Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Hak Asasi Manusia (HAM) dan perselisihan industrial merupakan nomenklatur yuridis. HAM bersifat umum sedangkan perselisihan industrial bersifat khusus. Keduanya mengatur hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Perselisihan industrial merupakan persoalan ketenagakerjaan.
Hukum yang berlaku adalah hukum ketenagakerjaan beserta paraturan pelaksanaannya terlebih dahulu. Perselisihan hak, termasuk pembayaran iuran BPJS, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh harus diselesaikan terlebih dahulu berdasar ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial. Jika mekanisme tersebut telah digunakan namun tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, maka pelanggaran HAM dapat dinyatakan.
Perselisihan industrial merupakan pelanggaran HAM jika memenuhi unsur pelaku, korban, dan itikad tidak baik. Ketimpangan relasi kuasa tercipta karena pelanggaran HAM sejatinya adalah penyalahgunaan kekuasaan. Kualifikasi pelaku dan korban tergantung dari relasi kekuasaan faktual yang terjadi.
Konstruksi pelaku dan korban didasarkan pada prinsip kesamaan sebagai subjek hukum. Dalam sengketa industrial, subordinasi antara perusahaan dengan buruh memenuhi unsur pelaku dan korban menurut ketentuan Undang-Undang HAM. Umumnya, perusahaan selalu berkedudukan sebagai pelaku, sedangkan buruh adalah korban.
Menarik dan perlu dibuktikan sebaliknya. Jika seluruh mekanisme hukum telah ditempuh (inkracht), buruh dan/atau serikat pekerja tetap tidak terima, apakah perusahan yang semula menjadi pelaku dapat beralih statusnya sebagai korban?
Ya, ketika intensi, maksud dan kehendak buruh didasari oleh itikad tidak baik. Ini dapat dibuktikan ketika terjadi kerugian pada perusahaan. Tentu, faktor-faktor ini harus dibuktikan secara faktual objektif.
Nama baik (branding) dan reputasi perusahaan hancur jika label pelanggar HAM tersemat kepadanya. Nilai-nilai HAM diterima sebagai faktor produksi dan standardisasi perilaku perusahaan kepada tenaga kerjanya, dan bukan sebaliknya. Inilah ketimpangan yang kadang terjadi di lapangan.
Adanya itikad tidak baik baik melalui tindakan, tidak bertindak atau bahkan kelalaian adalah faktor penentu kedua. Ukuran itikad tidak baik merujuk pada ada tidaknya peristiwa faktual melawan hukum positif.
Peranan Komnas HAM
Intensitas perbuatan dapat berupa mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut HAM atau kelompok orang yang dijamin oleh peraturan hukum positif. Menjadi penting untuk dilihat dan dipastikan bahwa para pihak telah menunjukkan dan mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Tentang Cipta Kerja dan Undang-Undang Tentang Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial ataukah tidak.
Hasil akhir berupa adanya kondisi faktual
tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku
. Frasa tersebut secara eksplisit mengunci tidak serta merta suatu peristiwa merupakan pelanggaran HAM.
Inilah yang sering disalahpahami banyak orang. Pelanggaran HAM begitu mudah diucapkan dan disematkan kepada pihak-pihak tertentu untuk melawan, dan menjustifikasi sebuah perbuatan. Pelanggaran HAM terjadi ketika semua sarana hukum telah digunakan dan tidak adil dan benar hasilnya.
Hasil dibuktikan melalui mekanisme hukum yang berlaku. Ia diuji adanya putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap ataukah tidak. Pertanyaanya, siapa yang berhak dan bagaimana menyatakan hak itu?
Pertama, sengketa industrial diatur dalam perjanjian kerja. Perjanjian ini berisi unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Sifat privat tersebut dilengkapi dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan pelaksanaannya sebagai jaminan tercapainya kebenaran dan keadilan.
Kedua terpenuhi unsur formal yaitu laporan dan upaya-upaya hukum oleh Komnas HAM. Diksi pelanggaran HAM menjadi tidak bermakna hukum jika tidak ada laporan ke dan respon atau tindakan hukum dari Komnas HAM.
Laporan dapat diterima berdasarkan alasan yang kuat. Terminologi memiliki alasan yang kuat tentu rujukannya pada terpenuhinya unsur-unsur pelanggaran HAM di atas.
Komnas dapat menolak menerima dan tidak menidaklanjuti laporan. Jika laporan tidak ditemukan bukti awal yang cukup, materi pengaduan bukan masalah pelanggaran HAM, diajukan dengan itikad buruk, ada upaya hukum yang lebih efektif, dan sedang berlangsung upaya hukum.
Diterima atau ditolaknya laporan menunjukkan objektifitas dan imparsialitas Komnas. Jika Komnas menyatakan menerima laporan, maka para pihak terikat mengikuti prosedur pemeriksaan dan menyampaikan data, fakta, bukti dan saksi. Akhirnya, para pihak dengan itikad baik menerima dan melaksanakan perdamaian, konsultasi, negosiasi, konsiliasi, dan penilaian ahli, saran mengunakan proses peradilan oleh Komnas dalam pelanggaran HAM yang diajukan.
Sengketa hubungan industrial adalah pelanggaran HAM jika tunduk pada prosedur dan memiliki konsekwensi hukum tertentu seperti di atas. Ketimpangan (gaps) terjadi secara faktual pada isu pelanggaran HAM dan sengketa hubungan industrial. Ketimpangan terjadi karena adanya dikotomi bahwa perusahaan pasti pihak yang kuat dan pelaku, sedangkan buruh dan/atau serikat pekerja adalah pihak yang lemah (korban).
Janggal dan tidak masuk akal jika perusahaan adalah korban pelanggaran HAM oleh buruh atau serikat pekerjanya sendiri. Tentu, fakta bahwa perusahaan telah menunaikan kewajiban sesuai dengan keputusan (itikad baik) dan adanya potensi kerugian yang diderita juga harus diterima sebagai fakta hukum bagi tertutupnya tuduhan pelanggaran HAM.
Fakta ini menghentikan proses selanjutnya di Komnas HAM. Pada situasi ini, apakah tersedia mekanisme pemulihan nama baik bagi perusahaan tersebut? Atau, justru pernyataan-pernyataan pelanggaran HAM oleh perusahaan akan tetap ada dan tersimpan dalam benak masyarakat dan di search engine selamanya? Inilah tantangan dan kemungkinan celah hukum yang tidak berimbang pada isu HAM dan sengketa hubungan industrial di Indonesia.
Penulis : Heribertus Jaka Triyana
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News