kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45930,53   2,89   0.31%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pekerjaan kemaritiman yang tertinggal


Sabtu, 09 Februari 2019 / 10:10 WIB
Pekerjaan kemaritiman yang tertinggal


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Dengan "jam biologis" administrasi pemerintahan saat ini yang berdetak menuju putaran terakhirnya, ternyata ada beberapa pekerjaan rumah (PR) bidang kemaritiman yang masih tertinggal. Sepertinya hampir tidak mungkin diselesaikan hingga pelaksanaan pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) April 2019 mendatang. Maka, parlemen dan presiden terpilihnya diharapkan mampu menuntaskan PR itu sehingga bidang kemaritiman nasional makin well-governed untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Namun, perlu segera ditegaskan bahwa PR yang tertinggal ini tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada dua elemen tersebut di atas. Masyarakat umum perlu terlibat untuk menuntaskannya, termasuk agenda kemaritiman lainnya.

Kesadaran maritim (maritime awareness), yang paling dasar adalah bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, milik semua anak bangsa dan tidak bisa seorang pun mengklaim mereka paling berjiwa maritim dibandingkan dengan yang lain. Semua pemimpin nasional, pada derajat tertentu, memiliki maritime awareness yang diwujudkan ke dalam kebijakan saat mereka memegang kekuasaan.

Lantas, apa PR bidang kemaritiman yang tertinggal oleh pemerintah saat ini?

Ada Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel (STCW-F 1995) yang diberlakukan oleh International Maritime Organization (IMO) pada 29 September 2012. Hal ini setelah setahun sebelumnya diratifikasi oleh 17 negara anggota, yaitu Kanada, Kongo, Denmark, Islandia, Kiribati, Latvia, Lithuania, Mauritania, Moroko, Namibia, Norwegia, Palau, Rusia, Sierra Leone, Spanyol, Suriah, dan Ukraina.

Konvensi ini mengatur standar pendidikan dan pelatihan, sertifikasi awak kapal, dan tugas jaga pada kapal ikan. Semua diwajibkan untuk kapal dengan dimensi panjang 24 meter atau lebih dan beroperasi di laut lepas. Pekerjaan di kapal ikan bersifat 3D yaitu dirty (kotor), dangerous (berbahaya) dan difficult (sulit). International Labor Organization (ILO), menyebutkan tak kurang dari 24.000 nyawa pelaut kapal ikan melayang setiap tahunnya.

Dalam setiap kemalangan yang terjadi, faktor kesalahan manusia atau human error berkontribusi sebesar 42%. Untuk memperkecil kecelakaan, dibutuhkan pelaut yang memenuhi keahlian dalam keselamatan, navigasi, dan operasional kapal. Inilah alasan utama diberlakukannya SCTW-F 1995.

Menyikapi kondisi yang ada, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. KM 9 Tahun 2005 tentang Pendidikan dan Pelatihan, Ujian Sertifikasi Pelaut Kapal Penangkap Ikan. Peraturan ini membagi keahlian pelaut kapal ikan ke dalam Ahli Nautika Kapal Ikan (Ankapin) dan Ahli Teknika Kapal Ikan (Atkapin).

Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), di Indonesia tercatat ada 2,2 juta orang pelaut kapal ikan, termasuk nelayan (2011). Jumlah ini jauh lebih banyak dibanding jumlah pelaut kapal niaga yang berkisar 300.000 orang.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyelesaikan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) untuk meratifikasi SCTW-F 1995 pada Juli 2015. Namun entah kenapa hingga kini belum juga disahkan.

Sepertinya, Indonesia belum memprioritaskan ratifikasi SCTW-F karena tidak banyak kapal ikan berdimensi panjang 24 meter yang berbendera Indonesia. KKP lebih fokus pada nelayan domestik, yang ukuran kapalnya di bawah 24 meter dan hanya melaut di perairan Indonesia.

Sebetulnya, ratifikasi STCW-F dapat menjadi salah satu instrumen yang menjamin terlindunginya hak-hak dasar bagi awak kapal ikan Indonesia, terutama yang bekerja di luar negeri. Saat ini, terdapat ribuan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal ikan milik asing sebagai pekerja migran (TKI), seperti di Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang.

Namun, ketiadaan sertifikasi membuat daya tawar mereka rendah. Tak sedikit berita tentang TKI pelaut yang diperlakukan tidak adil, upah kerja rendah, diskriminasi, bahkan terlantar.

Konvensi Torremolinos
Bernama lengkap "Torremolinos International Convention for the Safety of Fishing Vessels", ini adalah aturan IMO yang lumayan unik. Uniknya begini. Diadopsi pada 1977, sayang, aturan ini tak pernah bisa diimplementasikan karena alasan teknis. Sehingga, pada April 1993, organisasi yang bermarkas di Kota London, Inggris tersebut mengadopsi aturan baru yang menyempurnakan kekurangan yang terdapat dalam konvensi awal.

Aturan baru ini dinamai Torremolinos Protocol. Lagi, langkah ini pun tak membuahkan hasil karena tidak banyak negara anggota IMO yang meratifikasi Protokol ini.

Sejak tahun 1993, selama lebih dari sepuluh tahun, IMO terus berusaha mencari terobosan agar proses ratifikasi Konvensi Torremolinos berjalan mulus. Akhirnya, sebuah kesepakatan baru diadopsi di Cape Town, Afrika Selatan, pada 2012. Nama kesepakatan ini adalah "Cape Town Agreement of 2012 on the Implementation of the Provisions of the 1993 Protocol relating to the Torremolinos International Convention for the Safety of Fishing Vessels, 1977". Konvensi ini merupakan "saudara kembar" STCW-F 1995.

Kesepakatan Cape Town diplot untuk diberlakukan 12 bulan sejak diadopsi sepanjang terdapat paling sedikit 22 negara yang berkehendak mengikuti aturan tersebut. Di samping itu, negara-negara yang berminat harus memiliki armada kapal penangkap ikan yang berukuran 24 meter atau lebih dan beroperasi di laut lepas.

Cape Town Agreement mensyaratkan gabungan armada kapal ikan negara yang berminat tadi sekurang-kurangnya berjumlah 3.600 unit. Sampai saat ini baru lima negara yang menjadi pihak terhadap kesepakatan tersebut. yaitu Kongo, Afrika Selatan, Islandia, Norwegia, Belanda (data 2015).

Lagi, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Torremolinos (termasuk turunannya.) Tidak ada penjelasan yang cukup atas keadaan ini. Penulis menduga, kita belum meratifikasi karena tidak memiliki armada seperti yang dipersyaratkan oleh Kesepakatan Cape Town, berukuran lebih dari 24 meter dan beroperasi di laut lepas. Armada perikanan nasional didominasi oleh kapal-kapal kecil, di bawah 30 gross ton (GT), bahkan banyak di bawah 10 GT.

Dari lima negara yang menjadi pihak Cape Town Agreement, total armada yang didaftarkan berjumlah 570 unit (per Juli 2015). Selandia Baru berencana bergabung dengan kelompok tersebut dan untuk itu menjanjikan akan mendaftarkan ratusan kapal ikan berukuran 24 meter lebih dan beroperasi di laut lepas.

Indonesia perlu meratifikasi Konvensi Torremolinos 1977 atau turunannya agar bisa "berdiri sama tinggi, duduk sama rendah" dengan negara-negara penangkap ikan lainnya. Kita perlu keluar dari tempurung yang selama ini sudah mengungkung dan membelenggu sektor kemaritiman nasional. Semoga.•

Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritim Institute (Namarin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet

[X]
×