kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pedoman Pemidanaan, Suatu New Normal?


Kamis, 06 Agustus 2020 / 12:45 WIB
Pedoman Pemidanaan, Suatu New Normal?


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2020 (Perma 1/2020). Perma 1/2020 ini merupakan suatu terobosan yang baik yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung dalam rangka upaya nyata penegakan keadilan, terutama di bidang tindak pidana korupsi. Disparitas vonis terhadap para terpidana, khususnya tindak pidana korupsi, telah menjadi kritik klasik dari para pengamat hukum. Kehadiran pedoman pemidanaan ini menjadi sebuah solusi yang cukup prospektif untuk mengatasi kritik terhadap disparitas hukuman ini.

Pertanyaannya, apakah pedoman pemidanaan akan berdampak baik terhadap budaya hukum di Indonesia? Khususnya, di tengah iklim peradilan yang formalistik?

Satjipto Rahardjo (2006), memberi kritik terhadap hukum modern yang terlalu menonjolkan sisi rasionalitas. Akibatnya, alih-alih keadilan yang diciptakan, yang terwujud adalah rasa puas dengan telah menjalankan hukum secara rasional. Yang timbul adalah sekedar keyakinan bahwa hukum sudah dijalankan jika berpegang pada rasionalitas tersebut.

Rasionalitas sendiri tidak selalu buruk. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika keadilan direduksi maknanya menjadi sebuah rumusan baku. Keadilan, tentunya, lebih dari sekedar formalistik angka-angka ataupun tabel-tabel variabel.

Matthew H. Krammer (2007) dalam Objectivity and the Rule of Law, berpandangan bahwa objektifitas berkaitan dengan kedaulatan hukum, dan haruslah merupakan hal yang integral dalam suatu sistem hukum. Untuk itu, salah satu yang harus dimiliki oleh legal officials adalah interpretative skills. Tanpa kemampuan untuk menafsirkan hukum sistem hukum yang berfungsi tidak dapat dijalankan.

Dan hasilnya hanya ada dua, yaitu antara putusan yang salah atau putusan yang benar namun buah dari kebetulan semata. Yang mana, hal itu akan memupuskan harapan dan menimbulkan frustrasi baik orang awam maupun orang-orang yang berkecimpung di dunia hukum.

Pedoman pemidanaan pada tindak pidana korupsi ini adalah hal baru, namun jika tidak berhati-hati, hal ini akan meluas ke peraturan-peraturan lainnya, seolah undang-undang belumlah lengkap jika tidak diikuti dengan pedoman pemidanaan. Dan, hakim seolah tidak berdaya tanpa pedoman pemidanaan. Jika kita tidak hati-hati, pedoman pemidanaan oleh Mahkamah Agung akan berubah menjadi undang-undang jalan pintas, dan lebih esktrem lagi akan menimbulkan kekakuan berhukum.

Pada tataran yang lebih jauh, jika tradisi ini dibiasakan, kelak para juris akan menjadi asing untuk memanfaatkan akal budinya dalam menjatuhkan putusan. Hal ini menjadikan hakim tidak lagi mandiri dalam menjalankan tugasnya, namun tergantung pada arahan yang bersembunyi di balik peraturan institusional. Jangan-jangan, pupusnya harapan dan timbulnya frustrasi yang diprediksi Krammer apabila legal officials kehilangan interpretative skills kelak akan kita rasakan.

Kelak, fakta persidangan hanya akan dicocok-cocokkan dengan tabel-tabel untuk menjadi variabel dalam pengambilan keputusan. Padahal, sejarah hukum membuktikan bahwa hukum itu dapat berkembang bukan karena sekedar karena peraturan membuat perubahan, tapi karena perilaku manusia, khususnya hakim. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam Putusan HR 16 Januari 1919 dimana hakim kala itu mematahkan pemaham lama tentang konsep perbuatan melawan hukum sehingga menjadi lebih progresif (Rahardjo, 2009:95).

Jika pada tahun 1919, perubahan terjadi karena perilaku hakim yang membuat pemahaman baru yang revolusioner tanpa perintah dari peraturan-peraturan, mengapa hal itu kita padamkan di tahun 2020 ini? Kita tidak boleh lupa, bahwa masyarakat tempat dimana hukum itu hidup, bukanlah suatu bangunan yang simetris, namun penuh dengan kesimpangsiuran akibat berbagai interaksi. Pedoman pemidanaan bisa menjerumuskan para yuris untuk menafikan kenyataan ini dan menutup mata terhadap dinamika dalam masyarakat dengan bercagak pada formalitas.

Trias politika

Untuk itu, sebelum terlambat, kita perlu kembali pada trias politika. Mahkamah sebagai fungsi yuridis seharusnya bersikap bukan dengan mengeluarkan peraturan yang di dalamnya tersembunyi pedoman yang menjadi kewajiban bagi para yuris untuk dijalankan. Hakim seharusnya berbicara melalui putusannya, bukan lewat arahan apalagi perintah institusional.

Jika tradisi pedoman pemidanaan ini meluas, peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah akan menjadikan posisi Mahkamah dilematis ke depannya. Sebagai aturan yang secara hierarkis juga ada di bawah Undang-Undang, peraturan Mahkamah Agung juga tidak luput dari peluang untuk dimohonkan uji materiil.

Bagaimana jika ada yang merasa dirugikan dan menguji aturan ini bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Bukankah Mahkamah sendiri yang akan mengadili kelak?

Jika sudah begitu, tentunya adagium Nemo iudex in causa sua yaitu tidak bisa mengadili diri sendiri, akankah masih berlaku untuk mahkamah? Jika uji materiil tidak dikabulkan, masyarakat akan sangsi dengan imparsialitas mahkamah. Sebaliknya, apabila uji materiil dikabulkan, akan menimbulkan pertanyaan, jika mahkamah saja bisa keliru membuat peraturan, apa jaminannya tidak keliru membuat putusan?

Hal ini akan menggerogoti marwah Mahkamah. Pedoman pemidanaan berhadap-hadapan dengan independensi hakim dan lambat-laun berpotensi menggerus daya tafsir para yuris sehingga berpengaruh terhadap kompetensi para yuris ke depannya. Kemungkinan-kemungkinan semacam ini tidak mustahil terjadi. Oleh karena itu, Mahkamah perlu kembali ke khittah yaitu menjalankan fungsi yudikatif alih-alih mengambil peranan sebagai pembentuk peraturan.

Penegakan hukum terhadap perilaku korup yang merugikan keuangan negara harus didukung. Sikap anti terhadap korupsi dan keinginan untuk memuaskan harapan akan tegaknya hukum dan keadilan di balik terbitnya pedoman pemidanaan juga perlu diapresiasi. Namun, kebencian kita pada korupsi jangan sampai membimbing kita pada ketersesatan yang lain.

Mengingat bahaya laten apabila kita membangun sistem hukum yang salah, adalah baik kita merenungkan pertanyaan Begawan Hukum Satjipto Rahardjo, sejak hukum itu adalah persoalan manusia dan bukan semata-mata persoalan peraturan, serta sejak hukum itu ada untuk manusia dan bukan sebaliknya, bukankah sebaiknya hukum itu kita biarkan mengalir saja?

Upaya kita membendung aliran hukum itu, cepat atau lambat akan menimbulkan tanah gersang yang di sana akan tumbuh onak duri rasa frustrasi. Apakah itu wajah keadilan dan new normal kita di masa depan?

Penulis : Michael H Hadylaya

Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×