan bahwa penerimaan pajak dari pelaku UMKM memang berkurang 15%. Sementara pembayar pajak bertambah menjadi 1,69 juta WP UMKM atau naik 13% dibandingkan dengan 2017.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menawarkan usulan yang grasa-grusu dapat berakibat kontraproduktif. Seolah-olah usulan pembebasan pajak tersebut populer dan menguntungkan. Namun sejatinya justru kurang baik efeknya bagi perekonomian. Wacana pembebasan pajak akan membawa berbagai persoalan baru dan merusak hasil yang baik yang telah dicapai selama ini.

Sebaliknya, dibandingkan dengan pembebasan pajak, pelaku UMKM lebih membutuhkan pendampingan dan dukungan mulai dari pengenalan dasar-dasar pengelolaan usaha, pemasaran, administrasi, permodalan, dan aspek bisnis lain termasuk aspek perpajakan di bidang usaha. Sebuah pendekatan yang lebih komprehensif. Cara itu akan membuat UMKM berdaya saing dengan tidak meremehkan patriotisme mereka ikut membiayai pembangunan nasional.•

Danu Sandjoyo
Pemerhati Keuangan Negara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×